Saturday, September 24, 2016

Kurawa Berjubah Pendawa

Situasi politik menjelang Pilkada Pilgub DKI Jaya akhir-akhir ini telah
mengilhami penulis untuk menuliskan puisi berikut.
Mengisahkan tokoh Durna - guru Kurawa dan Pendawa - dalam kemasan kekinian.
Kisah-kisah lama selalu terulang kembali dalam sejarah umat manusia.
Zaman boleh berubah, tetapi sifat-sifat pelaku sejarah selalu terproyeksi
pada setiap kurun masa, lewat tokoh-tokoh di era kekinian.

Kurawa Berjubah Pendawa

Oleh Budianto Sutrisno


Syahdan, Begawan Durna merancang siasat licik
’tuk lenyapkan Bima, salah satu ksatria perkasa Pendawa
siapa nyana begawan sekaligus guru terhormat tega merancang tipu keji
’tuk lemahkan Pendawa
kepolosan Bima membuatnya taat pada perintah palsu
mencari tirta perwita, air kehidupan ’tuk capai kesempurnaan
air sakti khayalan Durna yang justru membawa keberuntungan bagi Bima

Berpuluh abad usai terpenggal kepalanya di Baratayudha
oleh tebasan pedang Drestajumena
begawan Durna menitis kembali ke mayapada
jadilah Durna dalam kemasan kekinian yang serba-cool
buruk tampilannya t’lah dipermak habis oleh ahli bedah kosmetik Negeri Ginseng
ketampanan Bambang Kumbayana, Durna muda, dipulihkan bahkan ditambahkan
Brad Pitt pun kalah tampan dan jadi iri
masih ditambah rajin ke salon dan sadar perawatan spa
 muka dan tubuhnya tak kalah kinclong dibandingkan Syahrini
pokoknya, lebih cetar membahana
daftar ke sekolah kepribadian segala
agar bisa selalu senyum dan santun di depan kamera
ikut kursus berpidato dalam bahasa bunga
modal penting ’tuk pikat hati rakyat
mati-matian berusaha mengimitasi perilaku santun Arjuna
pendek kata, jubah Pendawa dan segenap atributnya telah lengkap dikenakannya
tak heran, hatinya lalu pekikkan gempita semangat:
”pidatoku harus lebih hebat ketimbang Margaret Thatcher dan Ronald Reagan”
maklum, orator ulung berhasrat jadi senapati di negeri Pulau Kelapa nun di sana
merebut hati para begawan dan jelata
membujuk mereka, membina, lalu membinasakannya bila perlu
lagi pula, ah… siapa tahu kalau kesempatan tiba
Durna kemasan masa kini bisa melengserkan raja
betapa bahagianya menjadi raja negeri Pulau Kelapa
lebih mulia dan moncer ketimbang jadi begawan kaum Kurawa

Singkat cerita, Durna kemasan tampan berhasil jadi senapati
segenap kekuatan dihimpun dengan cara santun
sesantun dia memperdaya Bima dengan iming-iming kesempurnaan
halus, dan tanpa gembar-gembor seperti laku panglima penguasa di Kutaraja
tapi apa hendak dikata, raja cerdik cepat membongkar siasat licik
jubah Pendawa-nya tersingkap, dan tampaklah belang Kurawa-nya
agenda tersembunyi terungkap sudah
Durna necis yang dulu disayang, lalu ditendang
tanpa ampun, sang santun pun lengser terjengkang
cita-citanya jadi penguasa kandas di tengah jalan

Cerita belum selesai, Durna santun beroleh kesempatan baru
bergabung dengan Kurawa kemasan baru pula
bisa reuni dengan Sengkuni yang sudah tampak renta
ada juga Dursasana yang gemar menjamah wanita
eh… sesama Kurawa, jadi ya cepat akur
apalagi punya semangat sama
”di mana ada kuasa, di situ hatiku bertakhta”
orang Jawa bilang ”koyo tumbu oleh tutup”, pas banget
mundur dulu selangkah untuk maju dua langkah, bisiknya
jadi panglima dulu, baru nanti jadi raja

Tapi Durna kemasan baru lupa peristiwa Baratayudha dulu kala
syahwat kekuasan telah membutakan hati dan ciptakan amnesia
Drestajumena abad ke-21 sudah menunggu
di garis depan medan Padang Kurusetra
siap mengayunkan pedang saktinya
akankah kita saksikan batok kepala jatuh menggelinding?
sang waktulah yang menentukannya

Tiba-tiba... aku seperti melayang
telingaku dengar cerita emak-emak 
yang dikisahkan Denny Siregar, sipenulis kocak
loh, kok ada miripnya, latarnya saja yang beda
sluuurp... kudengar suara seruput Bang Denny 
tengah asyik menikmati secangkir kopi panas
kepul asap dan ruap aroma harum menyergap hidung
aku pun terjaga dari lamunanku


