Wednesday, February 5, 2014

Dunia Pendidikan Indonesia



Mutu Pendidikan Makin "Acakadut"
Oleh Budianto Sutrisno

           Betapa tidak! Mendikbud menyatakan bahwa dengan sistem Kurikulum 2013, siswa SD tidak ada yang akan tinggal kelas. Masih disusul dengan pernyataannya yang bias dan berbau ketaksaan (ambiguitas) yang terdapat di alinea ketiga dari tulisan yang penulis kutip: "Jadi bukan untuk seluruh sekolah SD. Dan ini hanya untuk kenaikan kelas, bukan kelulusan SD," katanya usai memantau penyaluran Bantuan Siswa Miskin (BSM) di Karawang kemarin.

Tak serta merta lulus
         Kata "ini" dalam tulisan tersebut mengacu kepada aturan Kurikulum 2013 yang menyatakan ketiadaan siswa SD yang tinggal kelas, tetapi tidak berlaku untuk kelulusan SD. Jadi, berdasarkan pernyataan tersebut, murid SD yang naik kelas terus-menerus dari kelas I sampai kelas VI, misalnya, tidak harus secara serta merta lulus SD. Jadi, bisa saja terjadi siswa kelas VI dinyatakan tidak lulus pada sekolah yang menerapkan Kurikulum 2013. Jika kesimpulan ini benar, maka masih banyak guru SD yang salah berpikir. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa Kurikulum 2013 memastikan siswa SD memasuki jenjang SMP setelah periode belajar selama 6 tahun. Kemungkinan besar, siswa yang tidak lulus ini adalah siswa yang dikategorikan sebagai kw-4, kw-5 dan seterusnya (entah sampai kw ke berapa, tak jelas). Lho, manusia kok disamakan dengan barang, sih?
         Jika siswa dengan predikat kw-3 dan seterusnya ini nanti akhirnya lulus SD, maka akan terciptalah kesulitan baru di SMP. Guru SMP akan semakin puyeng dalam menghadapi siswa dengan mutu kw ini. Begitu pula seterusnya bila siswa kw ini berada di jenjang SMA dan perguruan tinggi. Pendidikan model begini seperti menyimpan bom waktu, yang tinggal menunggu saat meledak, yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
         Itu baru problem yang terkait dengan siswa. Belum lagi problem yang terkait dengan guru, yang masalahnya jauh lebih gawat. Untuk itu, penulis hendak berbagi cerita sewaktu mengikuti PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) di tahun 2010 sebagai salah satu syarat memperoleh sertifikat pendidik. Penulis ikut di dalam kelompok guru yang mengampu pelajaran Bahasa Inggris. Yang mengikuti PLPG dalam kelas penulis berjumlah 30 guru yang terdiri dari guru SMP negeri maupun swasta, pria dan wanita.
          Cerita yang kocak sekaligus menyedihkan, memilukan serta mengentak kesadaran penulis akan rawannya pendidikan di Indonesia, muncul sewaktu diadakan sesi peer teaching. Tiba giliran seorang peserta. Seorang bapak guru yang berusia di atas 50 tahun (seperti penulis). Beliau membuka pengajarannya dengan sapaan kepada siswa-siswi di dalam kelas. Kira-kira ucapannya adalah sebagai berikut: ”What’s your name, Suhaimin?” tanyanya pada salah seorang peserta yang berperan sebagai siswa.
         Kalimat sapaan ini kontan membuat seluruh kelas penuh dengan suara tawa yang bergemuruh (termasuk suara tawa penulis), sementara raut wajah si pembicara menunjukkan seolah-olah tidak berbuat kesalahan apa pun. Akan tetapi, tiba-tiba penulis merasa bahwa penulis tidak pantas menertawakan peristiwa yang sebenarnya merupakan tragedi besar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tragedi kok ditertawakan. Saya langsung menutup mulut, kendati suara tawa masih terdengar gaungnya. (Sehari sebelumnya, guru yang bersangkutan berbicara kepada penulis dan mengkhawatirkan tentang peer teaching ini. Nada bicaranya sangat menyangsikan kemampuannya sendiri). Jangan tanya, pembicaraan konyol apa lagi yang diucapkan Bapak X itu dalam peer teaching.
