Thursday, December 8, 2016

Kecubung Asihan

Cerpen berikut ini telah terpilih sebagai salah satu cerpen yang termasuk dalam "15 Besar"
pada sebuah lomba cipta cerpen yang diselenggarakan oleh Langgam Pustaka.
Berupa kisah asmara yang dipadukan dengan humor satiristik, dan kekonyolan 
yang semuanya bermuara pada apa yang disebut sebagai mitos.
Silakan menikmati!


Kecubung Asihan

Oleh Budianto Sutrisno



              Sejak kehadiran Larasati di toko arloji milik Prasetio, pemuda lajang ini langsung jatuh cinta kepada gadis rupawan tersebut. Gadis yang paling berprestasi di sekolahnya, SMA Harapan Baru. Meski hidup sederhana, Prasetio memiliki semangat besar untuk mempersunting gadis cantik dan pintar di kotanya.
            ”Huh… Pras, Pras… kamu ini seperti pungguk merindukan bulan,” ujar Raharjo, sahabat Pras, dengan nada sinis, ”kamu itu cuma jebolan sekolah kejuruan, berani-beraninya mendekati gadis cantik terpintar di Karanganyar ini; benar-benar ndak tahu diri, kamu!”
            ”Ah… jangan ngenyek kamu, Jo,” suara Prasetio tak kurang sinisnya, ”biar aku cuma jebolan sekolah kejuruan, aku ini pejuang ulet dan setia kepada pasangan, sesuai dengan nama pemberian ibuku.” Kali ini dada Prasetio terasa membusung penuh kebanggaan.
            ”Memang sudah berapa lama kamu kenal dia?” tanya Raharjo penasaran.
            ”Berapa lama? Yang namanya cinta sejati itu tak bergantung pada lama atau sebentarnya masa kenalan, tahuk?” sahut Prasetio dengan nada menggurui.
            ”Ya ampun… kamu bicaranya seperti filsuf dari negeri atas awan sana,” gerutu Raharjo, ”aku maklum, orang kalau sudah jatuh cinta itu memang sulit terima masukan.”
            ”Terserah, kau boleh bilang apa saja, Jo; aku kenal Larasati dua hari yang lalu ketika dia serahkan arlojinya untuk direparasi.”
            ”Oh, jadi baru dua hari, cinta kilat pada pandangan pertama, nih,” tukas Raharjo.
            ”Aku sadar, kau tak mungkin bisa merasakan apa yang kurasakan; kalau kau sudah lihat sendiri wajah cantiknya, jangan-jangan kau akan ikut jatuh cinta juga…”
            ”Maksudmu aku bakal menjadi pesaingmu untuk berebut cinta?”
            ”Tenang, Jo. Bukan begitu, maksudku. Aku hanya sekadar bercanda,” nada suara Prasetio berubah kalem, ”kau tahu di samping bermodal keuletan dan keterampilan bergaulku,
aku bakal mendapat dukungan kuat untuk merebut hati Larasati.”
            ”Dukungan kuat? Apa maksudmu?
            ”Nanti aku ceritakan setelah kuantar arloji ke rumah Larasati. Sori, sekarang masih rahasia,” sahut Prasetio dengan senyum penuh misteri.
            ”Wuih,,,, pakai special delivery, sok rahasia lagi!” gerutu Raharjo kesal.

