Tuesday, June 23, 2015

Bapak Berhati Rakyat

Tulisan ini dibuat dalam rangka partisipasi pribadi saya untuk ikut menyambut hari ulang tahun ke-54 Presiden Jokowi pada 21 Juni 2015. 
Hanya tulisan ini serta iringan doa tulus saya  yang bisa saya persembahkan sebagai
kado ulang tahun untuk beliau. Kiranya apa yang saya tuliskan di sini - yang merupakan aspirasi sebagian rakyat Indonesia - didengar oleh beliau dan memperoleh tanggapan yang positif.




     Jakarta, 21 Juni 2015
Bapak Berhati Rakyat


           Yang saya kasihi dan hormati, Bapak Presiden Jokowi,
         Izinkan saya menyapa Bapak Presiden Jokowi bukan dengan sebutan ”Yang Mulia Bapak Presiden,” melainkan dengan sapaan ”Bapak Berhati Rakyat.”
            Mengapa demikian? Karena jauh di dalam lubuk hati saya, tebersit pandangan dan keyakinan bahwa sosok seperti Bapak Jokowi adalah sosok yang rendah hati, berhati rakyat, dan jauh dari kesan adigang, adigung, adiguna. Menurut hemat saya, kepribadian dan karakter seperti inilah, yang membuat Bapak Jokowi lebih pas dan sesuai bila dipanggil dengan sapaan ”Bapak Berhati Rakyat” ketimbang julukan mentereng ”Yang Mulia Bapak Presiden” yang cenderung membuat jarak semakin jauh antara presiden sebagai pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Di samping itu, sapaan ”Bapak Berhati Rakyat” ini mampu mencairkan kesan formalitas yang kaku.
            Yang terhormat Bapak Berhati Rakyat,
Saya menyadari bahwa Bapak mengemban tugas yang sangat berat namun mulia. Bayangkan saja, Bapak harus mengatur dan memimpin kira-kira 250 juta warga Indonesia yang tinggal di ribuan pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan latar belakang, adat, budaya, agama, dan kepercayaan yang beraneka ragam!
Dan di sela-sela kesibukan Bapak bekerja bersama para menteri dalam Kabinet Kerja, Bapak juga membaca serta menandatangani berbagai surat. Dan salah satu surat yang Bapak baca adalah surat dari saya ini, seruan nurani seorang warga Jakarta yang berprofesi sebagai guru SMP. Saya sungguh berterima kasih untuk kesempatan berbincang dari hati ke hati melalui surat sederhana ini.
Perlu Bapak ketahui, surat ini saya buat dalam rangka keikutsertaan saya  memperingati hari ulang tahun ke-54 Bapak Jokowi, meski saya sadar bahwa Bapak tak memiliki kebiasaan untuk merayakan hari ulang tahun. Saya ucapkan "Selamat Ulang Tahun" dan kiranya Tuhan senantiasa memberikan anugerah serta hikmat berlimpah untuk memimpin bangsa dan negara Indonesia tercinta. Dan usia 54 tahun merupakan usia yang matang dan bijaksana untuk mendengarkan berbagai macam cerita maupun uneg-uneg dari rakyat yang mengasihi dan dikasihi Bapak.
            Saya menyadari bahwa seorang pemimpin itu tak mungkin disukai oleh seluruh warga tanpa terkecuali. Pasti terdapat sebagian orang atau kelompok yang tidak menyukai Bapak dengan berbagai macam alasan, baik yang masuk akal maupun tidak. Banyak ejekan, celaan, cemoohan, hinaan, tuduhan, caci-maki, dan komentar miring ditujukan kepada Bapak. Mulai dari, maaf, ”plonga-plongo”, ”tak becus”, ”boneka Megawati”, ”antek PKI”, dan seabrek julukan negatif lainnya.
            Saya yakin, Bapak mengetahui hal ini, tetapi Bapak selalu memiliki kebesaran jiwa yang sangat saya kagumi. Hal ini tercermin dalam ungkapan ”rapopo” yang Bapak ucapkan. Kendati Bapak selaku pemimpin tertinggi di Republik Indonesia tercinta ini dihina sedemikian rupa, Bapak tetap sabar, santun, dan rendah hati. Semua karakter ini merupakan ciri keagungan seorang pemimpin sejati yang patut dijadikan suri teladan.
