Thursday, December 18, 2014

Etalase Dusta di Jagat Pendidikan Indonesia



Etalase Dusta di Jagat Pendidikan Indonesia
Oleh Budianto Sutrisno



        Akhir-akhir ini jagat pendidikan di Indonesia dipenuhi dengan hiruk pikuk suara pro dan kontra penerapan Kurikulum 2013 (Kurtilas). Hiruk-pikuk ini membuat Menteri Pendidikan Anies Baswedan mengambil keputusan yang bersifat mendua. Sekolah-sekolah yang telah menerapkan Kurtilas selama 3 semester, diperkenankan untuk menggunakan Kurtilas ini pada proses belajar mengajar selanjutnya, sementara sekolah-sekolah yang baru 1 semester menjalankannya, akan kembali ke KTSP. Sekolah-sekolah yang berkeberatan menjalankan Kurtilas, sementara sudah memakainya selama 3 semester, diminta untuk mengajukan surat keberatan; sedangkan sekolah yang baru 1 semester menjalankan Kutilas dan tak ingin kembali ke KTSP, diminta untuk mengajukan surat permohonan.

Pertentangan batin
          Keputusan yang mengandung ketaksaan (ambiguitas) ini mengakibatkan adanya 2 bentuk rapor pada sekolah-sekolah yang ingin kembali ke KTSP pada semester kedua tahun pelajaran 2014 – 2015 ini. Hal ini merupakan peristiwa yang sangat ganjil, dan mungkin hanya terjadi di Indonesia.
          Sebagai guru yang beragama Kristen, penulis merasakan adanya suatu pertentangan batin di dalam diri. Sebuah konflik yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di satu pihak, penulis sangat ingin memajukan para siswa lewat pengajaran yang bermutu tinggi dan suri teladan yang baik, namun di sisi lain penulis juga harus memenuhi kewajiban guru untuk mempraktikkan Kurtilas, yang bagi penulis, sangat sulit dilakukan dengan jujur, kalau tak bisa dikatakan mustahil.
          Di sebuah sekolah di Jakarta, penulis mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris untuk kelas VII, VIII, dan IX. Di kelas IX tak terdapat pergumulan batin yang seru, karena masih menggunakan KTSP. Masalah terjadi dalam penerapan Kurtilas dalam praktik nyata mengajar di kelas VII dan VIII.
        Sekolah tempat penulis mengajar termasuk sekolah yang siswanya berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. Secara rata-rata mereka tidak cakap berbahasa Inggris (terutama secara lisan). Tak ada satu keluarga pun dari mereka yang sehari-hari berbahasa Inggris, atau berbahasa campuran antara bahasa Indonesia dan Inggris. Banyak di antara mereka untuk menerapkan kapan mengucapkan ”Good morning” dan ”Good afternoon” kepada guru, masih terbalik-balik.
          Suatu hari, dilakukan pendampingan penerapan Kurtilas oleh pihak Dinas Pendidikan di sekolah kami untuk 10 mata pelajaran. Seusai dilakukan inspeksi pendampingan dalam pengajaran di dalam kelas, penulis mendesak guru pendamping dengan pertanyaaan: ”Tolong Pak, saya diberi tahu kekurangan saya!” Rupanya guru pendamping ini lebih asyik mengamati RPP, Silabus, dan Penilaian tertulis untuk pelajaran yang telah lalu yang saya serahkan kepada beliau. Ya, laporan hitam di atas putih rupanya lebih menjadi fokus perhatian untuk dicermati oleh guru pendamping Kurtilas ketimbang praktik mengajar di dalam kelas. Apakah si pendamping memiliki kompetensi yang luar biasa sehingga mampu memerhatikan pengajaran praktik saya di dalam kelas sambil memerhatikan laporan tertulis saya? Saya kira, dari jawaban-jawaban yang diberikan dan nada bicaranya, saya berkesimpulan ”Tidak”. Bahkan beliau tak berkata sepatah pun dalam bahasa Ingris kepada saya, kecuali membaca topik pengajaran yang saya berikan.
       Akhirnya, setelah berpikir, sang pendamping menjawab, ”Saya masih belum melihat tahap ’mengomunikasikan’ dalam pengajaran Bapak.” Saya lalu menanyakan kepada yang bersangkutan, ”Bagaimana caranya supaya tahap ’mengomunikasikan’ itu bisa tercapai?”
          Setelah berpikir-pikir, beliau menjawab, ”Siswa dibagi dalam beberapa ‘discussion group ’, lalu pemimpin kelompok diminta menguraikan/menjelaskan apa yang diajarkan pada hari ini.”
          Sebenarnya waktu itu dalam hati, saya sangat ingin meminta agar sang pendamping mempraktikkan instruksi tersebut di dalam kelas, tetapi saya tidak tega. Nanti saya bisa dikira hendak mempermalukan dirinya. Bagaimana mungkin para siswa yang masih kebingungan dalam mempraktikkan ucapan ”Good morning” dan ”Good afternoon” ini diminta untuk memberikan penjelasan tentang isi pengajaran dalam bahasa Inggris secara lisan.
          Penulis – seperti halnya dengan rata-rata guru lainnya – juga mengalami kesulitan dalam penilaian. Sehubungan dengan hal ini, penulis bertanya kepada guru pendamping, ”Bisa saya minta contoh penilaian lengkap?” Lalu saya diberi file dari laptop-nya melalui perangkat usb. Setelah saya buka ternyata tidak ada contoh penilaian yang saya maksud. Kesimpulan saya, sang pendamping itu sendiri belum pernah memberikan praktik penilaian secara lengkap.
          Ketika penulis menanyakan hal penilaian ini kepada rekan-rekan guru yang lain yang mengampu mata pejaran berbeda-beda, ternyata kepada setiap mereka diajarkan cara penilaian yang berbeda oleh pendamping masing-masing. Bagaimana ini bisa terjadi dalam satu kurikulum yang sama? Untuk sekolah di wilayah Jakarta saja sudah terjadi keruwetan semacam ini? Bagaimana pula keadaan sekolah di kawasan terpencil? Apakah mereka sudah diperlengkapi dengan listrik, laptop untuk mengajar dan presentasi, jaringan internet, dan printer yang canggih untuk mencetak rapor dalam format Simdik?

