Cerpen berikut ini telah terpilih sebagai salah satu cerpen yang termasuk dalam "15 Besar"
pada sebuah lomba cipta cerpen yang diselenggarakan oleh Langgam Pustaka.
Berupa kisah asmara yang dipadukan dengan humor satiristik, dan kekonyolan
yang semuanya bermuara pada apa yang disebut sebagai mitos.
Silakan menikmati!
Kecubung
Asihan
Oleh Budianto Sutrisno
Sejak kehadiran
Larasati di toko arloji milik Prasetio, pemuda lajang ini langsung jatuh cinta
kepada gadis rupawan tersebut. Gadis yang paling berprestasi di sekolahnya, SMA
Harapan Baru. Meski hidup sederhana, Prasetio memiliki semangat besar untuk
mempersunting gadis cantik dan pintar di kotanya.
”Huh… Pras, Pras… kamu ini seperti
pungguk merindukan bulan,” ujar Raharjo, sahabat Pras, dengan nada sinis, ”kamu
itu cuma jebolan sekolah kejuruan, berani-beraninya mendekati gadis cantik
terpintar di Karanganyar ini; benar-benar ndak
tahu diri, kamu!”
”Ah… jangan ngenyek kamu, Jo,” suara Prasetio tak kurang sinisnya, ”biar aku
cuma jebolan sekolah kejuruan, aku ini pejuang ulet dan setia kepada pasangan,
sesuai dengan nama pemberian ibuku.” Kali ini dada Prasetio terasa membusung
penuh kebanggaan.
”Memang sudah berapa lama kamu kenal
dia?” tanya Raharjo penasaran.
”Berapa lama? Yang namanya cinta
sejati itu tak bergantung pada lama atau sebentarnya masa kenalan, tahuk?” sahut Prasetio dengan nada
menggurui.
”Ya ampun… kamu bicaranya seperti
filsuf dari negeri atas awan sana,” gerutu Raharjo, ”aku maklum, orang kalau
sudah jatuh cinta itu memang sulit terima masukan.”
”Terserah, kau boleh bilang apa
saja, Jo; aku kenal Larasati dua hari yang lalu ketika dia serahkan arlojinya
untuk direparasi.”
”Oh, jadi baru dua hari, cinta kilat
pada pandangan pertama, nih,” tukas
Raharjo.
”Aku sadar, kau tak mungkin bisa merasakan
apa yang kurasakan; kalau kau sudah lihat sendiri wajah cantiknya,
jangan-jangan kau akan ikut jatuh cinta juga…”
”Maksudmu aku bakal menjadi
pesaingmu untuk berebut cinta?”
”Tenang, Jo. Bukan begitu, maksudku.
Aku hanya sekadar bercanda,” nada suara Prasetio berubah kalem, ”kau tahu di
samping bermodal keuletan dan keterampilan bergaulku,
aku bakal
mendapat dukungan kuat untuk merebut hati Larasati.”
”Dukungan kuat? Apa maksudmu?
”Nanti aku ceritakan setelah kuantar
arloji ke rumah Larasati. Sori, sekarang masih rahasia,” sahut Prasetio dengan
senyum penuh misteri.
”Wuih,,,, pakai special delivery, sok rahasia lagi!”
gerutu Raharjo kesal.
***
Kesokan harinya, pukul 08.00…
Seorang lelaki bertopi dan menjinjing
tas masuk ke toko arloji Prasetio. Rupanya dia telah buat janji untuk bertemu
dengan pemilik toko. Tanpa banyak basa-basi, lelaki yang dipanggil Pak Alwi ini
mengeluarkan isi tas hitamnya.
”Ini batu yang saja janjikan,” ujar
Pak Alwi sambil menyodorkan sebuah cincin berbatu ungu mengilap. Warna batu
cincin itu sungguh indah dan memantulkan cahaya kemilau, memadukan warna ungu
tua dengan gradasi ungu muda yang sulit dijelaskan keindahannya dengan
kata-kata. Ditambah lagi dengan cemlorot
bintang di bagian tengah. ”Edan bener
indahnya!” seru Prasetio dalam hati.
