Wednesday, June 24, 2015

Seni Adiluhung Sekaligus Mahakarya Indonesia



Seni Adiluhung Sekaligus Mahakarya Indonesia
Oleh Budianto Sutrisno



Bumi gunjang-ganjing, langit kelap-kelap ... oh... oh... demikian bunyi suluk dalang dalam sebuah petunjukan wayang kulit – pergelaran seni yang banyak mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di tanah Jawa. Wayang kulit yang sarat dengan filsafat kehidupan ini sudah menjadi semacam ”acara wajib” dalam sejumlah peristiwa penting, baik yang bersifat pribadi maupun komunitas.
Penulis sendiri telah mengenal pertunjukan wayang kulit sejak masa kecil. Jika ada pesta pernikahan, khitanan, atau ruwatan di pagi/siang hari yang dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit, penulis sering berdesakan di antara penonton yang terbuai oleh pesona sihir pertunjukan wayang kulit. Boleh dibilang, keluarga kami merupakan keluarga penggemar wayang. Ketika meresmikan rumah tinggal puluhan tahun yang lalu, ayah penulis  nanggap wayang dengan lakon atau cerita ”Wahyu Cokroningrat”.
Adegan favorit penulis dalam pertunjukan wayang kulit adalah goro-goro yang menampilkan para punakawan dan perang kembang, yakni peperangan antara kesatria (biasanya diwakili oleh Arjuna atau Abimanyu) dan raksasa (biasanya diwakili oleh Buto Cakil). Apalagi bila dalangnya mumpuni, wah… dahsyatnya adegan perang sangat terasa mendebarkan. Kelir atau layar pertunjukan itu rasanya mau roboh. Di samping itu, kelakar para punakawan sanggup membuat para penonton terpingkal-pingkal.

Perpaduan seni
            Ditinjau dari segi sejarah, kata ”wayang” itu berasal dari kata ”ma” dan ”hyang” yang berarti ”menuju kepada Tuhan yang Mahaesa”.
            Jika kita perhatikan, seni pertunjukan wayang kulit itu memadukan sejumlah cabang seni, mulai dari seni pahat, seni lukis, seni musik karawitan (gamelan), seni suara (yang ditembangkan oleh para pesinden), seni mendalang, seni peran, seni tutur, seni sastra, hingga seni perlambangan Semuanya terangkum menjadi satu kesatuan dalam seni pertunjukan wayang kulit.
            Tak pelak lagi, wayang kulit – yang merupakan seni hasil budaya asli Indonesia – telah  menjadi seni pertunjukan adiluhung yang sekaligus merupakan mahakarya Indonesia. Karenanya, tidaklah berlebihan bila Unesco pada 7 November 2003 telah mengakui wayang kulit sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity (Mahakarya Kebudayaan yang Sangat Berharga di Bidang Narasi).
            Bahan wayang kulit itu sendiri terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan,  dihiasi dengan motif hasil tatah sungging (ukir kulit) dan diberi pewarnaan sesuai dengan karakter tokoh wayang
Seni menyungging wayang kulit.
yang bersangkutan. Sedangkan dalang – yang memainkan wayang kulit – harus mampu duduk bersila semalam suntuk untuk memainkan ratusan tokoh dengan ratusan karakter. Dia harus hafal dialog, nembang, mengubah warna dan intonasi suara. Kedua tangannya memainkan wayang, bahkan jari kakinya menjepit cempala, yakni semacam martil yang digunakan untuk membunyikan kepyak sehingga menghasilkan bunyi khas ”pyak-pyak dan jika dipukulkan di kotak kayu akan menimbulkan suara ”prak-prak. Kepyak itu sendiri terdiri dari 1 – 5 lempengan perunggu yang dirangkai dengan tali pengikat. Sungguh suatu kemampuan yang sangat spektakuler! Tokoh-tokoh wayang yang tidak/belum dimainkan ditancapkan di batang pisang yang berada di depan dalang.
            Penonton pertunjukan wayang kulit itu sebaiknya berada di balik kelir. Mereka ini pada dasarnya menonton bayangan wayang yang dimainkan oleh dalang. Bayangan ini terbentuk karena pencahayaan dari lampu blencong yang berbahan bakar minyak. Namun, dalam pergelaran wayang kulit di zaman modern ini, peran lampu blencong sudah digantikan dengan lampu petromaks atau lampu pijar. Itu sebabnya, pertunjukan wayang kulit biasanya diselenggarakan pada malam hari. Lebih berefek dramatis.

