Mahakarya
Indonesia dari Pesisir Pantura
Oleh Budianto Sutrisno
Adalah
sebuah kota kecil di pesisir Pantura yang terkenal dengan kekayaan budaya
multikultural. Namanya Lasem. Terletak di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Meski
hanya kota kecil, sumbangsih Lasem bagi pengembangan budaya, semangat akulturasi,
dan hidup bertoleransi dalam perbedaan, sangatlah besar. Di kota pesisir ini berbagai
macam pengaruh budaya dari berbagai etnis bisa berpadu satu secara harmonis.
Bagi penulis, Lasem itu bak hidangan gado-gado yang menggoda selera; terdiri
dari berbagai macam sayur dan lauk-pauk budaya yang diguyur dengan bumbu saus persatuan
harmonis. Hm… uenak tenan!
Khas
Lasem
Lasem
yang dikenal sebagai ”Tiongkok Kecil” itu dikenal pula sebagai ”Kota Pusaka”.
Disebut ”Tiongkok Kecil” karena kota kecamatan ini merupakan salah satu tempat terbesar
di Pulau Jawa bagi perkembangan para
imigran Tiongkok pada abad ke-14 sampai 15 di samping kota Semarang dan
Surabaya. Hal ini terjadi sejak Laksamana Ceng Ho – yang beragama Islam – dari dinasti
Ming mendarat di Pulau Jawa. Bahkan, berdasarkan temuan situs sejarah, sudah
terdapat kawasan Pecinan di Lasem sejak zaman pemerintahan Majapahit (1294-1527 M).
Bangunan kuno terpelihara dengan baik. |
Karenanya,
tidaklah mengherankan bila terjadi pembauran erat dan perpaduan serasi antara
budaya etnis Jawa, Tionghoa, Champa (sekarang disebut Kamboja selatan), Arab,
dan Belanda sejak berabad lampau di
daerah Lasem. Ikatan hubungan akrab antara sejumlah etnis sudah terjalin erat sejak
lama. Maka tidaklah berlebihan, bila penulis mengatakan bahwa kota Lasem ini
layak menjadi kota percontohan tentang asimilasi, toleransi, semangat gotong
royong, dan perpaduan budaya yang harmonis.
Lasem
disebut pula sebagai ”Kota Pusaka”, karena kecamatan mungil di pesisir Pantura ini
memiliki 3 jenis pusaka yang tak terdapat di kawasan lain di Indonesia, yakni Pusaka Alam (Natural Heritage), Pusaka Budaya (Cultural Heritage) dan Pusaka Saujana (Cultural-Landscape Heritage).
Di samping itu, Lasem juga dijuluki sebagai
”Kota Santri”, karena banyak sekali pondok pesantren dan santri yang belajar
agama Islam di kota ini.
Dan, last but not least, Lasem dikenal sebagai Kota Batik yang kondang di
jagat perbatikan. Pamornya bukan saja moncer
di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara. Batik lasem yang khas itu
merupakan mahakarya Indonesia yang tiada duanya.
Kekhasan batik lasem terutama
terletak pada cerahnya warna merah. Warna merah yang digunakan ini biasa
disebut sebagai abang getih pitik
(merah darah ayam). Keunikan warna merah ini tak terdapat pada batik dari daerah lain.
Warna eksklusif ini dibuat dari akar mengkudu dan jiruk yang dicampur dengan air dari bumi Lasem - yang mengandung mineral tertentu - dalam proses pewarnaan.
Warna khas 'abang getih pitik'. |
Batik lasem memiliki perpaduan warna yang berani
dibandingkan dengan batik solo atau yogyakarta, misalnya. Di samping itu, batik
lasem lebih bersifat egalitarian ketimbang batik solo dan yogyakarta yang lebih
bersifat formal serta bernuansa ningrat. Hal ini terjadi karena berlangsungnya
proses akulturasi atau pembauran antara kebudayaan lokal dan kebudayaan asing,
terutama dari Tiongkok dan Champa sejak berabad lampau. Dengan demikian, batik
lasem yang lebih merakyat itu biasa digunakan baik sebagai busana resmi maupun
sehari-hari.
