Wednesday, February 5, 2014

Artikel Pertama

Berikut saya sampaikan artikel pertama saya di blog dengan tajuk "Saat Dunia Pendidikan Indonesia Becermin Diri". Selamat menikmati! 


Saat Dunia Pendidikan Indonesia Becermin Diri
Oleh Budianto Sutrisno


            Adalah sebuah sistem penilaian dengan skala internasional yang terkait dengan aktivitas dalam dunia pendidikan, yang disebut sebagai PISA (Programme for International Student Assessment). PISA ini mencakup penilaian terhadap para siswa yang berusia 15 tahun dalam membaca, matematika, dan sains. Kegiatan PISA sudah dimulai sejak tahun 2000 dan dilakukan kembali setiap tiga tahun, serta bernaung di bawah Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Peringkat Indonesia bisa dikatakan dalam derajat yang sama dalam dua penelitian terakhir, namun hasil penelitian yang membuat sejumlah pendidik megap-megap seperti terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) adalah hasil penelitian PISA tahun 2012 yang tersebar di media massa kurang-lebih mulai awal Desember 2013.

Angka yang berbicara
            Beberapa komentar tentang hasil penelitian PISA bermunculan. Rata-rata penulis kolom surat kabar merasa tidak puas dengan hasil survei tersebut, karena tidak ada metode survei yang andal, dan bisa terdapat bias budaya dalam temuan tersebut. Ketidakpuasan ini antara lain diwujudkan dalam komentar yang menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia tak boleh didikte oleh PISA.
            Pertanyaannya adalah: Mengapa ketidakpuasan itu baru dinyatakan sekarang? Mengapa tidak pada 2009, misalnya? Mungkin karena hasilnya semakin buruk, sementara yang berwenang sudah berusaha dengan berbagai upaya – plus pengeluaran dana yang tak sedikit, antara lain untuk sertifikasi para guru – guna meningkatkan mutu pendidikan. Orang tidak ingin disebut gagal, bukan? Apalagi jika itu menyangkut kehormatan dan nama baik para petinggi. Kelemahan diri dicoba untuk ditutupi dengan aneka dalih, yang pada intinya tidak bisa menerima kenyataan yang dipaparkan dalam hasil survei. Akan tetapi, penulis percaya bahwa masih ada, kalau tak bisa dikatakan banyak,  kalangan pendidik yang berjiwa besar untuk menerima hasil survei tersebut.
            Menurut data yang penulis miliki, nama Indonesia baru muncul dalam hasil survei PISA tahun 2009. Publikasi hasil setiap survei dilakukan pada tahun berikutnya, karena diperlukan waktu kira-kira 1,5 tahun untuk menganalisis data. Pada hasil survei tahun 2009 tersebut, kemampuan pelajar Indonesia dalam matematika, sains, dan membaca berada di peringkat ke-68, 66, dan 62 dari total 74 negara yang disurvei. Peringkat pertama, kedua, dan ketiga untuk matematika diduduki oleh Cina (Shanghai), Singapura, dan Hong Kong. Untuk sains, jagoannya adalah Cina (Shanghai), Finlandia, dan Hong Kong,  masing-masing bertengger di peringkat pertama, kedua, dan ketiga. Sedangkan untuk membaca, Cina, Korea Selatan, dan Finlandia berhasil menjadi jawaranya.
            Sementara itu, hasil survei tahun 2012 menempatkan Indonesia – yang notabene sudah berbenah diri dengan mengubah kurikulum beberapa kali dan melakukan berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan – berada di peringkat ke-64, 64, dan 61, masing-masing untuk matematika, sains, dan membaca. Jumlah total negara yang disurvei adalah 65, Jadi, kira-kira, pelajar Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah.
            Di survei ini, peringkat pertama, kedua, dan ketiga untuk matematika diduduki oleh Cina (Shanghai), Singapura, dan Hong Kong. Sains dipimpin oleh Cina (Shanghai), Hong Kong, dan Singapura. Sedangkan jawara membacanya adalah Cina (Shanghai), Hong Kong, dan Singapura. Ketiga jawara ini dibayang-bayangi oleh Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Finlandia.
            Pada hasil survei tahun 2000, 2003, dan 2006, tampak Finlandia, Selandia Baru, Kanada, Korea Selatan, Jepang berada di peringkat tiga besar. Waktu itu, nama Cina, Singapura, Hong Kong, dan Indonesia belum muncul di hasil survei.
            Bagi penulis, sajian angka-angka dalam hasil survei PISA itu, kendati tak sempurna,
bukan merupakan sajian simbol yang mati tetapi merupakan angka-angka yang berbicara. Angka-angka yang merepresentasikan betapa parahnya wajah pendidikan di Indonesia. Sekaligus juga, mungkin, seberapa tebal polesan kosmetika yang dipakai untuk menutupi bopeng dan borok di wajah pendidikan Indonesia – yang tentu saja akan luntur dan rontok dalam perjalanan waktu.