             Kegiatan blusukan Bapak sering disalahartikan sebagai pencitraan oleh kelompok yang tak menyukai Bapak. Akan tetapi, Bapak tetap terus mendekat kepada rakyat lewat blusukan, karena Bapak adalah pribadi yang mau mendengar suara rakyat. Bapak ingin mendengarkan secara langsung
aspirasi rakyat. Bapak tak mau di-”ninabobo”-kan dengan  laporan ABS. Ini baru benar-benar pemimpin yang sungguh-sungguh sangat memahami hakikat demokrasi yang sejati.
           Yang terhormat Bapak Berhati Rakyat,
Jika dihitung sejak pelantikan anggota Kabinet Kerja (26 Oktober 2014), masa kerja Bapak bersama kabinet, baru berlangsung hampir 8 bulan – masa yang relatif singkat untuk ukuran jabatan pemimpin sebuah negara. Akan tetapi dalam rentang masa jabatan relatif singkat ini, muncul kelompok tertentu yang menuntut keberhasilan Bapak nyaris di segala bidang. Mereka ini mengharapkan Bapak bisa membenahi dan membangun Indonesia dalam sekejap seperti cerita legenda ”Bandung Bondowoso” yang berambisi mendirikan Candi Sewu dalam semalam, namun akhirnya gagal. Kelompok seperti ini tidak bisa membedakan antara fakta dan fatamorgana. Mereka tak menyadari bahwa pemerintahan Bapak itu mewarisi kebobrokan moral yang sudah berlangsung puluhan tahun. Pembenahannya pasti membutuhkan waktu yang panjang.
     Saya jadi teringat masa-masa kerja saya di perusahaan periklanan (dengan 125 karyawan) berpuluh tahun yang lalu. Untuk karyawan biasa, diperlukan masa percobaan kerja selama 3 bulan. Untuk tingkatan direktur, diperlukan waktu sekitar 6 bulan guna penilaian kinerjanya. Untuk menilai kinerja seorang CEO pasti memerlukan waktu lebih lama. Lha, presiden kok malah dituntut mampu membereskan segalanya seperti direktur perusahaan periklanan. Yah, terkadang untuk berpikir jernih secara rasional dan faktual, merupakan pelajaran tersendiri bagi sebagian rakyat kita.
       Yang terhormat Bapak Berhati Rakyat,
       Sebagai anggota masyarakat awam, saya menyadari bahwa salah satu tugas berat Bapak adalah mendukung sepenuh hati gerakan pemberantasan korupsi. KPK harus terus diperkuat dengan orang-orang jujur, berani, dan sangat berkompeten di bidangnya. Di samping itu, KPK harus mampu menggalang kerja sama yang baik dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan. Dengan  kata lain, diperlukan juga pejabat Kepolisan dan Kejaksaan yang bersih, jujur, berani, dan berkompeten.
               Kriminalisasi sejumlah pejabat KPK merupakan cerminan masih adanya sebagian koruptor yang berupaya untuk mengaburkan/menghilangkan jejaknya dalam menggerogoti kekayaan negara. Mereka ini sesungguhnya adalah kelompok para pengecut, karena tak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya.
     Menurut hemat saya, kejahatan korupsi itu tak kurang berbahaya jika dibandingkan dengan kejahatan terorisme atau narkoba. Korupsi – sebagaimana halnya dengan tindak kejahatan terorisme dan narkoba – sangat merugikan rakyat banyak. Rakyat yang sudah taat membayar pajak, tidak mendapatkan fasilitas yang seharusnya mereka terima. Uang negara – yang bisa dipakai untuk membangun fasilitas transportasi, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya – habis dipakai koruptor untuk bergaya hidup mewah dan berfoya-foya. Korupsi, terorisme, dan kejahatan narkoba itu pada dasarnya melemahkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Usaha pemerintah untuk menyejahterakan rakyat secara lahir dan batin, dihambat/digagalkan oleh ketiga jenis tindak kejahatan ini.