Filosofi kehidupan
Semakin memahami latar belakang mahakarya Indonesia warisan para leluhur, semakin kita berdecak kagum. Selama
ini mungkin banyak orang tak menyadari bahwa terbentuknya batik lasem
hingga menjadi busana siap pakai itu
membutuhkan waktu panjang, dengan rangkaian pekerjaan yang rumit. Siapa nyana di
balik keindahan warna, corak, dan motif batik tulis lasem, terdapat sejumlah pelajaran
filosofi kehidupan yang sangat menarik.
Pertama, batik lasem mengajarkan
kesabaran dan ketelitian. Betapa tidak. Dari pemilihan kain mori polos hingga
menjadi batik tulis yang siap pakai, setidaknya batik tulis lasem membutuhkan
sembilan tahapan. Setiap tahap pekerjaan dilakukan oleh orang yang mumpuni di
tahapan tersebut.
Tahap pertama adalah apa yang disebut sebagai mengetel, yakni menghilangkan kanji dari mori dengan cara membasahi mori tersebut dengan larutan minyak kacang, soda abu, tipol, dan air. Setelah itu mori di-uleni lagi dan dijemur kembali, lalu diuleni dan dijemur kembali. Proses ini diulang sampai tiga minggu lamanya, lalu dicuci sampai bersih. Proses ini perlu dilakukan agar nantinya zat warna yang digunakan dalam proses membatik bisa meresap sempurna ke dalam serat kain.
Tahap pertama adalah apa yang disebut sebagai mengetel, yakni menghilangkan kanji dari mori dengan cara membasahi mori tersebut dengan larutan minyak kacang, soda abu, tipol, dan air. Setelah itu mori di-uleni lagi dan dijemur kembali, lalu diuleni dan dijemur kembali. Proses ini diulang sampai tiga minggu lamanya, lalu dicuci sampai bersih. Proses ini perlu dilakukan agar nantinya zat warna yang digunakan dalam proses membatik bisa meresap sempurna ke dalam serat kain.
Tahap kedua, biasa disebut sebagai mola (memberi pola). Pola dibuat sesuai dengan motif. Pola batik biasanya sudah dibuat sebelumnya pada
kain, bisa dengan cara menjiplak dari pola batik yang sudah ada. Akan tetapi,
tidak jarang pembatik profesional yang sudah mahir langsung menggoreskan pola
yang ada di ingatan mereka ke kain dengan menggunakan canting.
Tahap ketiga, dikenal dengan sebutan nglengkreng, yakni memberikan detil pada motif utama yang sudah ada. Proses ini tidaklah sesulit proses mola. Biasanya proses mola dan nglengkreng itu dilakukan oleh orang yang sama, demi tercapainya estetika yang terpadu secara harmonis. Proses mola dan nglengkreng ini merupakan proses yang paling lama dan paling membutuhkan kesabaran serta ketelitian.
Tahap keempat, disebut sebagai tahap isen-isen, yakni mengisi bagian-bagian kain yang masih kosong dengan sejumlah ornamen. Proses ini tidak bisa dilakukan dengan membubuhkan sembarang ornamen, tetapi harus memerhatikan motif dari kain batik itu sendiri. Proses ini bagi kalangan yang paham akan motif batik memiliki makna yang berbeda-beda dan menunjukkan kekhasan dari setiap daerah. Isen-isen pada batik lasem berupa sawut yang berbeda dengan sawutan pada batik dari Yogyakarta maupun Solo. Sawut pada batik lasem lebih seperti garis melengkung yang berkepala di ujungnya.
Tahap ketiga, dikenal dengan sebutan nglengkreng, yakni memberikan detil pada motif utama yang sudah ada. Proses ini tidaklah sesulit proses mola. Biasanya proses mola dan nglengkreng itu dilakukan oleh orang yang sama, demi tercapainya estetika yang terpadu secara harmonis. Proses mola dan nglengkreng ini merupakan proses yang paling lama dan paling membutuhkan kesabaran serta ketelitian.
Tahap keempat, disebut sebagai tahap isen-isen, yakni mengisi bagian-bagian kain yang masih kosong dengan sejumlah ornamen. Proses ini tidak bisa dilakukan dengan membubuhkan sembarang ornamen, tetapi harus memerhatikan motif dari kain batik itu sendiri. Proses ini bagi kalangan yang paham akan motif batik memiliki makna yang berbeda-beda dan menunjukkan kekhasan dari setiap daerah. Isen-isen pada batik lasem berupa sawut yang berbeda dengan sawutan pada batik dari Yogyakarta maupun Solo. Sawut pada batik lasem lebih seperti garis melengkung yang berkepala di ujungnya.
