Etalase
Dusta di Jagat Pendidikan Indonesia
Oleh Budianto Sutrisno
Akhir-akhir
ini jagat pendidikan di Indonesia dipenuhi dengan hiruk pikuk suara pro dan
kontra penerapan Kurikulum 2013 (Kurtilas). Hiruk-pikuk ini membuat Menteri Pendidikan
Anies Baswedan mengambil keputusan yang bersifat mendua. Sekolah-sekolah yang
telah menerapkan Kurtilas selama 3 semester, diperkenankan
untuk menggunakan Kurtilas ini pada proses belajar mengajar selanjutnya,
sementara sekolah-sekolah yang baru 1 semester menjalankannya, akan kembali ke
KTSP. Sekolah-sekolah yang berkeberatan menjalankan Kurtilas, sementara sudah
memakainya selama 3 semester, diminta untuk mengajukan surat keberatan;
sedangkan sekolah yang baru 1 semester menjalankan Kutilas dan tak ingin
kembali ke KTSP, diminta untuk mengajukan surat permohonan.
Pertentangan
batin
Keputusan
yang mengandung ketaksaan (ambiguitas) ini mengakibatkan adanya 2 bentuk rapor
pada sekolah-sekolah yang ingin kembali ke KTSP pada semester kedua tahun
pelajaran 2014 – 2015 ini. Hal ini merupakan peristiwa yang sangat ganjil, dan mungkin
hanya terjadi di Indonesia.
Sebagai
guru yang beragama Kristen, penulis merasakan adanya suatu pertentangan batin
di dalam diri. Sebuah konflik yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di satu
pihak, penulis sangat ingin memajukan para siswa lewat pengajaran yang bermutu
tinggi dan suri teladan yang baik, namun di sisi lain penulis juga harus memenuhi
kewajiban guru untuk mempraktikkan Kurtilas, yang bagi penulis, sangat sulit dilakukan dengan jujur, kalau
tak bisa dikatakan mustahil.
Di
sebuah sekolah di Jakarta, penulis mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris untuk
kelas VII, VIII, dan IX. Di kelas IX tak terdapat pergumulan batin yang seru,
karena masih menggunakan KTSP. Masalah terjadi dalam penerapan Kurtilas dalam
praktik nyata mengajar di kelas VII dan VIII.
Sekolah
tempat penulis mengajar termasuk sekolah yang siswanya berasal dari keluarga
kelas menengah ke bawah. Secara rata-rata mereka tidak cakap berbahasa Inggris
(terutama secara lisan). Tak ada satu keluarga pun dari mereka yang sehari-hari
berbahasa Inggris, atau berbahasa campuran antara bahasa Indonesia dan Inggris.
Banyak di antara mereka untuk menerapkan kapan mengucapkan ”Good morning” dan ”Good afternoon” kepada guru, masih terbalik-balik.
Suatu
hari, dilakukan pendampingan penerapan Kurtilas oleh pihak Dinas Pendidikan di
sekolah kami untuk 10 mata pelajaran. Seusai dilakukan inspeksi pendampingan
dalam pengajaran di dalam kelas, penulis mendesak guru pendamping dengan
pertanyaaan: ”Tolong Pak, saya diberi tahu kekurangan saya!” Rupanya guru
pendamping ini lebih asyik mengamati RPP, Silabus, dan Penilaian tertulis untuk
pelajaran yang telah lalu yang saya serahkan kepada beliau. Ya, laporan hitam
di atas putih rupanya lebih menjadi fokus perhatian untuk dicermati oleh guru
pendamping Kurtilas ketimbang praktik mengajar di dalam kelas. Apakah si
pendamping memiliki kompetensi yang luar biasa sehingga mampu memerhatikan
pengajaran praktik saya di dalam kelas sambil memerhatikan laporan tertulis
saya? Saya kira, dari jawaban-jawaban yang diberikan dan nada bicaranya, saya
berkesimpulan ”Tidak”. Bahkan beliau tak berkata sepatah pun dalam bahasa
Ingris kepada saya, kecuali membaca topik pengajaran yang saya berikan.
Akhirnya, setelah berpikir, sang pendamping menjawab, ”Saya masih belum melihat tahap ’mengomunikasikan’ dalam pengajaran Bapak.” Saya lalu menanyakan kepada yang bersangkutan, ”Bagaimana caranya supaya tahap ’mengomunikasikan’ itu bisa tercapai?”
Akhirnya, setelah berpikir, sang pendamping menjawab, ”Saya masih belum melihat tahap ’mengomunikasikan’ dalam pengajaran Bapak.” Saya lalu menanyakan kepada yang bersangkutan, ”Bagaimana caranya supaya tahap ’mengomunikasikan’ itu bisa tercapai?”
Setelah
berpikir-pikir, beliau menjawab, ”Siswa dibagi dalam beberapa ‘discussion group ’,
lalu pemimpin kelompok diminta menguraikan/menjelaskan apa yang diajarkan pada
hari ini.”
Sebenarnya
waktu itu dalam hati, saya sangat ingin meminta agar sang pendamping
mempraktikkan instruksi tersebut di dalam kelas, tetapi saya tidak tega. Nanti
saya bisa dikira hendak mempermalukan dirinya. Bagaimana mungkin para siswa
yang masih kebingungan dalam mempraktikkan ucapan ”Good morning” dan ”Good
afternoon” ini diminta untuk memberikan penjelasan tentang isi pengajaran dalam
bahasa Inggris secara lisan.
