Saturday, June 20, 2015

Mahakarya Indonesia dari Pesisir Pantura



Mahakarya Indonesia dari Pesisir Pantura
Oleh Budianto Sutrisno


            Adalah sebuah kota kecil di pesisir Pantura yang terkenal dengan kekayaan budaya multikultural. Namanya Lasem. Terletak di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
            Meski hanya kota kecil, sumbangsih Lasem bagi pengembangan budaya, semangat akulturasi, dan hidup bertoleransi dalam perbedaan, sangatlah besar. Di kota pesisir ini berbagai macam pengaruh budaya dari berbagai etnis bisa berpadu satu secara harmonis. Bagi penulis, Lasem itu bak hidangan gado-gado yang menggoda selera; terdiri dari berbagai macam sayur dan lauk-pauk budaya yang diguyur dengan bumbu saus persatuan harmonis. Hm… uenak tenan!

Khas Lasem
            Lasem yang dikenal sebagai ”Tiongkok Kecil” itu dikenal pula sebagai ”Kota Pusaka”. Disebut ”Tiongkok Kecil” karena kota kecamatan ini merupakan salah satu tempat terbesar di Pulau Jawa bagi  perkembangan para imigran Tiongkok pada abad ke-14 sampai 15 di samping kota Semarang dan Surabaya. Hal ini terjadi sejak Laksamana Ceng Ho – yang beragama Islam – dari dinasti Ming mendarat di Pulau Jawa. Bahkan, berdasarkan temuan situs sejarah, sudah terdapat kawasan Pecinan di Lasem sejak zaman pemerintahan Majapahit (1294-1527 M).
Bangunan kuno terpelihara dengan baik.
          Karenanya, tidaklah mengherankan bila terjadi pembauran erat dan perpaduan serasi antara budaya etnis Jawa, Tionghoa, Champa (sekarang disebut Kamboja selatan), Arab, dan Belanda  sejak berabad lampau di daerah Lasem. Ikatan hubungan akrab antara sejumlah etnis sudah terjalin erat sejak lama. Maka tidaklah berlebihan, bila penulis mengatakan bahwa kota Lasem ini layak menjadi kota percontohan tentang asimilasi, toleransi, semangat gotong royong, dan perpaduan budaya yang harmonis.
            Lasem disebut pula sebagai ”Kota Pusaka”, karena kecamatan mungil di pesisir Pantura ini memiliki 3 jenis pusaka yang tak terdapat di kawasan lain di Indonesia, yakni Pusaka Alam (Natural Heritage), Pusaka Budaya (Cultural Heritage) dan Pusaka Saujana (Cultural-Landscape Heritage).
            Di samping itu, Lasem juga dijuluki sebagai ”Kota Santri”, karena banyak sekali pondok pesantren dan santri yang belajar agama Islam di kota ini.
          Dan, last but not least, Lasem dikenal sebagai Kota Batik yang kondang di jagat perbatikan. Pamornya bukan saja moncer di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara. Batik lasem yang khas itu merupakan mahakarya Indonesia yang tiada duanya.
            Kekhasan batik lasem terutama terletak pada cerahnya warna merah. Warna merah yang digunakan ini biasa disebut sebagai abang getih pitik (merah darah ayam). Keunikan warna merah ini tak terdapat pada batik dari daerah lain. Warna eksklusif ini dibuat dari akar mengkudu dan jiruk yang dicampur dengan air dari bumi Lasem - yang mengandung mineral tertentu - dalam proses pewarnaan.
Warna khas 'abang getih pitik'.
            Batik lasem memiliki perpaduan warna yang berani dibandingkan dengan batik solo atau yogyakarta, misalnya. Di samping itu, batik lasem lebih bersifat egalitarian ketimbang batik solo dan yogyakarta yang lebih bersifat formal serta bernuansa ningrat. Hal ini terjadi karena berlangsungnya proses akulturasi atau pembauran antara kebudayaan lokal dan kebudayaan asing, terutama dari Tiongkok dan Champa sejak berabad lampau. Dengan demikian, batik lasem yang lebih merakyat itu biasa digunakan baik sebagai busana resmi maupun sehari-hari.

