Wednesday, February 5, 2014

Mutu Pendidikan Indonesia



Sebagai artikel kedua, saya akan menyajikan sebuah artikel yang terkait dengan Kurikulum 2013, yang bertajuk "Kepala Gatal, Kaki yang Digaruk". Selamat Menikmati! 

Kepala Gatal, Kaki yang Digaruk
Oleh Budianto Sutrisno

                Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, menyebutkan pemerintah perlu mengganti kurikulum pendidikan, karena kurikulum lama yang dibuat tahun 2006, itu tidak lagi sesuai dengan perubahan zaman. Perubahan kurikulum sudah saatnya dilakukan karena selama ini kurikulum pendidikan yang ada, tidak menekankan pada pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang berkarakter. Siswa lebih banyak dijejali dengan hafalan, bukan kompetensi dan sains yang sebenarnya sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.

Membuat problem baru
            Zaman memang berubah, dan kita memang harus mengantisipasi perubahan tersebut. Penulis setuju banget. Tetapi antisipasi yang bagaimana?
            Pernyataan Pak Menteri tersebut di atas apakah memiliki bukti-bukti yang nyata dan sahih? Kalau ada, di sekolah mana siswa dijejali dengan hafalan, bukan kompetensi serta sains, dan bilamana didapati? Seluruh sekolah? Atau itu hanyalah sinyalemen pribadi, atau hanya sekadar mendengar laporan dari orang lain. Kalau sinyalemen beliau itu benar, lalu para pemenang Olimpiade Matematika, Sains (tingkat nasional maupun internasional) dan lain-lain itu diajar di sekolahnya masing-masing dengan kurikulum apa? Apakah mereka itu produk pelajaran hafalan atau mempraktikkan ilmu dalam kehidupan nyata? Kalau hafalan semata, mengapa bisa  terbentuk inovasi baru? Misalnya saja, temuan mobil dengan bahan bakar urine oleh salah seorang pelajar SMA di Malang. Hal seperti ini tak mungkin lahir dari pelajaran yang sekadar menghafal, bukan?
            Apakah Pak Menteri terjun sendiri ke lapangan pendidikan – baik di kota besar maupun pelosok desa terpencil – melihat susah payahnya para guru memilih bahan ajar, rapat sampai malam, menyiapkan berbagai perangkat administrasi sebagai persyaratan untuk akreditasi, pemberian rapor, dan lain sebagainya? Apakah Bapak Menteri yang terhormat, dan para asistennya pernah memiliki pengalaman menjadi guru dalam periode yang cukup lama?
            Kalau jawabannya ’belum’, maka tidak mengherankan apabila terjadi sejumlah kejanggalan dalam Kurikulum 2013. Di sebuah tulisan di internet, seorang guru menghitung keperluan kertas untuk lembar penilaian berjumlah lebih dari 2.000 lembar untuk per mata pelajaran untuk satu kelas dengan jumlah siswa 24 orang. Padahal jumlah mata pelajaran ada belasan. Kalikan saja berapa lembar penilaian yang diperlukan untuk sebuah kelas/sekolah?
            Katakanlah itu sebuah sekolah besar dengan kemampuan finansial cukup, penyediaan ribuan lembar kertas tak akan menjadi masalah, tetapi bagaimana halnya dengan sekolah kecil dengan kemampuan finansial lemah dan tidak/belum memperoleh dana BOS? Bukankah itu sangat memberatkan? Jangankan untuk membeli kertas, untuk membetulkan bangku yang rusak saja tak ada biaya. Apakah para petinggi di Departemen Pendidikan memikirkan hal ini?
            Tak kurang dari para ahli yang sudah terbukti kepakarannya di bidang pendidikan, seperti Prof. Yohanes Surya serta Weilin Han, sudah berbicara di layar televisi dan menyatakan alasan ketidaksetujuannya atas Kurikulum 2013. Akan tetapi tampaknya apa yang telah diutarakan mereka, dianggap angin lalu. Saya teringat pada ucapan: Tiada nabi yang dihargai di negerinya sendiri.
            Penulis bukannya antiperubahan. Perubahan itu mutlak harus terjadi. Dengan catatan, perubahan yang membawa kepada perbaikan, bukan sebaliknya.
            Yang sudah jelas di depan mata, Kurikulum 2013 akan menciptakan problem baru , terutama bagi para guru. Guru yang sudah repot, akan menjadi jauh lebih repot lagi dengan aneka pekerjaan membuat laporan. Dan nantinya, karena kewalahan, ujung-ujungnya akan terjadilah laporan manipulatif. Atau, hanya sekadar dibuat sampling, tidak dibuat secara lengkap dan komprehensif. Loh, bukannya guru itu mengabdi untuk menjadi repot? Ya, betul, tetapi repot yang menolok dan ’worth it’, bukan untuk hal-hal yang tak penting. Kalau dibiarkan terus, pekerjaan mengajar dan mendidik yang dilakukan oleh seorang guru akan berubah menjadi pekerjaan seorang birokrat administratif. Bahkan mungkin nanti, karena begitu repotnya, maka setiap guru akan didampingi oleh 2 -3 orang asisten ahli (Wah… seperti anggota DPR saja!)
            Mungkin akan ada yang mengatakan, ”Ah… jangan bersikap sinis dan berpikiran negatif, dicoba dulu!”
Dicoba dulu? Ini menyangkut nasib jutaan generasi muda penerus bangsa, yang kelak menjadi pemimpin negara kita. Mereka bukan ’kelinci percobaan’!
            Mengapa tidak diujicoba lebih dahulu di sejumlah sekolah selama, sekurangnya, setahun penuh, baru kemudian dievaluasi? Disempurnakan, dibenahi, dan diujicoba ulang. Kalau jawabannya ’sudah’, siapa saja yang menjadi gurunya, di sekolah mana saja, dan bagaimana hasilnya. Bagaimana dampaknya terhadap guru dan siswa? Apakah gurunya betul-betul sanggup melakukan tugasnya selama satu tahun penuh tanpa tindakan manipulatif? Sepengetahuan penulis, belum pernah ada laporan mengenai hal ini.