Penulis
– seperti halnya dengan rata-rata guru lainnya – juga mengalami kesulitan dalam
penilaian. Sehubungan dengan hal ini, penulis bertanya kepada guru pendamping, ”Bisa
saya minta contoh penilaian lengkap?” Lalu saya diberi file dari laptop-nya melalui perangkat usb. Setelah saya buka
ternyata tidak ada contoh penilaian yang saya maksud. Kesimpulan saya, sang
pendamping itu sendiri belum pernah memberikan praktik penilaian secara
lengkap.
Ketika penulis menanyakan hal penilaian ini kepada rekan-rekan guru yang lain yang
mengampu mata pejaran berbeda-beda, ternyata kepada setiap mereka diajarkan cara
penilaian yang berbeda oleh pendamping masing-masing. Bagaimana ini bisa
terjadi dalam satu kurikulum yang sama? Untuk sekolah di wilayah Jakarta saja
sudah terjadi keruwetan semacam ini? Bagaimana pula keadaan sekolah di kawasan
terpencil? Apakah mereka sudah diperlengkapi dengan listrik, laptop untuk
mengajar dan presentasi, jaringan internet, dan printer yang canggih untuk
mencetak rapor dalam format Simdik?
Pertanyaan
jujur dan jawaban jujur
Pro
dan kontra untuk sesuatu yang baru itu memang wajar. Akan tetapi hal ini bisa
menjadi kurang wajar setelah ada semacam tuduhan yang mengatakan, ”Guru yang
tak menjalankan Kurtilas adalah guru malas.”
Stigma
’guru malas’ ini membuat saya bertanya-tanya apakah guru yang giat menjalankan
Kurtilas itu adalah guru yang rajin? Apakah mereka ini, maaf, bukan guru yang
bodoh, atau mau dibodohi oleh sang pencetus kurikulum untuk menjadi pendusta?
Penulis
ingin mengajukan sejumlah pertanyaan jujur yang menghendaki jawaban jujur dari
lubuk hati terdalam para guru yang benar-benar mengaplikasikan Kurtilas dalam
proses belajar mengajar sehari-hari.
Apakah
Anda sungguh-sungguh dan benar-benar telah melaksanakan secara tuntas seluruh
KD yang terdapat dalam 1 semester yang tercantum dalam rapor Simdik? Apakah yang
Anda tuliskan dalam penilaian untuk segi spiritual, sosial, pengetahuan, dan
keterampilan itu benar-benar Anda lakukan dengan jujur dan tak bertentangan
dengan hati nurani Anda? Apakah para siswa yang Anda beri remedial
sunggguh-sungguh bisa mencapai angka KKM yang dipatok? Apakah tidak ada satu
nilai pun dalam 4 aspek penilaian yang Anda lakukan itu yang bersifat manipulatif? Yang saya maksudkan
dengan tindakan bersifat manipulatif itu
adalah pendongkrakan/pengerekan/pengatrolan/ penggelembungan nilai sehingga
minimal mencapai KKM. Apakah Anda benar-benar berani memberikan angka di bawah
KKM untuk para siswa yang memang tidak memiliki kompetensi yang memadai? Jika
pernah, bagaimana Anda mempertanggungjawabkan keputusan Anda ini kepada kepala
sekolah? Apakah Anda berani ngotot dengan keputusan Anda di hadapan kepala
sekolah? Bukankah kepala sekolah (negeri) jika dinilai berprestasi
jelek/menurun bisa dimutasikan ke daerah kering?
Jika seluruh pertanyaan saya di atas bisa Anda jawab secara jujur dengan jawaban ”Ya”, maka saya berkesimpulan bahwa Anda adalah salah satu guru superlangka di negeri ini, atau bahkan mungkin, di seluruh dunia. Anda mungkin lebih tepat disebut sebagai ’malaikat’ ketimbang ’manusia’.
Jika seluruh pertanyaan saya di atas bisa Anda jawab secara jujur dengan jawaban ”Ya”, maka saya berkesimpulan bahwa Anda adalah salah satu guru superlangka di negeri ini, atau bahkan mungkin, di seluruh dunia. Anda mungkin lebih tepat disebut sebagai ’malaikat’ ketimbang ’manusia’.
Setelah penulis menanyai sejumlah guru yang penulis kenal baik dan mengajar berbagai mata
pejaran yang berbeda, mereka semua menjawab bahwa sejumlah nilai yang mereka
berikan itu adalah hasil karangan mereka sendiri, terutama nilai spiritual,
sosial, dan keterampilan.
Melalui
jawaban-jawaban jujur dari sejumlah rekan guru tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa rapor Kurtilas merupakan sebuah etalase dusta di jagat pendidikan
Indonesia. Ini merupakan sebuah fakta yang sangat menggelisahkan dan menakutkan.
Lebih
celaka lagi bila etalase dusta ini dipamerkan dengan penuh kebanggaan oleh siswa penerimanya
sebagai tanda prestasi puncaknya, atau diumumkan oleh pihak sekolah sebagai
suatu puncak prestasi. Jikalau ini
terjadi, berarti etalase dusta itu telah menghasilkan rentetan dosa lain yang
mungkin kurang diperhatikan oleh para pendidik.
Hal
ini semakin mengukuhkan apa yang dinyatakan di dalam Alkitab, ”Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.” (Roma 7: 19).
Apakah guru mau menjadi corong Kebenaran atau corong Dusta? Apakah guru mau menjadi hamba Tuhan, atau hamba setan? Jawabnya terpulang kepada masing-masing guru di hadapan Tuhan yang kelak bakal menghakimi kita semua di dalam kekekalan.
Apakah guru mau menjadi corong Kebenaran atau corong Dusta? Apakah guru mau menjadi hamba Tuhan, atau hamba setan? Jawabnya terpulang kepada masing-masing guru di hadapan Tuhan yang kelak bakal menghakimi kita semua di dalam kekekalan.
***
No comments:
Post a Comment