”Oh, ini tho yang namanya batu kecubung asihan?” decak kagum meluncur dari
mulut Prasetio sambil memandang cincin ungu dengan ikatan perak itu dengan mata
tak berkedip.
”Benar, Mas Pras. Orang Barat
menyebutnya ametis, artinya tahan mabuk. Kalau minum alkohol dengan gelas
ametis, dijamin ndak mabuk. Cincin
ametis ini cocok untuk dikenakan Mas Pras yang lahir pada 21 Februari. Bintang
Mas Pras itu Pisces, bukan?”
”Oh, begitu…” pandangan mata
Prasetio terus terfokus kepada cincin ungu yang seolah berdaya magis penuh
pikat, “bisa Mas Alwi perjelas tentang manfaatnya?”
”Orang yang mengenakan cincin ini
akan mendapat cinta kasih dari orang-orang yang dijumpainya, mampu mempererat
hubungan antarpasangan, bikin rukun rumah tangga, membuat dagangan laris-manis,”
jabar Pak Alwi dengan gaya seperti tukang obat.
”Kalau hubungan dengan calon
pasangan?” Prasetio tak bisa menutupi gejolak rasa ingin tahunya.
”Oh, tentu saja bisa. Apalagi kalau pasangan
Mas Pras juga mengenakan ini, model terbaru untuk wanita,” ujar Pak Alwi sambil
menyodorkan sebuah cincin mungil cantik berbatu kecubung asihan.
Mata Prasetio berbinar, ”Oh,
benarkah, jadi bisa saling tarik-menarik, begitu?”
”Benar, Mas Pras, ini pas-cok, pasti cocok untuk Mas dan
pasangannya,” gaya tukang obat Pak Alwi sekarang meniru celoteh sebuah iklan televisi.
”Ngomong-ngomong, apakah batu ini
asli, dan berapa harganya?”
”Dijamin asli seribu persen.
Harganya sepasang 5 juta, tetapi untuk Mas Pras, ya 4 juta saja, buat
langganan.”
”Mahal benar?” Prasetio
mengernyitkan dahinya, “ndak bisa
kurang?”
”Untuk cincin bermutu tinggi seperti
ini, 4 juta itu sudah murah, Mas; bisa dikredit 4 kali bayar lagi. Di mana lagi
Mas bisa dapatkan cincin sebagus ini dengan harga murah?”
”Baiklah, kalau tak berkhasiat, uang
kembali, ya?”
***
Hari Kasih Sayang itu tiba, seminggu
sebelum ulang tahun ke-28 Prasetio.
Prasetio tampil rapi dengan celana
panjang hitam dan kemeja batik keunguan. Rambutnya model undercut, mirip pemuda perlente di ibu kota. Di jari manisnya
tampak melingkar cincin kecubung asihan. Wajahnya semringah, sesekali dia
bersiul kecil.
Pemuda ini melangkahkan kakinya ke
rumah Larasati untuk menyerahkan arloji yang telah direparasinya, juga memberikan
hadiah kejutan kepada gadis cantik itu, dan sekaligus mengajaknya menonton film
Ada Apa dengan Cinta? yang tengah
diputar di Karanganyar.
Pras sudah menelepon Laras terlebih
dahulu tentang maksud kunjungannya. Si gadis pun memberikan sinyal positif.
Hati pria mana yang tak akan berbunga-bunga?
Begitu bel rumah ditekan, seorang gadis
cantik membukakan pintu.
”Ei… Mas Prasetio, apa kabar? Silakan
duduk, Mas. Arloji saya sudah ’sehat’ kembali, ya Mas,” suara gadis cantik Larasati
mengalun lembut bak melodi yang membuai telinga Prasetio yang tengah kasmaran.
”Eh… su… sudah.. Dik Laras,” suara
Prasetio agak tergagap karena hatinya terpaku erat pada kecantikan gadis yang
duduk di depannya. Bergaun biru lembut, rambut tergerai sepundak, beralis
tebal, dan pakai riasan tipis. Aroma wangi tubuh Laras menerpa hidung Prasetio,
membuatnya nyaris lupa duduk dan mengeluarkan arloji milik Larasati untuk diserahkan
kepada yang empunya.
”Berapa ongkosnya, Mas?” suara
Larasati terdengar renyah dengan bibir mengulum senyum manis.
