Persembahan Puisi untuk Korban Sinabung
Emas, perak, dan harta dunia saya
tak punya, tetapi saya masih diberi kesempatan untuk mempersembahkan puisi
untuk saudara-saudara sebangsa yang sedang menderita di kawasan Sinabung. Meski
diperlakukan bak piatu, mata Tuhan tak pernah terpejam. Pada waktunya, badai
ini pasti berlalu!
Puisi
ini dibuat setelah bencana terjadi selama lebih dari 3 bulan, namun sang
penguasa tak kunjung tiba untuk menjenguk.
Menyambung
Hidup di Sinabung
Oleh Budianto Sutrisno
Di balik solek keindahan dan julang
keperkasaannya
dia menyimpan bara yang bisa
dimuntahkan
dan meluluhlantakkan segala
di setiap waktu tanpa pandang bulu
Gumpalan asapnya bergulung dahsyat
gerung gemuruhnya menggetarkan bumi
api laharnya membara, bergumpal,
mengalir, menebar bencana
berlaksa ton abu-debu dihamburkan
ke seluruh penjuru
tua-muda, pria-wanita mengalami
siksa-derita
Rumah tempat berteduh telah runtuh
impian panen pupus sudah
pendidikan mendadak sontak terhenti
murka sinabung menutup pelita pengharapan
dengan selimut abu
yang tak kenal belas kasihan
Hidup seadanya dalam pengungsian
diterpa dingin dan ditampar lapar
hati semakin haru pilu dan trenyuh
tersentuh
melihat bangsa sendiri menjadi
piatu
karena sang bapak enggan menengok
barang sekejap
melancong ke pulau dewata lebih
perlu ketimbang peduli anak bangsa
sekaligus menghindar dari kacau
galau banjir di ibu kota
Sementara…
di sinabung, hidup hari ini
hanya untuk menyambung hidup kemarin
hidup esok belum tentu tersambung
dengan hidup hari ini
inilah tragedi
menyambung hidup sekaligus
menyabung nyawa
di ranah penuh bahaya
Inikah garis nasib
bagi warga kawasan sinabung
’tuk jadi piatu?
inikah suratan takdir
bagi anak-anak bangsa yang dibuang
orang tua sendiri?
tak ngeri dan takutkah
sang bapak menjadi orang tua
durhaka?
buah itu cepat atau lambat
pasti kau tuai dari benih yang kau
tabur
dan kau tak mungkin lagi kabur
***
No comments:
Post a Comment