          Itu sebabnya, saya mengusulkan kepada Bapak Jokowi, untuk tidak ragu-ragu lagi menerapkan asas pembuktian terbalik terhadap kekayaan seluruh pejabat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Pejabat yang menolak, segera dipecat secara tidak hormat serta diberi sanksi hukuman. Dan tak perlu ragu lagi untuk menjatuhkan hukuman mati kepada koruptor kelas kakap. Diperlukan kriteria tertentu untuk jenis dan besaran korupsi yang pantas diberi sanksi hukuman mati.
           Saya tahu, terdapat sementara pihak yang menolak adanya hukuman mati dengan alasan kemanusiaan. Akan tetapi, apakah mereka itu juga menggunakan standar penilaian yang sama dalam melihat penderitaan rakyat yang miskin, kelaparan, dan tak memperoleh pendidikan yang layak? Saya khawatir mereka sebenarnya mengenakan standar ganda dalam menilai dan memberikan penghakiman. Pedang keadilan mereka terlalu tumpul untuk para koruptor kelas kakap, dan terlalu tajam untuk menghakimi para maling kecil. Mereka lantang meneriakkan penolakan hukuman mati (termasuk untuk para koruptor kelas kakap), tetapi mereka hanya membisu seribu bahasa ketika maling ayam harus mendekam dalam penjara selama beberapa bulan.
         Yang terhormat Bapak Berhati Rakyat,
          Keadilan merupakan kata kunci utama bagi keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Bila keadilan bisa dicapai, maka kemakmuran akan mengikutinya. Saya meyakini sungguh-sungguh hal itu. Dan pendidikan adalah jalan masuk bagi masyarakat untuk memahami apa yang disebut sebagai keadilan serta kebenaran.
          Sebagai seorang pendidik, saya mencoba untuk menanamkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran mulai dari hal-hal yang sederhana. Larangan untuk menyontek merupakan sebuah keniscayaan. Siswa harus memahami bahwa menyontek merupakan tindakan merampas hak dan hasil jerih payah orang lain yang sudah belajar keras. Yang belajar/bekerja lebih keras dengan cara yang jujur, patut dihargai dengan pujian. Sebaliknya, mereka yang bekerja secara tak jujur, patut memperoleh ganjaran hukuman yang setimpal.
             Di samping itu, pewarisan nilai-nilai luhur kepahlawanan bangsa kepada para siswa sejak usia dini, merupakan hal yang tak kalah penting. Ini berguna agar para siswa dapat lebih menghargai jasa para pahlawan yang sudah berjuang demi kemerdekaan, sehingga kita bisa mengenyam nikmatnya hidup yang bebas dari belenggu penjajahan. Jangan sampai ada siswa yang tak menyadari hal ini.
             Sementara itu, sifat kerja sama, gotong royong, dan toleransi, dapat dipupuk melalui kegiatan pramuka yang dilakukan secara teratur. Dalam kegiatan ini para siswa dilatih bagaimana hidup dalam
sebuah komunitas masyarakat yang majemuk, bagaimana seharusnya hidup tolong-menolong, dan mempelajari sejumlah keterampilan praktis yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan praktik kejujuran dapat diwujudkan, misalnya, dengan membuka kantin atau koperasi kejujuran, di mana para siswa menyerahkan uang dan mengambil kembalian sendiri sesuai dengan nilai barang yang dibeli.
           Berikut adalah kisah nyata yang saya alami belum lama berselang dalam kaitan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Saya sangat prihatin ketika seorang rekan guru mata pelajaran PPKn memperlihatkan kepada saya jawaban seorang siswa terhadap pertanyaan yang terkait dengan sejumlah nama pahlawan. Pertanyaan ”Siapakah Diponegoro?” dijawab sekenanya dengan ”Pahlawan yang tinggal di Jalan Diponegoro.” Sedangkan pertanyaan ”Siapakah Tuanku Imam Bonjol?” dijawab dengan ”Pahlawan yang gambarnya terdapat di uang Rp5.000,00.”
