Thursday, February 6, 2014

Senandung Puisi Pilu dari Sinabung


Persembahan Puisi untuk Korban Sinabung
            Emas, perak, dan harta dunia saya tak punya, tetapi saya masih diberi kesempatan untuk mempersembahkan puisi untuk saudara-saudara sebangsa yang sedang menderita di kawasan Sinabung. Meski diperlakukan bak piatu, mata Tuhan tak pernah terpejam. Pada waktunya, badai ini pasti berlalu!
            Puisi ini dibuat setelah bencana terjadi selama lebih dari 3 bulan, namun sang penguasa tak kunjung tiba untuk menjenguk.


Menyambung Hidup di Sinabung
Oleh Budianto Sutrisno

Di balik solek keindahan dan julang keperkasaannya
dia menyimpan bara yang bisa dimuntahkan
dan meluluhlantakkan segala
di setiap waktu tanpa pandang bulu

Gumpalan asapnya bergulung dahsyat
gerung gemuruhnya menggetarkan bumi
api laharnya membara, bergumpal, mengalir, menebar bencana
berlaksa ton abu-debu dihamburkan
ke seluruh penjuru
tua-muda, pria-wanita mengalami siksa-derita

Rumah tempat berteduh telah runtuh
impian panen pupus sudah
pendidikan mendadak sontak terhenti
murka sinabung menutup pelita pengharapan
dengan selimut abu
yang tak kenal belas kasihan

Hidup seadanya dalam pengungsian
diterpa dingin dan ditampar lapar
hati semakin haru pilu dan trenyuh tersentuh
melihat bangsa sendiri menjadi piatu
karena sang bapak enggan menengok barang sekejap
melancong ke pulau dewata lebih perlu ketimbang peduli anak bangsa
sekaligus menghindar dari kacau galau banjir di ibu kota

Sementara…
di sinabung, hidup hari ini
hanya untuk menyambung hidup kemarin
hidup esok belum tentu tersambung
dengan hidup hari ini
inilah tragedi
menyambung hidup sekaligus menyabung nyawa
di ranah penuh bahaya

Inikah garis nasib
bagi warga kawasan sinabung
’tuk jadi piatu?
inikah suratan takdir
bagi anak-anak bangsa yang dibuang orang tua sendiri?
tak ngeri dan takutkah
sang bapak menjadi orang tua durhaka?
buah itu cepat atau lambat
pasti kau tuai dari benih yang kau tabur
dan kau tak mungkin lagi kabur

***

No comments:

Post a Comment