***


Tuesday, September 13, 2016

Jejak Langkah Pak Tua

Genre puisi berikut ini agak beraroma puisi esai yang berjudul "Jejak Langkah Pak Tua" - mirip dengan judul salah satu buku karya Pramoedya Ananta Toer.
Puisi ini diilhami oleh kisah perjalanan Tong Sam Cong (bersama Sun Go Kong
Ti Pat Kay, dan Wu Ching) dalam mencari Kitab Suci ke Tanah Barat.
Ada juga bagian yang diinspirasi oleh kisah Abraham yang dipanggil Tuhan
untuk keluar dari tanah Ur.
Puisi ini telah terpilih sebagai salah satu puisi terbaik, yang akan dibukukan dalam 1 antologi puisi bersama dengan karya para pemenang lain, dan diterbitkan oleh Sabana Pustaka 
selaku penyelenggara lomba.
Soli Deo Gloria!

Jejak Langkah Pak Tua

Oleh Budianto Sutrisno

Setiap langkah kaki Pak Tua meninggalkan jejak
merangkai butiran sejarah perjuangan
sembul gurat-gurat urat hijau di lengkung betisnya
 jadi saksi mata utama
cekung lembah gersang dan gunduk bukit sarat rekah
jadi sahabatnya di musim kerontang
gerisik dedaun  kuning yang menggeliat jatuh
jadi teman seperjalanannya
helai demi helai melayang, gemulai ikuti irama serunai angin kembara
menyapa sambut kehadiran sosok beraut keriput, bermata nyalang berkilat api
mengundang reranting kering berayun, sigap menolak datangnya ujung usia
sementara di pelataran langit sana
awan gemawan bergerak, berarak, memekik sorak
tebarkan tudung lindung pada sosok uzur dari sengat terik bola bara mentari

Manakala jingga senja bertukar jaga dengan hitam malam
Pak Tua rebahkan tubuh rentanya di dangau, melepas penat sambil menatap bulat purnama
bisu mata pandang bintang gemintang, ungkapkan rasa dan cita dalam bahasa nurani
bahasa keheningan yang mengalirkan bening kejujuran dari palung hati murni
percakapan usai, Pak Tua dijemput belai kantuk, masuk ke alam nyenyak
dengkurnya jadi tanda leganya dada, meski perjalanan masih terentang berlaksa hari
menjejak bentang liku jalan penuh onak duri

Pak Tua pernah kisahkan semuanya itu kepadaku
langkahnya mantap menuju ufuk sana ’tuk rengkuh lembar lontar bijak dan bajik
tuntunan jiwa di episode terakhir hidupnya sekaligus pusaka warisan bagi anak-cucunya
ufuk mana? dia cuma angkat bahu pertanda tunajurusan dan letak
tapi dia percaya, Yang Mahatahu ’kan anugerahkan kompas batin penuntun baginya

Mulanya banyak bibir nyinyir gelontorkan cemooh pada Pak Tua
tapi aku, selaku ananda tercinta, telah cecap buahnya yang manis nikmat
setiap aksara dan kata dalam lembar sejarah hidupnya menjelma caraka yang menghidupi
pijar nasihatnya barakan api juang sampai sua terakhir dengan takdir
Pak Tua bilang, tusukan belati duri awalnya ngangakan luka, akhirnya kokohkan jiwa
aku percaya itu, dan aku serta Pak Tua telah membuktikannya
terima kasih, Pak Tua, ayahanda tercinta

                                                                                                                                      
***


Monday, September 12, 2016

Pemimpin dengan Sifat "Hasta Brata"



Pemimpin dengan Sifat ”Hasta Brata”
Oleh Budianto Sutrisno

#PemimpinIdealUntukDaerah2017

            Tak pelak lagi, pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serempak bakal menjadi pesta demokrasi yang sangat menarik. Sebuah perhelatan nasional yang gegap gempitanya sudah tampak terdengar mulai sekarang, padahal peristiwanya baru akan berlangsung pada tahun 2017. Debat kusir tentang calon pemimpin yang ideal telah dimulai. Setiap pihak memiliki kriteria masing-masing dan setiap pihak cenderung berpendapat bahwa calon pemimpin yang diusungnya adalah calon yang paling ideal. 