              Inilah fakta nyata yang terjadi di dunia pendidikan. Jawaban miris seperti ini memang tidak mewakili siswa kami secara keseluruhan. Kendatipun demikian, hal ini sangat memprihatinkan. Pendidikan merupakan pilar utama untuk mengarahkan generasi muda agar memahami kebenaran dan keadilan. Melalui realitas sejarah, kita semua dapat semakin mengerti hakikat kepahlawanan dan perjuangan. Keberhasilan haruslah diraih dengan perjuangan yang tak kenal menyerah, lewat cara-cara yang benar, bukan lewat cara-cara yang licik dan melanggar peraturan. Melalui mata pelajaran sejarah, kita bisa mengenal jati diri bangsa yang sejati dan semakin memupuk rasa cinta kepada tanah air serta bangsa sendiri.
             Peristiwa ini merupakan tantangan tersendiri dan sekaligus membangkitkan semangat saya untuk lebih mengintegrasikan nilai-nilai perjuangan di dalam mata pelajaran bahasa yang saya ampu. Sebagai seorang guru, saya memang memiliki banyak keterbatasan, tetapi yang penting, saya terus berusaha untuk menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat dalam dunia pendidikan. Saya sadar, bahwa generasi muda yang dipercayakan kepada para guru untuk dididik inilah yang akan menjadi pemimpin bangsa di hari depan. Selain itu, generasi muda ini kurang melihat dan memperoleh keteladanan dari kelompok yang lebih senior. Karenanya, diharapkan sekurangnya, para guru dapat menjadi suri teladan yang baik untuk kehidupan para generasi muda yang masih duduk di bangku sekolah. Suri teladan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah maupun di tengah masyarakat.
             Yang terhormat Bapak Berhati Rakyat,
            Akhir-akhir ini beredar kabar tentang reshuffle atau perombakan kabinet. Seandainya memang perlu dilakukan perombakan, janganlah Bapak bimbang dan ragu untuk melakukannya. Rasa ewuh-pekewuh memang harus disingkirkan. Termasuk bila terdapat menteri yang berasal dari partai pendukung Bapak dinilai tak berkompeten. Segera ganti yang bersangkutan dengan orang yang lebih tepat. Ini bukan berarti ”lupa kacang akan kulitnya”, melainkan semata-mata merupakan tindakan profesional untuk kepentingan rakyat banyak. Kepentingan rakyat harus mengatasi kepentingan pribadi maupun partai.
              Di penghujung surat ini, izinkanlah saya untuk mengutip kata-kata seorang negarawan Filipina, Manuel L. Quezon, yang dijadikan bahan rujukan oleh Presiden AS, John F Kennedy: My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins (Kesetiaanku kepada partaiku berakhir ketika kesetiaanku kepada negaraku dimulai). 
Sedangkan Pak Ahok, Gubernur DKI menyerukan semangat ”Tidak ada gunanya kesetiaan kepada partai kalau tidak bermanfaat bagi rakyat.” Sementara itu, seorang rohaniwan mengatakan bahwa emas murni itu tak takut dilebur api. Secara pribadi, saya sungguh yakin bahwa Pak Jokowi adalah pemimpin emas murni yang tak gentar berjuang dalam kobaran api tantangan dan kesulitan. Emas murni justru semakin murni dalam kobaran api.
              Teruslah berjuang sesuai seruan hati nurani, Pak Jokowi! Tantangan memang semakin besar, tetapi Tuhan akan menganugerahkan kekuatan dan hikmat yang lebih besar untuk menghadapi tantangan tersebut. Jabatan adalah sebuah amanah yang harus dijalankan untuk kemaslahatan masyarakat luas, dan harus dipertanggungjawabkan kepada Sang Maha Pemberi Amanah, yakni Tuhan sendiri.
         Teruslah berjuang, Tuhan menyertai pemimpin yang rendah hati dan sungguh-sungguh bekerja, serta rakyat senantiasa mendukungmu!

Salam dari rakyat untuk Bapak Berhati Rakyat,

Budianto Sutrisno



No comments:

Post a Comment