Puisi bertajuk "Matinya Nalar Sehat" ini tercipta sebagai respons pribadi penulis atas
fitnah keji yang dilontarkan sementara kelompok kepada salah satu peserta pilkada.
Semuanya ini bermuara kepada kebencian yang sudah meluap, sehingga mata dan
telinga hati menjadi buta dan tuli. Fakta dijadikan fatamorgana, dan sebaliknya.
Matinya Nalar Sehat
Di negeri selaksa pulau…
apa saja bisa terjadi
yang miskin mendadak bisa kaya raya
yang kurcaci bisa jadi panglima
yang tampak alim, bisa jadi yang
paling lalim
yang benar jadi salah, dan
sebaliknya
jangan tanya lagi bagaimana caranya
Kalau kebencian sudah merasuk jiwa
mata hati buta, telinga hati tuli
fakta nyata jadi fatamorgana
yang palsu jadi tampak asli
yang sejati dinyatakan gadungan
melihat lelaki sebagai perempuan
lalu bertanya di mana jilbabnya
entah apa yang bakal ditanya jika
bertemu waria?
Ini bukan dongeng menjelang tidur
ini kisah nyata yang sulit
dipercaya
entah membuat tawa, entah membawa
duka
karena kebencian telah membunuh
nalar sehat
Puncaknya terjadi
kala air mineral dibilang miras
minuman sehat dibilang tuak
memabukkan
halal dituduh haram
hanya dilihat dari warna botolnya
yang sehijau sinar mata si tukang
fitnah
equil dibaca tequila
entah salah baca, entah memang buta aksara
entah naïf, entah bodoh, para dewa pun tak tahu
entah salah baca, entah memang buta aksara
entah naïf, entah bodoh, para dewa pun tak tahu
entah bagaimana pula perasaan sang
empunya merek
kala produk lokal yang mengglobal justru
dinista
haruskah berbangga atau kecewa?
haruskah menuntut keadilan dan
butuh fatwa?
yang jelas, semua berdukacita,
semua berbelasungkawa
karena nalar sehat telah mati
mengiringi ulah pemfitnah keji yang
tak kenal henti
menarikan tarian zombi mabuk
tanpa makna, tanpa arti
Ku hanya mampu merapal doa
‘gar kebencian segera dimusnahkan
dari muka bumi
bangkainya dicampakkan ke dasar
jurang maut
nalar sehat hidup kembali
dan damai pun menyambut senyum ibu
pertiwi
***