         Penulis berpikir bahwa jika memang seseorang tidak memiliki kemampuan berbahasa Inggris, ya jangan mengajar mata pelajaran tersebut. Toh masih ada mata pelajaran lain yang bisa diampu. Tinggal pilih sesuai dengan bakat dan kemampuan. Dari kejadian itu, penulis membayangkan apa yang ditulis oleh bapak guru tersebut sebagai jawaban soal ujian tertulis PLPG dalam bentuk esai dalam bahasa Inggris. Pastilah jawaban yang amburadul!
         Tanpa bermaksud menyombongkan diri dan merendahkan sesama guru, menurut hemat penulis, siswa hasil didikan penulis yang kemampuannya termasuk kelas menengah (menurut standar sekolah), masih jauh lebih baik ketimbang bapak guru tersebut. Lalu bagaimana dengan nasib murid di kelas bapak guru tersebut, kalau sang guru sama sekali tak bermutu?
         Dalam perjalanan pulang seusai PLPG, penulis semobil dengan ketua kelas. Sang ketua kelas menyatakan pendapatnya kepada saya, ”Menurut saya, Bapak X itu (yang membuat seluruh kelas diguncang oleh suara tawa), meskipun diberi ujian ulang berapa kali pun, dia tak akan lulus.” Penulis hanya bisa mengangguk kecil, mengiakan dalam kengerian.
         Pendapat ketua kelas ini merupakan pendapat yang menafikan perkataan Pak Menteri yang terhormat, yang menyatakan, ”Masak sih ada siswa yang diremidi berkali-kali tetap tidak lulus juga." Bapak Menteri kita bisa mengatakan demikian karena yang bersangkutan tidak pernah praktik langsung di lapangan menjadi guru dalam periode yang cukup lama (5 – 10 tahun). Beliau hanya berteori di atas kertas, yang bisa begitu berbeda dengan kenyataan di dunia praktik pendidikan yang sebenarnya. Jangankan murid, guru pun ada yang diremedial berkali-kali, dan tetap tidak lulus. Kenapa? Ya, karena kompetensi guru yang bersangkutan tidak memenuhi standar. Jangan selalu menyalahkan yang memberikan remedial. Remedial dalam bentuk pengajaran pun, tidak menjamin siswa yang bersangkutan memenuhi standar mutu yang baik, namun bisa menjamin pemenuhan standar KKM (lewat pendongkrakan nilai).
         Akhirnya, pernyataan sang ketua kelas itu menjadi kenyataan. Sewaktu pengumuman hasil PLPG, dari 30 guru, dinyatakan 6 guru tidak lulus. Dan setelah beberapa kali ujian ulang, satu peserta dinyatakan lulus, dan 5 peserta lainnya tetap tidak lulus. Ini kualitas guru di Jakarta. Bagaimana dengan kualitas guru (dan murid) di daerah terpencil di Nusantara ini? Pembaca tentu bisa menjawabnya dengan bijak, tanpa mengesampingkan kenyataan bahwa guru dan murid di daerah pun ada yang sangat cerdas.
         Para petinggi di dunia pendidikan Indonesia yang duduk di kursi empuk itu apakah benar-benar memahami kenyataan seperti ini? Saya pikir mereka tak tahu sama sekali, karena tak pernah blusukan ke berbagai daerah terpencil. Atau, mereka berpura-pura tak tahu. Hanya Tuhan yang tahu pasti.
         Jika problemnya terletak di guru (dan penulis sangat mengiakannya), lalu mengapa kurikulum yang diganti? Dan para siswa yang harus menjadi korban?