Filosofi kehidupan
          Semakin memahami latar belakang mahakarya Indonesia warisan para leluhur, semakin kita berdecak kagum. Selama ini mungkin banyak orang tak menyadari bahwa terbentuknya batik lasem hingga  menjadi busana siap pakai itu membutuhkan waktu panjang, dengan rangkaian pekerjaan yang rumit. Siapa nyana di balik keindahan warna, corak, dan motif batik tulis lasem, terdapat sejumlah pelajaran filosofi kehidupan yang sangat menarik.
            Pertama, batik lasem mengajarkan kesabaran dan ketelitian. Betapa tidak. Dari pemilihan kain mori polos hingga menjadi batik tulis yang siap pakai, setidaknya batik tulis lasem membutuhkan sembilan tahapan. Setiap tahap pekerjaan dilakukan oleh orang yang mumpuni di tahapan tersebut.
          Tahap pertama adalah apa yang disebut sebagai mengetel, yakni menghilangkan kanji dari mori dengan cara membasahi mori tersebut dengan larutan minyak kacang, soda abu, tipol, dan air. Setelah itu mori di-uleni lagi dan dijemur kembali, lalu diuleni dan dijemur kembali. Proses ini diulang sampai tiga minggu lamanya, lalu dicuci sampai bersih. Proses ini perlu dilakukan agar nantinya zat warna yang digunakan dalam proses membatik bisa meresap sempurna ke dalam serat kain.
   Tahap kedua, biasa disebut sebagai mola (memberi pola). Pola dibuat sesuai dengan motif. Pola batik biasanya sudah dibuat sebelumnya pada kain, bisa dengan cara menjiplak dari pola batik yang sudah ada. Akan tetapi, tidak jarang pembatik profesional yang sudah mahir langsung menggoreskan pola yang ada di ingatan mereka ke kain dengan menggunakan canting.
             Tahap ketiga, dikenal dengan sebutan nglengkreng, yakni memberikan detil pada motif utama yang sudah ada. Proses ini tidaklah sesulit proses mola. Biasanya proses mola dan nglengkreng itu dilakukan oleh orang yang sama, demi tercapainya estetika yang terpadu secara harmonis. Proses mola dan nglengkreng ini merupakan proses yang paling lama dan paling membutuhkan kesabaran serta ketelitian.
            Tahap keempat, disebut sebagai tahap isen-isen, yakni mengisi bagian-bagian kain yang masih kosong dengan sejumlah ornamen. Proses ini tidak bisa dilakukan dengan membubuhkan sembarang ornamen, tetapi harus memerhatikan motif dari kain batik itu sendiri. Proses ini bagi kalangan yang paham akan motif batik memiliki makna yang berbeda-beda dan menunjukkan kekhasan dari setiap daerah. Isen-isen pada batik lasem berupa sawut  yang berbeda dengan sawutan pada batik dari Yogyakarta maupun Solo. Sawut pada batik lasem lebih seperti garis melengkung yang berkepala di ujungnya.

Membutuhkan kesabaran dan ketekunan.
 Tahap kelima, dinamakan tahap nerusi (meneruskan), yakni membatik dengan mengikuti motif pembatikan pertama pada bekas tembusan di bagian kain sebaliknya. Pada dasarnya, nerusi ini tidak berbeda dengan mola. Batikan pertama berfungsi sebagai pola. Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk mempertebal tembusan batikan pertama dan memperjelas motif di sisi lainnya.
  Tahap keenam, dikenal dengan sebutan nembok, yakni menutup gambar dengan lilin. Ini merupakan tahap awal dalam proses pewarnaan batik. Sebuah batikan tentu tidak seluruhnya diberi warna, atau akan diberi warna yang bermacam-macam pada waktu proses penyelesaian menjadi kain. Bagian-bagian yang tidak akan diberi warna, atau akan diberi warna sesudah bagian yang lain, harus ditutup terlebih dahulu dengan lilin/malam. Cara menutupnya sama dengan cara membatik bagian lain yakni menggunakan canting tembokan. Canting yang digunakan untuk proses nembok  adalah canting yang bercukuk besar.
   Tahap ketujuh, disebut sebagai tahap ngelir, yakni memberi warna pada batik. Penggunaan warna abang getih pitik yang tak bisa ditiru perajin batik dari daerah lain, telah memunculkan  batik bangbiru (merah-biru), batik bangjo (merah-hijau) serta batik tiga negeri. Batik tiga negeri adalah batik yang memadukan tiga warna dari tiga kota: merah dari Lasem, sogan dari Solo, dan biru dari Pekalongan. Proses pewarnaan batik itu sendiri dilakukan dalam sebuah bak khusus pewarnaan.

Batik Tiga Negeri, penuh semangat akulturasi.
   Tahap kedelapan, lazim disebut sebagai tahap lorot, yakni tahap menghilangkan lapisan lilin yang terdapat pada kain dengan cara merebus dalam air panas. Tujuannya untuk memperjelas motif yang telah digambar sebelumnya.
  Tahap kesembilan atau tahap terakhir, yakni tahap menjemur kain yang sudah dilorot hingga kering. Kemudian barulah batik yang sudah kering tersebut dilapisi dengan wax serta dipres. Dan akhirnya, batik siap dipasarkan.
  Pelajaran kedua dari filosofi batik lasem adalah tentang semangat akulturasi yang tampak pada perpaduan harmonis antara motif dari Tiongkok seperti burung hong, ikan mas, naga, bunga peoni, seruni, sakura dan motif Jawa seperti lereng, parang, kawung, dan sebagainya. Semangat ini sudah ada sejak berabad lampau dan berlangsung terus hingga sekarang. Hal semacam ini patut dilestarikan, karena nilai budaya dan filosofinya sangat berharga.
   Pelajaran ketiga yang bisa kita peroleh adalah kesadaran tentang proses yang relatif panjang itu diperlukan untuk memperoleh batik tulis berkualitas tinggi. Nilai dan kualitas tinggi tidak bisa diraih secara instan. Kualitas tinggi inilah yang mendudukkan batik lasem sebagai salah satu mahakarya Indonesia yang patut diperhitungkan dalam dinamika dunia mode. Baik dalam skala nasional maupun internasional.
            Rasanya sekarang belum terlambat bagi kita semua untuk lebih mencintai batik lasem – salah satu mahakarya Indonesia yang dibuat oleh tangan-tangan terampil bangsa sendiri. Kalau bukan kita sendiri yang memulainya, lantas siapa?



 ***


No comments:

Post a Comment