Substansi masalah
            Kita semua menyadari bahwa mutu pendidikan kita – terutama selama satu dasawarsa  terakhir ini – mengalami kemerosotan. Hasil survei PISA membuktikan hal ini, lepas dari sementara pihak yang menyatakan ketidaksetujuannya.
            Sebenarnya substansi masalahnya apa atau di mana? Menurut penulis, substansi masalahnya ada di guru – sokoguru yang sangat dan paling menentukan di bidang pendidikan. Guru yang bermutu dan bijakana serta mampu menjadi suri teladan, akan menghasilkan siswa yang baik – secara kognitif maupun perilaku.
            Jika masalahnya di situ, berarti yang harus diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan mutu dan kompetensi guru dalam proses belajar-mengajar, apa bentuk programnya, siapa yang menatar. Bukan mengganti kurikulum. Ini namanya: Kepala gatal, kaki yang digaruk. Salah sasaran.
            Mengganti kurikulum itu menuai risiko besar. Baik waktu, tenaga, emosi, dan dana. Kurikulum 2013 ini memerlukan dana sebesar 2,49 trilyun, dari semula yang hanya sekitar 600 milyar. Mengapa jumlahnya bisa membengkak? Wallahualam.
            Mengapa pihak Kemendikbud seperti ’ngebet’ menerapkan Kurikulum 2013 ini sebelum Pemilu 2014?  Apa kedua hal tersebut berkaitan? Kalau tak berkaitan, memangnya Mendikbud yang baru nanti tidak bisa memiliki ide yang brilian untuk mengganti kurikulum? Apa kurikulum yang disodorkan sekarang ini sudah yang terbaik? Apa alasannya? Negara mana saja yang sudah menerapkan kurikulum model begini? Bagaimana hasilnya?
            Kebenaran akan terungkap seiring dengan perjalanan waktu. Alangkah bijaksananya jika biaya lebih dari 2 trilyun itu digunakan untuk meningkatkan mutu guru dalam proses belajar-mengajar melalui program-program yang dapat dipertanggungjawabkan. Keuangannya diaudit. Penulis khawatir bahwa biaya ini akan menjadi sia-sia belaka (kalau sudah telanjur digelontorkan), karena pergantian menteri (biasanya) akan segera diikuti dengan pergantian kurikulum. Ingat biaya itu berasal dari rakyat yang taat membayar pajak. Anda dan saya.

Soli Deo Gloria!

No comments:

Post a Comment