Seni
Adiluhung Sekaligus Mahakarya Indonesia
Oleh Budianto Sutrisno
Bumi
gunjang-ganjing, langit kelap-kelap ... oh... oh...
demikian bunyi suluk
dalang dalam sebuah petunjukan wayang kulit – pergelaran seni yang banyak
mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di tanah Jawa.
Wayang kulit yang sarat dengan filsafat kehidupan ini sudah menjadi semacam ”acara
wajib” dalam sejumlah peristiwa penting, baik yang bersifat pribadi maupun
komunitas.
Penulis sendiri
telah mengenal pertunjukan wayang kulit sejak masa kecil. Jika ada pesta
pernikahan, khitanan, atau ruwatan di pagi/siang hari yang dimeriahkan dengan pertunjukan wayang kulit, penulis sering berdesakan di antara
penonton yang terbuai oleh
pesona sihir pertunjukan wayang kulit. Boleh
dibilang, keluarga kami merupakan keluarga penggemar wayang. Ketika meresmikan
rumah tinggal puluhan tahun yang lalu, ayah penulis nanggap
wayang dengan lakon atau cerita ”Wahyu
Cokroningrat”.
Adegan favorit
penulis dalam pertunjukan wayang kulit adalah goro-goro yang menampilkan para punakawan dan perang kembang, yakni
peperangan antara kesatria (biasanya diwakili oleh Arjuna atau Abimanyu) dan
raksasa (biasanya diwakili oleh Buto Cakil). Apalagi bila dalangnya mumpuni,
wah… dahsyatnya adegan perang sangat terasa mendebarkan. Kelir atau layar pertunjukan itu rasanya mau roboh. Di samping itu,
kelakar para punakawan sanggup membuat para penonton terpingkal-pingkal.
Perpaduan
seni
Ditinjau
dari segi sejarah, kata ”wayang” itu berasal dari kata ”ma” dan ”hyang” yang
berarti ”menuju kepada Tuhan yang Mahaesa”.
Jika
kita perhatikan, seni pertunjukan wayang kulit itu memadukan sejumlah cabang seni, mulai dari seni pahat, seni lukis, seni musik karawitan (gamelan), seni suara
(yang ditembangkan oleh para pesinden), seni mendalang, seni peran, seni tutur, seni sastra, hingga
seni perlambangan Semuanya
terangkum menjadi satu kesatuan dalam seni pertunjukan wayang kulit.
Tak
pelak lagi, wayang kulit – yang merupakan seni hasil budaya asli Indonesia –
telah menjadi seni pertunjukan adiluhung
yang sekaligus merupakan mahakarya Indonesia. Karenanya, tidaklah berlebihan bila
Unesco pada 7 November 2003 telah mengakui wayang kulit sebagai Masterpiece of Oral and Intangible
Heritage of Humanity (Mahakarya Kebudayaan yang Sangat
Berharga di Bidang Narasi).
Bahan wayang kulit itu sendiri
terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan, dihiasi dengan motif hasil tatah sungging (ukir kulit) dan diberi pewarnaan sesuai dengan
karakter tokoh wayang
Seni menyungging wayang kulit. |
yang bersangkutan. Sedangkan
dalang –
yang memainkan wayang kulit – harus mampu duduk
bersila semalam suntuk untuk memainkan ratusan tokoh dengan ratusan karakter.
Dia harus hafal dialog, nembang,
mengubah warna dan intonasi suara. Kedua tangannya memainkan wayang, bahkan
jari kakinya menjepit cempala, yakni
semacam martil yang digunakan untuk membunyikan kepyak sehingga menghasilkan bunyi khas ”pyak-pyak” dan jika dipukulkan di kotak kayu akan menimbulkan suara
”prak-prak”.
Kepyak itu sendiri terdiri dari 1 – 5
lempengan perunggu yang dirangkai dengan tali pengikat. Sungguh suatu kemampuan
yang sangat spektakuler! Tokoh-tokoh wayang yang tidak/belum dimainkan
ditancapkan di batang pisang yang berada di depan dalang.
Penonton
pertunjukan wayang kulit itu sebaiknya berada di balik kelir. Mereka ini pada dasarnya menonton bayangan wayang yang
dimainkan oleh dalang. Bayangan ini terbentuk karena pencahayaan dari lampu blencong yang berbahan bakar minyak.
Namun, dalam pergelaran wayang kulit di zaman modern ini, peran lampu blencong sudah digantikan dengan lampu
petromaks atau lampu pijar. Itu sebabnya, pertunjukan wayang kulit biasanya
diselenggarakan pada malam hari. Lebih berefek
dramatis.