Pertanyaan jujur dan jawaban jujur
          Pro dan kontra untuk sesuatu yang baru itu memang wajar. Akan tetapi hal ini bisa menjadi kurang wajar setelah ada semacam tuduhan yang mengatakan, ”Guru yang tak menjalankan Kurtilas adalah guru malas.”
          Stigma ’guru malas’ ini membuat saya bertanya-tanya apakah guru yang giat menjalankan Kurtilas itu adalah guru yang rajin? Apakah mereka ini, maaf, bukan guru yang bodoh, atau mau dibodohi oleh sang pencetus kurikulum untuk menjadi pendusta?
          Penulis ingin mengajukan sejumlah pertanyaan jujur yang menghendaki jawaban jujur dari lubuk hati terdalam para guru yang benar-benar mengaplikasikan Kurtilas dalam proses belajar mengajar sehari-hari.
          Apakah Anda sungguh-sungguh dan benar-benar telah melaksanakan secara tuntas seluruh KD yang terdapat dalam 1 semester yang tercantum dalam rapor Simdik? Apakah yang Anda tuliskan dalam penilaian untuk segi spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan itu benar-benar Anda lakukan dengan jujur dan tak bertentangan dengan hati nurani Anda? Apakah para siswa yang Anda beri remedial sunggguh-sungguh bisa mencapai angka KKM yang dipatok? Apakah tidak ada satu nilai pun dalam 4 aspek penilaian yang Anda lakukan itu  yang bersifat manipulatif? Yang saya maksudkan dengan tindakan  bersifat manipulatif itu adalah pendongkrakan/pengerekan/pengatrolan/ penggelembungan nilai sehingga minimal mencapai KKM. Apakah Anda benar-benar berani memberikan angka di bawah KKM untuk para siswa yang memang tidak memiliki kompetensi yang memadai? Jika pernah, bagaimana Anda mempertanggungjawabkan keputusan Anda ini kepada kepala sekolah? Apakah Anda berani ngotot dengan keputusan Anda di hadapan kepala sekolah? Bukankah kepala sekolah (negeri) jika dinilai berprestasi jelek/menurun bisa dimutasikan ke daerah kering?
          Jika seluruh pertanyaan saya di atas bisa Anda jawab secara jujur dengan jawaban ”Ya”, maka saya berkesimpulan bahwa Anda adalah salah satu guru superlangka di negeri ini, atau bahkan mungkin, di seluruh dunia. Anda mungkin lebih tepat disebut sebagai ’malaikat’ ketimbang ’manusia’.
          Setelah penulis menanyai sejumlah guru yang penulis kenal baik dan mengajar berbagai mata pejaran yang berbeda, mereka semua menjawab bahwa sejumlah nilai yang mereka berikan itu adalah hasil karangan mereka sendiri, terutama nilai spiritual, sosial, dan keterampilan.
          Melalui jawaban-jawaban jujur dari sejumlah rekan guru tersebut, penulis menyimpulkan bahwa rapor Kurtilas merupakan sebuah etalase dusta di jagat pendidikan Indonesia. Ini merupakan sebuah fakta yang sangat menggelisahkan dan menakutkan.
          Lebih celaka lagi bila etalase dusta ini dipamerkan dengan  penuh kebanggaan oleh siswa penerimanya sebagai tanda prestasi puncaknya, atau diumumkan oleh pihak sekolah sebagai suatu puncak prestasi.  Jikalau ini terjadi, berarti etalase dusta itu telah menghasilkan rentetan dosa lain yang mungkin kurang diperhatikan oleh para pendidik.
          Hal ini semakin mengukuhkan apa yang dinyatakan di dalam Alkitab, ”Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.” (Roma 7: 19). 
          Apakah guru mau menjadi corong Kebenaran atau corong Dusta? Apakah guru mau menjadi hamba Tuhan, atau hamba setan? Jawabnya terpulang kepada masing-masing guru di hadapan Tuhan yang kelak bakal menghakimi kita semua di dalam kekekalan.


***
           

No comments:

Post a Comment