Indikator berbeda
            Di samping itu, dalam Kurikulum 2013 untuk SD terdapat kejanggalan yang begitu absurd bagi penulis. Mata pelajaran IPA dan IPS diintegrasikan dengan mata pelajaran bahasa Indonesia. Guru bahasa Indonesia diharapkan bisa berperan penting dalam proses belajar-mengajar. Ini memang ide baru, tetapi sangat absurd untuk diimplementasikan. Lho, kok bisa?
            Penalarannya adalah sebagai berikut. Setiap mata pelajaran itu memiliki indikator pencapaian tertentu. Indikator pelajaran yang satu berbeda dengan indikator mata pelajaran yang lain. Mata pelajaran bahasa Indonesia memiliki indikator mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis, sedangkan indikator IPA antara lain meliputi observasi, critical thinking, proses sains, dan lain-lain. Begitu pula dengan IPS yang memiliki indikator tersendiri.
            Bagaimana mungkin indikator yang berbeda ini bisa disatukan? Menurut Prof. Yohanes Surya – yang kepiawaiannya di bidang pendidikan sudah teruji dan terpuji dalam jangka panjang – untuk kelas I sampai kelas III masih bisa berkompromi, karena pelajar di kelas ini terutama baru dalam tahap belajar membaca dan menulis. Akan tetapi untuk kelas IV sampai kelas VI, pelajar sudah mulai bisa berpikir kritis, sehingga penyatuan indikator tak mungkin dilakukan. Jika dipaksakan, maka akan banyak bagian penting IPA (dan IPS) yang terabaikan. Akibatnya, Indonesia akan semakin terpuruk dalam IPA (dan IPS).
            Pembahasan mengenai cahaya, misalnya, bisa dipakai pelangi sebagai materi yang terintegrasi. Tetapi bagaimana dengan soal pemantulan, pembiasan, gelombang cahaya, dan sebagainya. Di dalam IPA banyak istilah yang memiliki makna berbeda dengan istilah yang sama dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, misalnya: usaha, gaya, daya, dan sebagainya. Bagaimana mungkin hal ini diintegrasikan? Ini namanya pekerjaan menggantang asap. Terlalu menggampangkan masalah tanpa menyelami masalah itu terlebih dahulu secara komprehensif.
            Jika digunakan indikator IPA/IPS, mengapa namanya bukan pelajaran IPA/IPS, tetapi pelajaran bahasa Indonesia? Jika diambil indikator bahasa Indonesia, maka akan banyak materi penting IPA/IPS yang terbuang. Hal ini akan memperbodoh bangsa. Membuat hari depan bangsa semakin terpuruk ke titik nadir. Ini sungguh merupakan dosa besar!
            Belum lagi bila guru bahasa Indonesia harus menjawab sejumlah pertanyaan kritis, seperti: Mengapa air bisa menguap? Mengapa awan bisa berwarna puith atau hitam? Mengapa kapal yang terbuat dari logam bisa mengapung? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan bisa dijawab dengan menggunakan indikator mata pelajaran bahasa Indonesia.
            Masih menurut Prof Yohanes Surya, tidak ada satu negara mana pun di dunia ini yang mengintegrasikan IPA dengan bahasa. Jadi Indonesia benar-benar pemegang rekor perintis dalam inovasi integrasi mata pelajaran. Sayangnya, ini bukan inovasi yang baik. Ini hanya akan membuat mutu pendidikan di Indonesia semakin ”acakadut”.
            Berita terakhir yang penulis sempat baca, konon pihak Kemendikbud bisa menerima pendapat Prof. Yohanes Surya tentang ketidakmungkinan integrasi di kelas IV sampai dengan kelas VI. Kesimpulannya, dengan Kurikulum 2013 ini, kelas IV sampai dengan kelas VI SD tetap akan menerima pelajaran tambahan IPA (dan IPS, tentunya) untuk mengisi bagian-bagian penting yang tereliminasi dalam sistem integrasi. Masalahnya, apakah seluruh guru SD, dan bahkan penyuluh Kurikulum 2013 itu sudah ”ngeh” tentang hal ini? Dan apakah nanti dalam implementasinya tidak terjadi penyimpangan? Rasanya kita perlu tahu jawabannya dari rumput yang bergoyang.
Soli Deo Gloria!

Sumber kutipan: http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=204969#

No comments:

Post a Comment