Penabuh
gamelan dan pesinden
Berbicara
tentang pertunjukan wayang kulit, tak terlepas dari peran dan fungsi para nayaga (penabuh gamelan) dan para
pesinden atau waranggana yang
menembangkan lagu-lagu Jawa. Di masa lampau, pesinden itu biasanya hanya satu
orang, tetapi sekarang ini bisa berjumlah hingga sepuluh orang. Deretan pesinden
ini merupakan daya tarik tersendiri bagi para penonton. Apalagi jika
mereka
memiliki penampilan yang cantik dan menarik. Hal ini menjadi semacam magnet
tambahan di samping dalang yang sudah kondang. Yah, seni pertunjukan itu pada dasarnya merupakan bentuk komunikasi yang
mengedepankan daya tarik sesuai dengan perkembangan zaman, bukan?
Deretan pesinden yang menjadi magnet tambahan. |
Selanjutnya kita bahas instrumen
gamelan. Kata ”gamelan” berasal dari kata Jawa ”gamel” yang berarti ”memukul”
atau ”menabuh”. Kemunculan gamelan dimulai pada zaman pengaruh Hindu – Buddha
mendominasi ranah Jawa. Bentuk instrumennya kemudian dikembangkan pada zaman
Majapahit.
Gambaran awal tentang instrumen ansambel
musik gamelan ditemukan pada Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8. Di
sini terdapat relief tentang berbagai instrumen, seperti: seruling bambu,
kendang, kecapi, alat musik berdawai yang dipetik dan digesek, namun hanya
sedikit ditemukan instrumen yang terbuat dari logam. Penalaan dan pembuatan
instrumen gamelan merupakan proses yang sangat kompleks. Untuk gamelan di
daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, dikenal dua jenis titi laras/nada, yakni slendro dan pelog. Laras slendro
mengacu pada nada yang mendekati minor, sedangkan laras pelog mengacu pada nada yang mendekati diatonis.
Instrumen gamelan ini antara lain
berupa: kendang, rebab, demung, saron, peking, slenthem, bonang, kenong, kethuk,
gambang, gender, siter, kempul, seruling, gong, dan kepyak.
Simbol kerja sama harmonis
Tak perlu diragukan lagi, seni
pertunjukan wayang kulit yang adiluhung dan asli Indonesia ini memiliki daya
tarik yang sangat besar. Kalau tidak, tak mungkin banyak orang asing belajar
menjadi
dalang, pesinden, dan penabuh gamelan di Indonesia. Jikalau bukan kita
sendiri yang melestarikan kebudayaan adiluhung yang sekaligus merupakan
mahakarya Indonesia ini, kesenian ini bisa pudar/punah. Jika kita tak berwaspada dalam melestarikan kebudayaan
wayang kulit, jangan-jangan suatu hari nanti, kita justru belajar pertunjukan
wayang kulit di Australia, Amerika, atau Eropa. Yah... jangan sampai hal ini
terjadi.
Penabuh gamelan dari Perancis. |
Alangkah baiknya bila kesenian
pertunjukan wayang ini juga diajarkan di sekolah. Mungkin tidak perlu semua
sekolah, mengingat kesenian ini membutuhkan biaya yang tak sedikit. Generasi
muda perlu dididik untuk mencintai pertunjukan wayang kulit, sehingga seni
adiluhung ini dapat diwariskan dari waktu ke waktu.
Bagi penulis, pertunjukan wayang kulit
itu merupakan sebuah simbol kerja sama yang sangat harmonis antara dalang, nayaga, dan pesinden. Itu baru
harmonisasi yang terkait dengan personil. Belum lagi harmonisasi yang terkait
dengan citarasa seni yang sulit untuk diukur.
Bayangkan! Gerakan wayang kulit di
tangan dalang harus sinkron dengan narasi, dialog, musik gamelan, dan gending yang dinyanyikan para pesinden.
Dari sini terlihat jelas betapa bangsa Indonesia sudah mengenal adanya
harmonisasi kerja sama yang baik dalam sebuah tim kerja sejak berabad lampau.
Di samping itu, lakon atau cerita
yang diambil baik dari Mahabharata, Ramayana, maupun cerita carangan (gubahan sendiri, dan tak
terdapat pada pakem Mahabharata serta
Ramayana) mengandung nilai-nilai
kehidupan yang sangat berharga. Lakon
”Srikandi – Mustakaweni”, misalnya, merupakan salah satu lakon carangan yang banyak digemari para
pencinta wayang kulit.
Setiap
tokoh wayang memiliki karakter unik, jahat maupun baik. Dari sini, kita semua
dapat mengambil hikmahnya: yang baik dapat kita tiru, dan yang buruk, kita
tinggalkan.
Dalang yang dituntut serbabisa dan komunikatif. |
Para
leluhur telah mewariskan kepada kita sebuah pusaka, sebuah mahakarya asli
Indonesia yang sangat berharga. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga,
melestarikan, dan mengembangkannya sebagai seni adiluhung yang tak lapuk
ditelan zaman.
***
No comments:
Post a Comment