Meniru yang baik
            Berdasarkan hasil survei 2012, tampak Cina, Singapura dan Hong Kong tampil konsisten prima selama dua kali survei berturut-turut. Dari negara Barat, yang tampil baik secara konsisten adalah Finlandia, Kanada, dan Selandia Baru.
            Hasil survei yang membuat Indonesia tampak terpuruk ini tidak perlu membuat kita gusar. Mengapa mesti gusar karena borok dan bopeng terlihat? Justru harus terlihat jelas agar bisa diobati dengan baik. Kita harus melihatnya sebagai sarana untuk mawas diri. Apakah cara atau metode pengajaran yang kita terapkan di Indonesia sudah tepat dan benar? Apakah tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan? Apakah kita lebih menyenangi laporan ’ABS’ (Asal Bapak Senang) ketimbang kritik yang membangun?
            Bagi penulis, hasil survei PISA ini adalah ibarat cermin. Terlepas dari segala ketidaksempurnaannya, cermin ini mampu menunjukkan bagian-bagian buruk/kurang yang harus dibenahi dalam wajah pendidikan kita. Bukan malah membelah cermin tersebut. Itu tindakan konyol!
            Satu hal yang mungkin enggan kita lakukan adalah mengadopsi dan mengadaptasi metode pendidikan dari sejumlah negara yang tampak menonjol prestasinya dalam hasil survei. Kita perlu meninggalkan dan melupakan apa yang disebut sebagai gengsi, karena ini menyangkut hari depan bangsa. Bukankah pemimpin-pemimpin kita di masa depan adalah generasi yang sekarang ini berusia belasan tahun? Apa salahnya kita meniru hal yang baik dari negara lain? Sudah bukan zamannya lagi dunia pendidikan dijadikan ’kelinci percobaan’ hanya untuk meraih keuntungan pribadi atau golongan.
            Itu sebabnya, studi banding ke negara-negara yang mutu pendidikannya tinggi perlu dilakukan. Dengan catatan benar-benar untuk studi seratus persen, bukan untuk jalan-jalan atau berbelanja ria menghamburkan duit negara. Pelaku studinya harus benar-benar berkompeten di bidang pendidikan.

