Sunday, August 30, 2015

Masuk "50 Besar" Puisigrafi

Saya bersyukur kepada Tuhan atas segala anugerah-Nya yang membawa  puisigrafi 
karya bersama antara saya dan Sdr. Arif Wijaya  yang berjudul "Derai Hujan, Dering Hati" 
ini bisa termasuk dalam "50 Besar" dalam sebuah lomba bertema "Perempuan dalam Hujan".
Ke-50 karya kontributor ini bersama sejumlah puisi karya penulis tamu akan dibukukan 
dalam sebuah antologi puisigrafi yang berjudul "Payung Hitam".
Meski tak menjadi pemenang utama, kami merasa memperoleh kehormatan atas kesempatan
berkarya dalam genre puisi yang masih relatif baru di Indonesia.
Soli Deo Gloria!











Friday, August 21, 2015

Gusar dan Gusur

Peristiwa penggusuran yang terjadi di kawasan bantaran kali di Kampung Pulo, telah 
menggerakkan saya untuk menuangkannya dalam bentuk puisi.
Manusia - baik kaya maupun miskin - selalu memiliki problem. Dan problem tersebut harus dicari jalan keluarnya. Nah, di sinilah benang ruwetnya. Masing-masing kepala memiliki pendapat
yang bukan saja berbeda, melainkan bisa bertentangan satu dengan yang lain. Yang jelas, sebuah
keputusan itu tak mungkin memuaskan hati semua orang.



Gusar dan Gusur
Oleh Budianto Sutrisno

Miskin memang bukan suatu kemauan
apalagi sebuah pilihan atau cita-cita
 miskin memang sebuah kenyataan
yang ada dari zaman ke zaman
mereka kaum tertindas dan terempas
merasa paling nestapa dan teraniaya
api iri dan cemburu mudah membara di dada

Tapi mereka harus hidup
terlindung dari sengat mentari dan deras hujan
gubuk reyot di ranah kumuh jadi istana mereka
tak peduli tanah siapa empunya
di mana ada celah untuk berpijak
di situ mereka beranak-pinak
sampah dan kotoran siapa peduli
semuanya beres jika dibuang ke kali
banjir bukan bencana lagi
tapi kesempatan memperoleh rezeki
sumbangan deras mengalir, mereka tinggal berkipas diri
mental pengemis melebur jadi jati diri

Kala musim gusur tiba
mereka jadi gusar luar biasa
upaya relokasi dianggap menyumbat aliran rezeki
gusur jadi melanggar hak asasi
curi tanah negara itu biasa
tak punya izin bangunan juga tak apa
siapa sumbat rezeki, dia harus mati
bakar-membakar jadi lazim
lempar batu bukan hal baru
adu kepalan tinju tidaklah tabu
terus merangsek maju mengumbar gebu nafsu
tanpa pertimbangkan benar atau keliru
urusan perut itu nomor satu
persetan dengan moral, hukum, dan kebenaran

Kala kebenaran tak lagi jadi kiblat kehidupan
manusia menjadi budak keliaran
kala kebenaran memimpin
kebijaksanaan berjalan mengiringinya
gusar tak jadi barbar
gusur jadi teratur


***

Friday, August 7, 2015

Berkepala tapi Tak Berotak

Salah satu problem yang menjengkelkan dalam hidup ini adalah ketika kita berhadapan dengan
orang bodoh yang tak tahu diri. Orang yang bersangkutan merasa diri selalu benar, dan yang
salah selalu orang lain. Orang seperti ini hanya mau mendengarkan suara sendiri, tetapi menulikan
diri terhadap pendapat orang lain. Mengeluh dan mengomel berkepanjangan adalah ciri khasnya. Merasa diri yang berkuasa atas segalanya, padahal bodoh luar biasa.
Perasaan semacam ini saya tuangkan dalam bentuk puisi di bawah ini.



Berkepala tapi Tak Berotak
Oleh Budianto Sutrisno

 
Sebatang pohon rindang
bisa dibuat menjadi berlaksa batang korek api
si kecil mungil dengan kepala tanpa otak
mampu membakar berlaksa pohon di rimba belantara
sampai habis ludes, rusak binasa

Manusia dungu sering lebih mirip korek api
berkepala tapi tak berotak
muncul masalah satu, keluhannya seribu
sedikit tak enak, langsung mau berontak
matanya merah, bicaranya membentak
tingkahnya congkak penuh lagak
berkaok bak burung gagak
kata-katanya bercampur dengan dahak
nuraninya rusak
merasa diri yang paling layak
padahal tak lebih dari seekor kecoak

Manusia korek api
lidahnya penuh kobar dendam menyala
liar, tanpa kendali
mulutnya terus nerocos, telinganya tuli
tergesa bicara, tak mau dengar
yang salah dibilang benar
yang benar dibilang biang onar
makin salah, makin ogah kalah
makin temberang, makin enggan berjuang
tindakannya brutal tanpa sesal
menganggap diri lebih tinggi ketimbang langit
padahal kemampuannya amit-amit
perilakunya ceroboh, langkahnya bodoh
hidupnya tak jadi berkat
tapi malah jadi laknat

Hidup ini memang penuh ironi
mari kita semua meneliti dengan berhati-hati
apakah kita sungguh insan sejati
yang jernih pikir dan bersih nurani
atau manusia kerdil si korek api


***


Tuesday, August 4, 2015

Kura-Kura Hendak Melejit ke Langit

Kemampuan mengukur kompetensi diri memang penting. Untuk melakukannya 
diperlukan hikmat dan kesadaran akan keterbatasan diri sepanjang hidup agar mampu 
mengukur secara tepat. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.
Betapa jengkelnya hati ketika bertemu dengan seseorang yang masih muda usia tetapi
merasa diri sebagai orang paling hebat yang mengerti dan menguasai segalanya. Orang seperti ini  menilai diri jauh lebih tinggi ketimbang keadaan yang sebenarnya. Kesan arogan sangat kental. Arogan dalam kekosongan. yang bisa berakhir dengan nasib tragis. 
Hal ini telah saya tuangkan dalam sebuah puisi yang saya tulis kurang-lebih dua tahun yang lalu.



Kura-Kura Hendak Melejit ke Langit
Oleh Budianto Sutrisno

Kura-kura berhasrat bisa melompat
sang kodok mengajarinya
alih-alih mampu melompat
kura-kura malah terjerembab
nyawanya nyaris tamat

Kura-kura ingin bisa berlari cepat
sang kijang jadi gurunya
alih-alih bisa berlari
kura-kura malah terkilir kaki
jatuh pingsan nyaris mati

Kura-kura hendak melejit ke batas langit
sang rajawali di-dapuk jadi pelatih
alih-alih lancar terbang
kura-kura malah terjungkal ke dalam jurang
nyawanya benar-benar melayang

Punya hasrat, cita-cita, ambisi, dan nyali
sama sekali tidak keliru atau tabu
tapi jika tak mampu berkaca dan mengukur diri
jangan sesal jika nasib kura-kura menimpamu di hari nanti


***