Penabuh gamelan dan pesinden
            Berbicara tentang pertunjukan wayang kulit, tak terlepas dari peran dan fungsi para nayaga (penabuh gamelan) dan para pesinden atau waranggana yang menembangkan lagu-lagu Jawa. Di masa lampau, pesinden itu biasanya hanya satu orang, tetapi sekarang ini bisa berjumlah hingga sepuluh orang. Deretan pesinden ini merupakan daya tarik tersendiri bagi para penonton. Apalagi jika
Deretan pesinden yang menjadi magnet tambahan.
mereka memiliki penampilan yang cantik dan menarik. Hal ini menjadi semacam magnet tambahan di samping dalang yang sudah kondang.
Yah, seni pertunjukan itu pada dasarnya merupakan bentuk komunikasi yang mengedepankan daya tarik sesuai dengan perkembangan zaman, bukan?
            Selanjutnya kita bahas instrumen gamelan. Kata ”gamelan” berasal dari kata Jawa ”gamel” yang berarti ”memukul” atau ”menabuh”. Kemunculan gamelan dimulai pada zaman pengaruh Hindu – Buddha mendominasi ranah Jawa. Bentuk instrumennya kemudian dikembangkan pada zaman Majapahit.
            Gambaran awal tentang instrumen ansambel musik gamelan ditemukan pada Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8. Di sini terdapat relief tentang berbagai instrumen, seperti: seruling bambu, kendang, kecapi, alat musik berdawai yang dipetik dan digesek, namun hanya sedikit ditemukan instrumen yang terbuat dari logam. Penalaan dan pembuatan instrumen gamelan merupakan proses yang sangat kompleks. Untuk gamelan di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, dikenal dua jenis titi laras/nada, yakni slendro dan pelog. Laras slendro mengacu pada nada yang mendekati minor, sedangkan laras pelog mengacu pada nada yang mendekati diatonis.
            Instrumen gamelan ini antara lain berupa: kendang, rebab, demung, saron, peking, slenthem, bonang, kenong, kethuk, gambang, gender, siter, kempul, seruling, gong, dan kepyak.

Simbol kerja sama harmonis
            Tak perlu diragukan lagi, seni pertunjukan wayang kulit yang adiluhung dan asli Indonesia ini memiliki daya tarik yang sangat besar. Kalau tidak, tak mungkin banyak orang asing belajar menjadi
Penabuh gamelan dari Perancis.
dalang, pesinden, dan penabuh gamelan di Indonesia. Jikalau bukan kita sendiri yang melestarikan kebudayaan adiluhung yang sekaligus merupakan mahakarya Indonesia ini, kesenian ini bisa pudar/punah. Jika kita tak berwaspada dalam melestarikan kebudayaan wayang kulit, jangan-jangan suatu hari nanti, kita justru belajar pertunjukan wayang kulit di Australia, Amerika, atau Eropa. Yah... jangan sampai hal ini terjadi.
         Alangkah baiknya bila kesenian pertunjukan wayang ini juga diajarkan di sekolah. Mungkin tidak perlu semua sekolah, mengingat kesenian ini membutuhkan biaya yang tak sedikit. Generasi muda perlu dididik untuk mencintai pertunjukan wayang kulit, sehingga seni adiluhung ini dapat diwariskan dari waktu ke waktu.
            Bagi penulis, pertunjukan wayang kulit itu merupakan sebuah simbol kerja sama yang sangat harmonis antara dalang, nayaga, dan pesinden. Itu baru harmonisasi yang terkait dengan personil. Belum lagi harmonisasi yang terkait dengan citarasa seni yang sulit untuk diukur.
            Bayangkan! Gerakan wayang kulit di tangan dalang harus sinkron dengan narasi, dialog, musik gamelan, dan gending yang dinyanyikan para pesinden. Dari sini terlihat jelas betapa bangsa Indonesia sudah mengenal adanya harmonisasi kerja sama yang baik dalam sebuah tim kerja sejak berabad lampau.
            Di samping itu, lakon atau cerita yang diambil baik dari Mahabharata, Ramayana, maupun cerita carangan (gubahan sendiri, dan tak terdapat pada pakem Mahabharata serta Ramayana) mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat berharga. Lakon ”Srikandi – Mustakaweni”, misalnya, merupakan salah satu lakon carangan yang banyak digemari para pencinta wayang kulit.
Setiap tokoh wayang memiliki karakter unik, jahat maupun baik. Dari sini, kita semua dapat mengambil hikmahnya: yang baik dapat kita tiru, dan yang buruk, kita tinggalkan.
 
Dalang yang dituntut serbabisa dan komunikatif.
       
Keindahan wayang kulit dan pengaruhnya yang besar dalam kehidupan masyarakat ini, disadari oleh Walisongo. Karenanya, Sunan Kalijaga dengan cerdik memanfaatkan media wayang kulit sebagai sarana untuk berdakwah di samping untuk hiburan. Selain itu, pertunjukan wayang kulit dapat dijadikan sebagai sarana pendukung dalam memberikan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat tanpa bersifat menggurui. Dalam hal ini, para dalang dituntut untuk memiliki keterampilan berkomunikasi dan pengetahuan umum yang sangat baik. Dalang memang dituntut untuk serbabisa. Dan semuanya itu bukan merupakan hal yang terjadi begitu saja, tetapi melalui proses jatuh-bangun berulang kali.
               Penulis melihat seni pertunjukan wayang kulit sebagai tamsil tentang persatuan dan kesatuan Indonesia yang seharusnya. Presiden sebagai kepala negara merupakan dalang dari sebuah pertunjukan nasional, sementara para menteri, pejabat, dan seluruh masyarakat mengambil peran sebagai nayaga dan waranggana. Masing-masing memainkan tugas dan fungsinya dalam mendukung dan mengiringi sang dalang, sehingga cerita boleh berakhir dengan kisah bahagia dan sejahtera.
Para leluhur telah mewariskan kepada kita sebuah pusaka, sebuah mahakarya asli Indonesia yang sangat berharga. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga, melestarikan, dan mengembangkannya sebagai seni adiluhung yang tak lapuk ditelan zaman.


***




No comments:

Post a Comment