Thursday, December 25, 2014

Puisi dengan Latar Epos Mahabharata

Sebagai insan yang dilahirkan dalam lingkungan budaya Jawa, kisah-kisah pewayangan 
sudah akrab dengan diri penulis sejak masa kanak-kanak. Puisi berikut ini dibuat 
dalam konteks kisah awal dalam epos Mahabharata yang direlasikan dengan karut-marutnya 
peta politik di Indonesia dan 'amburadul'-nya kualitas wakil rakyat di parlemen.


Titisan Dendam Gendari
Oleh Budianto Sutrisno

Tangis pilu Dewi Gendari
memecah gelap dingin malam pertamanya
bersama pangeran buta Destarata
sejatinya, hasrat hatinya mendamba Pandudewanata, adik Destarata
apa daya suratan takdir tentukan lain
tetes air matanya adalah luap bah kepedihan
mengapa dia yang dipersunting
mengapa bukan si cantik bertabur harum Kunti dan Madrim
linangan air matanya adalah luap ketidakrelaan
yang bermuara pada lautan magma dendam
mengalir, menggerojok, dan mengepung Pandudewanata
ia bersumpah ’tuk hancurleburkan
jurai kebahagiaan keturunan Pandu

Hati wanita memang susah diduga ke mana arahnya
batas antara benci dan cintanya
bisa lebih tipis ketimbang kulit bawang
hari ini seseorang disayang, esok bisa ditendang dan dibuang
kendati Gendari telah melumuri tubuhnya dengan rendaman ikan anyir
’gar tak dipinang si putra mahkota buta
semuanya kandas tak berbekas
kar’na Destarata merasa putri anyirlah yang pantas mendampinginya
pasangan si buta dan si anyir adalah goresan takdir
siapakah mampu menentang keniscayaannya?
akhirnya Gendari bulatkan tekatnya
menutup kedua matanya dengan secarik kain
’gar buta seperti suaminya.

Dari rahim Gendari lahir gumpalan daging
yang menjelma 100 bayi Kurawa
tumbuh menjadi gerombolan durjana penentang Pendawa, keturunan Pandu
namun akhirnya tertumpas habis dalam Bharatayudha

Oh… siapa nyana dendam Gendari dulu kala
menitis pada sekelompok makhluk parlemen masa kini
gerombolan yang sarat benci dan nihil prestasi
rajin mendongkel dan menjegal panglima negeri
seperti ulah Kurawa yang sudah putus urat malunya
seperti ulah para durjana yang gelap nuraninya
berjalan terhuyung dalam mabuk harta, takhta, dan wanita
sejatinya mereka bukan wakil rakyat
melainkan wakil hawa nafsu
pongah bermegah dalam gagah serakah
kosong gagasan, kerontang kinerja
makan gaji buta sambil busungkan dada
berteriak ’akulah raja, rakyat hamba sahaya’
lidah ularnya nyinyir berbusa putarbalikkan fakta
kebenaran adalah alas kakinya yang berlumur dosa
dusta dan ingkar adalah menu utamanya
tapi, biar bagaimana…
keluarga Pandawa pastilah berjaya

Aku tenggelam dalam samudra renung
diterpa sorot sinar surya pagi
gumpal-gumpal tanya muncul dari relung hati
sampai kapan titisan dendam Gendari ini berakhir?
sampai kapan kobar api iri hati ini padam?
berapa lama lagi iri, dengki, dan dendam ini teredam?
berapa lama lagi keturunan Gendari tergugah di alam sadar
’tuk singkapkan penutup mata hatinya
saksikan bentang kebenaran terentang di hadapannya?
haruskah menunggu tragedi Bharatayudha di abad ke-21?
tapi… tapi…
negeriku adalah Nusantara nan permai, damai, dan ramah
bukan Padang Kurusetra
yang penuh geram amarah dan haus darah
negeriku adalah Tanah Persada nan cantik elok
bukan gudang bobrok sarat jasad busuk teronggok



***

 


No comments:

Post a Comment