Peristiwa penggusuran yang terjadi di kawasan bantaran kali di Kampung Pulo, telah
menggerakkan saya untuk menuangkannya dalam bentuk puisi.
Manusia - baik kaya maupun miskin - selalu memiliki problem. Dan problem tersebut harus dicari jalan keluarnya. Nah, di sinilah benang ruwetnya. Masing-masing kepala memiliki pendapat
yang bukan saja berbeda, melainkan bisa bertentangan satu dengan yang lain. Yang jelas, sebuah
keputusan itu tak mungkin memuaskan hati semua orang.
Gusar
dan Gusur
Oleh Budianto Sutrisno
Miskin memang bukan suatu kemauan
apalagi sebuah pilihan atau
cita-cita
miskin memang sebuah kenyataan
yang ada dari zaman ke zaman
mereka kaum tertindas dan terempas
merasa paling nestapa dan teraniaya
api iri dan cemburu mudah membara di dada
Tapi mereka harus hidup
terlindung dari sengat mentari dan
deras hujan
gubuk reyot di ranah kumuh jadi
istana mereka
tak peduli tanah siapa empunya
di mana ada celah untuk berpijak
di situ mereka beranak-pinak
sampah dan kotoran siapa peduli
semuanya beres jika dibuang ke kali
banjir bukan bencana lagi
tapi kesempatan memperoleh rezeki
sumbangan deras mengalir, mereka
tinggal berkipas diri
mental pengemis melebur jadi jati
diri
Kala musim gusur tiba
mereka jadi gusar luar biasa
upaya relokasi dianggap menyumbat
aliran rezeki
gusur jadi melanggar hak asasi
curi tanah negara itu biasa
tak punya izin bangunan juga tak
apa
siapa sumbat rezeki, dia harus mati
bakar-membakar jadi lazim
lempar batu bukan hal baru
adu kepalan tinju tidaklah tabu
terus merangsek maju mengumbar gebu
nafsu
tanpa pertimbangkan benar atau
keliru
urusan perut itu nomor satu
persetan dengan moral, hukum, dan
kebenaran
Kala kebenaran tak lagi jadi kiblat
kehidupan
manusia menjadi budak keliaran
kala kebenaran memimpin
kebijaksanaan berjalan
mengiringinya
gusar tak jadi barbar
gusur jadi teratur
***