***

            Kesokan harinya, pukul 08.00…
         Seorang lelaki bertopi dan menjinjing tas masuk ke toko arloji Prasetio. Rupanya dia telah buat janji untuk bertemu dengan pemilik toko. Tanpa banyak basa-basi, lelaki yang dipanggil Pak Alwi ini mengeluarkan isi tas hitamnya.
            ”Ini batu yang saja janjikan,” ujar Pak Alwi sambil menyodorkan sebuah cincin berbatu ungu mengilap. Warna batu cincin itu sungguh indah dan memantulkan cahaya kemilau, memadukan warna ungu tua dengan gradasi ungu muda yang sulit dijelaskan keindahannya dengan kata-kata. Ditambah lagi dengan cemlorot bintang di bagian tengah. ”Edan bener indahnya!” seru Prasetio dalam hati.
            ”Oh, ini tho yang namanya batu kecubung asihan?” decak kagum meluncur dari mulut Prasetio sambil memandang cincin ungu dengan ikatan perak itu dengan mata tak berkedip.
            ”Benar, Mas Pras. Orang Barat menyebutnya ametis, artinya tahan mabuk. Kalau minum alkohol dengan gelas ametis, dijamin ndak mabuk. Cincin ametis ini cocok untuk dikenakan Mas Pras yang lahir pada 21 Februari. Bintang Mas Pras itu Pisces, bukan?”
            ”Oh, begitu…” pandangan mata Prasetio terus terfokus kepada cincin ungu yang seolah berdaya magis penuh pikat, “bisa Mas Alwi perjelas tentang manfaatnya?”
            ”Orang yang mengenakan cincin ini akan mendapat cinta kasih dari orang-orang yang dijumpainya, mampu mempererat hubungan antarpasangan, bikin rukun rumah tangga, membuat dagangan laris-manis,” jabar Pak Alwi dengan gaya seperti tukang obat.
            ”Kalau hubungan dengan calon pasangan?” Prasetio tak bisa menutupi gejolak rasa ingin tahunya.
            ”Oh, tentu saja bisa. Apalagi kalau pasangan Mas Pras juga mengenakan ini, model terbaru untuk wanita,” ujar Pak Alwi sambil menyodorkan sebuah cincin mungil cantik berbatu kecubung asihan.
            Mata Prasetio berbinar, ”Oh, benarkah, jadi bisa saling tarik-menarik, begitu?”
            ”Benar, Mas Pras, ini pas-cok, pasti cocok untuk Mas dan pasangannya,” gaya tukang obat Pak Alwi sekarang meniru celoteh sebuah iklan televisi.
            ”Ngomong-ngomong, apakah batu ini asli, dan berapa harganya?”
            ”Dijamin asli seribu persen. Harganya sepasang 5 juta, tetapi untuk Mas Pras, ya 4 juta saja, buat langganan.”
            ”Mahal benar?” Prasetio mengernyitkan dahinya, “ndak bisa kurang?”
            ”Untuk cincin bermutu tinggi seperti ini, 4 juta itu sudah murah, Mas; bisa dikredit 4 kali bayar lagi. Di mana lagi Mas bisa dapatkan cincin sebagus ini dengan harga murah?”
            ”Baiklah, kalau tak berkhasiat, uang kembali, ya?”

***

            Hari Kasih Sayang itu tiba, seminggu sebelum ulang tahun ke-28 Prasetio.
            Prasetio tampil rapi dengan celana panjang hitam dan kemeja batik keunguan. Rambutnya model undercut, mirip pemuda perlente di ibu kota. Di jari manisnya tampak melingkar cincin kecubung asihan. Wajahnya semringah, sesekali dia bersiul kecil.
            Pemuda ini melangkahkan kakinya ke rumah Larasati untuk menyerahkan arloji yang telah direparasinya, juga memberikan hadiah kejutan kepada gadis cantik itu, dan sekaligus mengajaknya menonton film Ada Apa dengan Cinta? yang tengah diputar di Karanganyar.
            Pras sudah menelepon Laras terlebih dahulu tentang maksud kunjungannya. Si gadis pun memberikan sinyal positif. Hati pria mana yang tak akan berbunga-bunga?
            Begitu bel rumah ditekan, seorang gadis cantik membukakan pintu.
            ”Ei… Mas Prasetio, apa kabar? Silakan duduk, Mas. Arloji saya sudah ’sehat’ kembali, ya Mas,” suara gadis cantik Larasati mengalun lembut bak melodi yang membuai telinga Prasetio yang tengah kasmaran.
            ”Eh… su… sudah.. Dik Laras,” suara Prasetio agak tergagap karena hatinya terpaku erat pada kecantikan gadis yang duduk di depannya. Bergaun biru lembut, rambut tergerai sepundak, beralis tebal, dan pakai riasan tipis. Aroma wangi tubuh Laras menerpa hidung Prasetio, membuatnya nyaris lupa duduk dan mengeluarkan arloji milik Larasati untuk diserahkan  kepada yang empunya.
            ”Berapa ongkosnya, Mas?” suara Larasati terdengar renyah dengan bibir mengulum senyum manis.
            ”Ndak usah, Dik; cuma ganti per saja, kok!”
            Larasati hendak menyahut, namun Prasetio tak beri kesempatan, Ia langsung mengeluarkan kotak kecil berbentuk hati, dibungkus kertas berwarna dadu berhiaskan pita ungu, dan menukas, ”Ini bingkisan Valentine untuk Dik Laras, terimalah.”
            Sambil menerima bingkisan itu, Laras menyahut, ”Wow… saya dapat hadiah kejutan; boleh dibuka, Mas?”
            ”Mari aku bantu,” Pras membuka bungkus kado tersebut, dikeluarkannya cincin kecubung asihan itu, dan dikenakannya di jemari manis tangan kiri Laras. Tangan Pras sempat sedikit bergetar ketika ujung jemarinya menyentuh tangan lembut Laras.
            Acara berikutnya dilanjutkan dengan menikmati suasana romantis nonton berdua. Masing-masing menyimpan kenangan manis yang mungkin tak akan  terulang lagi.
            Sebulan setelah acara nonton berdua itu, Larasati pamit, karena dirinya memperoleh beasiswa untuk studi manajemen di London.
            Sambil mengusap cincin kecubungnya dan  meyakini  khasiatnya,   Pras     merelakan
kepergian Laras ke mancanegara untuk menuntut ilmu.