Hasta Brata
            Mencoba untuk berpikir objektif, penulis – sebagai orang dilahirkan, tumbuh, dan dibesarkan dalam pengaruh budaya Jawa – mengacu kepada ajaran lama tentang kepemimpinan yang disebut sebagai Hasta Brata.
            Hasta berarti delapan, sedang Brata berarti perilaku/sifat baik. Jadi, Hasta Brata berarti delapan sifat baik yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin di bidang apa saja, termasuk kepala daerah untuk setiap bagian wilayah Nusantara. Pengajaran Hasta Brata ini terdapat dalam kisah wayang Wahyu Makutha Rama.
            Mari kita mulai dengan sifat baik pertama, yakni sifat bumi. Seorang pemimpin harus memiliki karakter seperti bumi. Dia seperti ibu yang tulus serta tekun memelihara, merawat, mengasuh, dan mengayomi segala makhluk yang hidup di atas bumi. Dengan demikian, seorang pemimpin yang ideal haruslah memerhatikan seluruh warganya tanpa pandang bulu dan menggunakan kekuasaannya untuk menyejahterakan seluruh warga yang dipimpinnya, terutama dalam mengentaskan kemiskinan dan kebodohan.
            Sifat baik kedua adalah sifat air. Sebagaimana air yang mengalir dari atas ke bawah, seorang pemimpin harus memerhatikan kebutuhan, kepentingan, dan potensi masyarakat yang dipimpinnya, dan bukan hanya bisa ”sendika dawuh” kepada kebutuhan atasan. Pemimpin yang ideal harus mampu membuka mata dan telinga terhadap masukan, pendapat, dan kritik dari bawahan, serta mencari solusi terbaik terhadap permasalahan yang ada.
            Sifat baik ketiga adalah sifat angin. Pemimpin dengan karakter angin mampu menyusup ke bagian mana pun. Ia mengerti benar situasi dan kondisi rakyatnya di mana pun, dan tidak sembarangan berbicara tanpa data atau fakta. Asbun adalah tabu baginya. Dengan demikian, pemimpin yang ideal selalu melakukan cek dan cek ulang sebelum berbicara atau mengambil keputusan penting. Kalau toh harus berdebat, maka perdebatan dilakukan dengan argumentasi yang disertai data yang akurat.
            Sekarang kita tiba pada sifat baik keempat, yakni sifat bulan. Sebagaimana bulan yang menerangi kegelapan, seorang pemimpin yang ideal harus mampu memberikan pencerahan kepada rakyatnya. Seperti bulan yang menerangi tanpa membuat panas, maka kata-kata pemimpin harus bersifat menyejukkan, tidak membangkitkan kemarahan pihak mana pun. Yang bersangkutan memiliki keindahan di bidang spiritualitas.
            Sedangkan sifat baik kelima adalah sifat matahari. Seperti sang surya yang menyalurkan energi, seorang pemimpin yang ideal harus mampu memberikan inspirasi dan semangat kepada rakyatnya untuk bekerja sama menuntaskan persoalan yang sedang dihadapi. Pemimpin dengan karakter matahari akan bersikap konsisten dan teguh dalam mengemban amanat. Dia mampu menjadi penuntun, guru, dan sekaligus pelindung dalam menjalankan tugas dan kewajibannya untuk menggapai kualitas kehidupan dan peradaban yang lebih baik bagi seluruh warganya.
            Sifat baik keenam adalah sifat samudra. Seperti samudra, seorang pemimpin harus memiliki wawasan yang luas dan dalam. Yang bersangkutan harus memiliki hati yang luas dalam menampung segala pendapat dan aspirasi dari segenap lapisan masyarakat. Dan kemudian, dengan sabar dan penuh kasih, pemimpin memberikan solusi terbaik untuk kepentingan warganya.
            Sedangkan sifat baik ketujuh adalah sifat gunung. Layaknya sebuah gunung yang menjulang tinggi, kukuh, dan kokoh, seorang pemimpin yang ideal harus memiliki keteguhan secara fisik maupun psikis dalam membela kepentingan rakyatnya. Kemarahan seorang pemimpin itu membuahkan hikmah. Seperti halnya dengan letusan gunung berapi yang pada akhirnya mendatangkan kesuburan bagi tanah.
            Dan akhirnya kita sampai pada sifat baik kedelapan. Sifat ini mengacu kepada api. Secara alami, api memiliki sifat panas dan membakar. Seorang pemimpin yang ideal harus mampu membakar dan mengobarkan semangat positf rakyatnya untuk memperbaiki nasib. Dia harus mampu menjadi inspirator sekaligus motivator untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Rakyat harus peduli
            Sudah barang tentu, setiap suara itu berharga dalam Pilkada. Rakyat harus peduli dengan kriteria yang tercantum dalam Hasta Brata yang bersifat universal. Retorika indah calon pemimpin perlu dikritisi apakah bisa menjadi realitas.
            Di atas semuanya itu, seorang pemimpin bukan hanya sekadar harus selaras dengan alam seperti yang disebutkan dalam Hasta Brata, melainkan harus pula selaras dengan Sang Pencipta alam semesata.
            Pemimpin harus sadar, bahwa dalam menjalankan tugasnya, ada mata Yang Mahatahu yang mengawasi. Karenanya, dia akan berusaha memberikan yang terbaik bagi kesejahteraan warganya. Kata penyelewengan dan korupsi tak tercantum dalam kamus hidupnya.


 http://siperubahan.com/read/2927/Pemimpin-dengan-Sifat-Hasta-Brata



Pemimpin Ideal Untuk Daerah