Cambuk atau nina bobo?
            Di tengah  kabut tebal yang berkelindan dalam dunia pendidikan di Indonesia, penulis masih optimistik menatap masa depan. Mengapa? Karena dalam segala keterpurukan, dan miskinnya suri teladan, masih ada bibit-bibit muda yang cemerlang, bahkan sangat cemerlang. Tuhan memberikan pengharapan melalui kebangkitan anak-anak bangsa yang masih belia. Mereka adalah mutiara-mutiara cemerlang yang harus ditemukan di tengah hamparan lumpur. Mutiara-mutiara yang perlu diasah dan dipoles oleh tangan-tangan pendidik yang penuh cinta kasih dan tanggung jawab.
            Di satu sisi, penulis merasa sangat prihatin dengan kemampuan sementara pelajar Indonesia. Kira-kira 2 tahun yang lalu, penulis menguji kemampuan seorang siswa kelas VII di sebuah sekolah swasta. Siswa ini memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang sangat minim, baik lisan maupun tulisan. Dan astaga, dia belum bisa mengucapkan abjad dalam bahasa kita sendiri! Sekarang siswa yang bersangkutan duduk di bangku kelas IX dengan kemampuan intelektual yang boleh dikatakan tidak bertambah secara menolok (significant). Jujur saja, siswa semacam ini walau diberi remedial berapa kali pun, hasilnya akan tetap mengecewakan. Saya sendiri heran, mengapa yang bersangkutan bisa lulus SD. Oh… ya,  pemerintah sekarang menetapkan aturan bahwa  tidak boleh ada siswa SD yang tinggal kelas. Ini benar-benar dilema yang sangat pelik yang bakal dihadapi para guru dalam mendidik siswa yang memiliki banyak keterbatasan. Sementara kemampuan guru pun relatif terbatas. Apakah kebijakan pemerintah dalam hal ini sudah tepat? Bagaimana bila anak tersebut tetap tidak mengerti abjad dalam bahasa Indonesia, apalagi dalam bahasa asing? Apakah anak tersebut harus dinaikkan atau diluluskan? Kalau harus, ujung-ujungnya, sekolah hanya akan menjadi semacam ajang proforma untuk memperoleh ijazah setelah melewati kurun waktu tertentu. Sekolah bisa jadi tidak akan dikaitkan sama sekali dengan kemampuan dan keterampilan siswa dalam menerapkan ilmu pengetahuan, karena yang dipentingkan adalah  ijazah yang isinya semu.
            Apakah adanya ’ancaman’ bagi kepala sekolah (negeri) yang tidak berprestasi untuk dipindahkan ke ’tempat jin buang anak’ itu sudah tepat? Sementara prestasi kepala sekolah itu diukur (terutama) dari persentase kelulusan siswa. Semakin tinggi persentase kelulusan siswa, kepala sekolah dinyatakan semakin berprestasi, dan sekolahnya dinyatakan bermutu. Akreditasinya ’A’. Itu sebabnya terjadi apa yang disebut sebagai ’pendongkrakan nilai’ demi nama baik sekolah dan demi hari depan kepala sekolah.
            Di sebuah sekolah swasta, penulis menanyai sejumlah siswa kelas IX apakah seluruh nilai rapornya, menurut siswa yang bersangkutan, adalah nilai yang sebenarnya yang mereka raih berdasarkan jerih payah mereka dalam belajar. Mereka menjawab bahwa 10 - 15% nilai rapornya bukanlah nilai yang sebenarnya, alias sudah ’didongkrak’. Bukankah hal seperti ini yang memicu dihapuskannya penerimaan mahasiswa dengan jalur undangan? Angka-angka indah di rapor itu berguguran ketika diuji dalam kuliah.
            Kalau dari awal sudah ditaburkan benih ketidakjujuran, lalu hari depan pendidikan Indonesia akan menjadi seperti apa?
            Akan tetapi, di lain pihak, penulis merasa bangga dan bahagia melihat sejumlah siswa yang menunjukkan prestasi yang sangat gemilang secara intelektual maupun secara perilaku. Joan Nadia, siswi kelas V SD di sekolah swasta tempat penulis bekerja, misalnya, berhasil meraih medali emas Olimpiade Sains tingkat internasional yang belum lama ini diselenggarakan di Filipina. Dia pun tekun dan berdisiplin dalam mengikuti pelatihan.
            Prestasi siswi ini justru bertolak belakang dengan hasil survei PISA yang terkait dengan kemampuan siswa dalam sains. Nadia justru mengalahkan para siswa dari negara yang lebih unggul dalam hasil survei (meski Nadia belum mencapai usia 15 tahun).
            Namun demikian, masalahnya adalah: berapa jumlah siswa yang secemerlang Nadia ini? Mungkin hanya nol koma sekian permil dari jutaan siswa di Indonesia. Akan tetapi, jumlah yang sedikit namun berkemampuan superbesar ini – bila dilatih dan diarahkan dengan benar – akan membangun pengaruh yang sangat berarti bagi hari depan bangsa Indonesia.
            Itu sebabnya, bagi penulis, hasil survei PISA itu justru merupakan cambuk bagi para pendidik untuk menemukan nadia-nadia yang lain yang bersinar di dalam onggokan lumpur. Cambuk yang melecut kita bekerja lebih keras dan arif. Kita sama sekali tak perlu meninabobokan diri kita dengan aneka laporan dan program di atas kertas  yang ’menyenangkan’ dan tampak ’hebat’ tetapi sebenarnya semu dan menipu.
            Akhir kata, mari kita mohon belas kasihan dari Tuhan, agar kita bisa mendapati generasi muda cemerlang yang bisa dididik dengan baik. Agar dunia pendidikan tidak jatuh ke sistem tirani atau despot yang menganggap diri selalu benar, yang buta terhadap kenyataan pendidikan di lapangan, serta tuli terhadap kritik dan saran. Agar dunia pendidikan kita dipimpin oleh orang yang takut, hormat, dan gentar akan Tuhan. Agar para pendidik diberi kemampuan dan ketulusan dalam menyiapkan generasi pemimpin yang sangat berkualitas demi hari depan bangsa Indonesia.

Soli Deo Gloria!

No comments:

Post a Comment