***

            Tiga tahun kemudian…
            Rupanya jarak tak mampu memisahkan kesetiaan Pras dalam mencintai gadis pujaannya. Lagi pula, kecubung asihan plus ribuan sms bakal mampu mempererat tali kasih di antara kedua insan. Pras hakulyakin, khasiat kecubung asihan itu bukanlah sekadar mitos.
            Siang itu, ketika Pras sedang asyik membenahi arloji seorang pelanggan, tiba-tiba terdengar sapaan renyah seorang perempuan cantik, “Selamat siang, Mas.” Perempuan itu bukan lain adalah Larasati yang tampak semakin cantik dan dewasa.
            Prasetio terkesiap dari tempat duduknya, ”Loh, katanya seminggu lagi Dik Laras baru pulang ke Indonesia!”
            ”Iya, Mas, soalnya calon suamiku minta dipercepat akad nikahnya,” wajah Larasati memerah dan tangannya mengusap cincin berlian yang telah menggantikan cincin kecubung.
            ”Calon suami, akad nikah?” Prasetio kaget setengah mati.
            ”Betul, Mas, saya sekalian mau ucapkan terima kasih atas doa dan dukungan Mas sehingga Laras bisa lulus dan bertemu calon suami yang berdarah campuran Inggris – Pakistan. Saya kenalkan, ya, Mas!”
            Laras melambaikan tangannya  ke arah seorang pemuda ganteng, tinggi besar berkulit kecoklatan, bermata biru, dan berambut sedikit ikal. Pemuda itu tengah berbahasa tarzan kepada penjaja jambu biji di depan toko. Suara Laras mengalun dari arah toko, ”Could you come here Ashton, darling?”
            ”Sure, honey,” jawab pemuda blasteran ganteng itu sambil bergegas ke arah toko.
            Kali ini Prasetio seperti disambar geledek di siang hari bolong, bumi terasa berguncang keras, matanya berkunang-kunang, dan dia jatuh tak sadarkan diri.

***

            Keesokan harinya, Pras berubah drastis. Matanya kosong, mulutnya tak henti menceracau seperti orang tak waras, ”Kecubung asihan… 4 juta… raib percuma… Laras… oh Laras… digondol cowok blasteran… oh… sungguh… kejaaam….”
            Raharjo yang ada di dekatnya hanya mengelus dada, ”Hari gini masih percaya mitos batu mestika! Ametis yang dibilang bisa cegah mabuk, eh… malah bikin kamu mabuk berat!”
            ”Nasib… mitos… keropos… cinta… oh… Laras,” ceracau Prasetio makin menjadi.
            ”Jodoh itu perlu usaha, kesehatian, dan takdir; ndak perlu mitos kecubung asihan, Bro,” rutuk Raharjo kesal, ”kalau sudah begini, makan tuh kecubung sampai perut kembung!”

*****


No comments:

Post a Comment