Tuesday, September 13, 2016

Jejak Langkah Pak Tua

Genre puisi berikut ini agak beraroma puisi esai yang berjudul "Jejak Langkah Pak Tua" - mirip dengan judul salah satu buku karya Pramoedya Ananta Toer.
Puisi ini diilhami oleh kisah perjalanan Tong Sam Cong (bersama Sun Go Kong
Ti Pat Kay, dan Wu Ching) dalam mencari Kitab Suci ke Tanah Barat.
Ada juga bagian yang diinspirasi oleh kisah Abraham yang dipanggil Tuhan
untuk keluar dari tanah Ur.
Puisi ini telah terpilih sebagai salah satu puisi terbaik, yang akan dibukukan dalam 1 antologi puisi bersama dengan karya para pemenang lain, dan diterbitkan oleh Sabana Pustaka 
selaku penyelenggara lomba.
Soli Deo Gloria!

Jejak Langkah Pak Tua

Oleh Budianto Sutrisno

Setiap langkah kaki Pak Tua meninggalkan jejak
merangkai butiran sejarah perjuangan
sembul gurat-gurat urat hijau di lengkung betisnya
 jadi saksi mata utama
cekung lembah gersang dan gunduk bukit sarat rekah
jadi sahabatnya di musim kerontang
gerisik dedaun  kuning yang menggeliat jatuh
jadi teman seperjalanannya
helai demi helai melayang, gemulai ikuti irama serunai angin kembara
menyapa sambut kehadiran sosok beraut keriput, bermata nyalang berkilat api
mengundang reranting kering berayun, sigap menolak datangnya ujung usia
sementara di pelataran langit sana
awan gemawan bergerak, berarak, memekik sorak
tebarkan tudung lindung pada sosok uzur dari sengat terik bola bara mentari

Manakala jingga senja bertukar jaga dengan hitam malam
Pak Tua rebahkan tubuh rentanya di dangau, melepas penat sambil menatap bulat purnama
bisu mata pandang bintang gemintang, ungkapkan rasa dan cita dalam bahasa nurani
bahasa keheningan yang mengalirkan bening kejujuran dari palung hati murni
percakapan usai, Pak Tua dijemput belai kantuk, masuk ke alam nyenyak
dengkurnya jadi tanda leganya dada, meski perjalanan masih terentang berlaksa hari
menjejak bentang liku jalan penuh onak duri

Pak Tua pernah kisahkan semuanya itu kepadaku
langkahnya mantap menuju ufuk sana ’tuk rengkuh lembar lontar bijak dan bajik
tuntunan jiwa di episode terakhir hidupnya sekaligus pusaka warisan bagi anak-cucunya
ufuk mana? dia cuma angkat bahu pertanda tunajurusan dan letak
tapi dia percaya, Yang Mahatahu ’kan anugerahkan kompas batin penuntun baginya

Mulanya banyak bibir nyinyir gelontorkan cemooh pada Pak Tua
tapi aku, selaku ananda tercinta, telah cecap buahnya yang manis nikmat
setiap aksara dan kata dalam lembar sejarah hidupnya menjelma caraka yang menghidupi
pijar nasihatnya barakan api juang sampai sua terakhir dengan takdir
Pak Tua bilang, tusukan belati duri awalnya ngangakan luka, akhirnya kokohkan jiwa
aku percaya itu, dan aku serta Pak Tua telah membuktikannya
terima kasih, Pak Tua, ayahanda tercinta

                                                                                                                                      
***


No comments:

Post a Comment