Membutuhkan kesabaran dan ketekunan. |
Tahap kelima, dinamakan tahap nerusi (meneruskan), yakni membatik dengan mengikuti motif
pembatikan pertama pada bekas tembusan di bagian kain sebaliknya. Pada
dasarnya, nerusi ini tidak berbeda dengan mola. Batikan pertama berfungsi sebagai pola. Tahap ini dilakukan
dengan tujuan untuk mempertebal tembusan batikan pertama dan memperjelas motif di sisi lainnya.
Tahap keenam, dikenal dengan sebutan nembok, yakni menutup gambar dengan lilin. Ini merupakan tahap awal dalam proses pewarnaan
batik. Sebuah batikan tentu tidak seluruhnya diberi warna, atau akan diberi
warna yang bermacam-macam pada waktu proses penyelesaian menjadi kain.
Bagian-bagian yang tidak akan diberi warna, atau akan diberi warna sesudah
bagian yang lain, harus ditutup terlebih dahulu dengan lilin/malam. Cara
menutupnya sama dengan cara membatik bagian lain yakni menggunakan canting tembokan.
Canting yang digunakan untuk proses nembok adalah canting yang
bercukuk besar.
Tahap ketujuh, disebut sebagai tahap ngelir, yakni memberi warna pada batik. Penggunaan warna abang getih pitik yang tak bisa ditiru
perajin batik dari daerah lain, telah memunculkan batik bangbiru (merah-biru), batik bangjo (merah-hijau) serta batik tiga
negeri. Batik tiga negeri adalah batik yang memadukan tiga warna dari tiga kota:
merah dari Lasem, sogan dari Solo, dan biru dari Pekalongan. Proses pewarnaan
batik itu sendiri dilakukan dalam sebuah bak khusus pewarnaan.
Batik Tiga Negeri, penuh semangat akulturasi. |
Tahap kedelapan, lazim disebut sebagai tahap lorot, yakni tahap menghilangkan lapisan
lilin yang terdapat pada kain dengan cara merebus dalam air panas. Tujuannya
untuk memperjelas motif yang telah digambar sebelumnya.
Tahap kesembilan atau tahap terakhir, yakni tahap menjemur kain
yang sudah dilorot hingga kering. Kemudian barulah batik yang sudah
kering tersebut dilapisi dengan wax serta dipres. Dan akhirnya, batik
siap dipasarkan.
Pelajaran kedua dari filosofi batik lasem adalah tentang
semangat akulturasi yang tampak pada perpaduan harmonis antara motif dari
Tiongkok seperti burung hong, ikan mas, naga, bunga peoni, seruni, sakura dan
motif Jawa seperti lereng, parang, kawung, dan sebagainya. Semangat ini sudah
ada sejak berabad lampau dan berlangsung terus hingga sekarang. Hal semacam ini
patut dilestarikan, karena nilai budaya dan filosofinya sangat berharga.
Pelajaran ketiga yang bisa kita peroleh adalah kesadaran tentang
proses yang relatif panjang itu diperlukan untuk memperoleh batik tulis berkualitas
tinggi. Nilai dan kualitas tinggi tidak bisa diraih secara instan. Kualitas tinggi
inilah yang mendudukkan batik lasem sebagai salah satu mahakarya Indonesia yang
patut diperhitungkan dalam dinamika dunia mode. Baik dalam skala nasional maupun
internasional.
Rasanya sekarang belum terlambat bagi kita semua untuk lebih mencintai batik lasem – salah satu mahakarya Indonesia yang dibuat oleh tangan-tangan terampil bangsa sendiri. Kalau bukan kita sendiri yang memulainya, lantas siapa?
Rasanya sekarang belum terlambat bagi kita semua untuk lebih mencintai batik lasem – salah satu mahakarya Indonesia yang dibuat oleh tangan-tangan terampil bangsa sendiri. Kalau bukan kita sendiri yang memulainya, lantas siapa?
***
No comments:
Post a Comment