”Ndak
usah, Dik; cuma ganti per saja, kok!”
Larasati hendak menyahut, namun
Prasetio tak beri kesempatan, Ia langsung mengeluarkan kotak kecil berbentuk
hati, dibungkus kertas berwarna dadu berhiaskan pita ungu, dan menukas, ”Ini
bingkisan Valentine untuk Dik Laras, terimalah.”
Sambil menerima bingkisan itu, Laras
menyahut, ”Wow… saya dapat hadiah kejutan; boleh dibuka, Mas?”
”Mari aku bantu,” Pras membuka
bungkus kado tersebut, dikeluarkannya cincin kecubung asihan itu, dan
dikenakannya di jemari manis tangan kiri Laras. Tangan Pras sempat sedikit bergetar
ketika ujung jemarinya menyentuh tangan lembut Laras.
Acara berikutnya dilanjutkan dengan
menikmati suasana romantis nonton berdua. Masing-masing menyimpan kenangan
manis yang mungkin tak akan terulang
lagi.
Sebulan setelah acara nonton berdua
itu, Larasati pamit, karena dirinya memperoleh beasiswa untuk studi manajemen
di London.
Sambil mengusap cincin kecubungnya
dan meyakini khasiatnya,
Pras merelakan
kepergian Laras ke
mancanegara untuk menuntut ilmu.
***
Tiga tahun kemudian…
Rupanya jarak tak mampu memisahkan
kesetiaan Pras dalam mencintai gadis pujaannya. Lagi pula, kecubung asihan plus
ribuan sms bakal mampu mempererat
tali kasih di antara kedua insan. Pras hakulyakin, khasiat kecubung asihan itu
bukanlah sekadar mitos.
Siang itu, ketika Pras sedang asyik
membenahi arloji seorang pelanggan, tiba-tiba terdengar sapaan renyah seorang
perempuan cantik, “Selamat siang, Mas.” Perempuan itu bukan lain adalah
Larasati yang tampak semakin cantik dan dewasa.
Prasetio terkesiap dari tempat
duduknya, ”Loh, katanya seminggu lagi
Dik Laras baru pulang ke Indonesia!”
”Iya, Mas, soalnya calon suamiku
minta dipercepat akad nikahnya,” wajah Larasati memerah dan tangannya mengusap
cincin berlian yang telah menggantikan cincin kecubung.
”Calon suami, akad nikah?” Prasetio
kaget setengah mati.
”Betul, Mas, saya sekalian mau
ucapkan terima kasih atas doa dan dukungan Mas sehingga Laras bisa lulus dan
bertemu calon suami yang berdarah campuran Inggris – Pakistan. Saya kenalkan,
ya, Mas!”
Laras melambaikan tangannya ke arah seorang pemuda ganteng, tinggi besar
berkulit kecoklatan, bermata biru, dan berambut sedikit ikal. Pemuda itu tengah
berbahasa tarzan kepada penjaja jambu biji di depan toko. Suara Laras mengalun
dari arah toko, ”Could you come here Ashton,
darling?”
”Sure,
honey,” jawab pemuda blasteran ganteng itu sambil bergegas ke arah toko.
Kali ini Prasetio seperti disambar
geledek di siang hari bolong, bumi terasa berguncang keras, matanya
berkunang-kunang, dan dia jatuh tak sadarkan diri.
***
Keesokan harinya, Pras berubah
drastis. Matanya kosong, mulutnya tak henti menceracau seperti orang tak waras,
”Kecubung asihan… 4 juta… raib percuma… Laras… oh Laras… digondol cowok
blasteran… oh… sungguh… kejaaam….”
Raharjo yang ada di dekatnya hanya mengelus
dada, ”Hari gini masih percaya mitos
batu mestika! Ametis yang dibilang bisa cegah mabuk, eh… malah bikin kamu mabuk
berat!”
”Nasib… mitos… keropos… cinta… oh…
Laras,” ceracau Prasetio makin menjadi.
”Jodoh itu perlu usaha, kesehatian,
dan takdir; ndak perlu mitos kecubung
asihan, Bro,” rutuk Raharjo kesal,
”kalau sudah begini, makan tuh kecubung
sampai perut kembung!”
*****