Saturday, May 31, 2014

Puisi dengan Tema "Untukmu Sahabat"

Puisi karya saya dengan tema "Untukmu Sahabat" telah dipilih sebagai salah satu 
puisi pilihan oleh Penerbit Asrifa. 
Puisi bertajuk "Ku Ditopang di Kala Timpang" ini telah dibukukan
dalam sebuah buku antologi puisi yang berjudul "Radar Lupus" bersama dengan
sejumlah puisi karya para pengarang lain.


Ku Ditopang di Kala Timpang 
Oleh Budianto Sutrisno

Bertahun lalu sebelum ku jumpa denganmu
ku simpan rapat segala suka-duka dan madu-empedu kehidupan
ku merasa hidup tak perlu berbagi
tapi begitu aku mengenalmu
ku tumpahkan segala isi hatiku sampai tandas
sampai tuntas
ku deraikan air mataku sampai tak bersisa
sampai dada lega

Bertahun lalu sebelum ku jumpa dengamu
ku merasa paling perkasa ’tuk taklukkan dunia
dengan dada membusung dan semangat membubung
ku terjang segala halang rintang
tanpa gentar, tanpa gemetar
ku terlena dalam kobaran semangat
ku lupa, di sana menganga perangkap keparat jahat
ku diringkus bak tikus di pojok kakus
ku tersingkir sampai ke dasar tubir
lesap lenyap di titik nadir

Namun akhirnya …
takdir membawa dirimu hadir
kau papah diriku yang letih dan tertatih
kau bawa aku masuk dalam keteduhan hidup
yang membuatku terpana dalam takjub
lukaku kau balut
timpangku kau topang
kau sertai setiap langkahku
sampai ku mampu berjalan tegap sendiri

Terima kasih, sahabatku …
kau nyalakan pelita kesadaran
di tengah pekat malam gulitaku
hingga celik mata nuraniku
ternyata persahabatan itu jauh lebih berharga
ketimbang ambisi nirhenti mengejar harta
engkau menepis dan mengikis
lapis demi lapis
tabiatku yang sarat abu kelabu egoistis
engkau telah memulihkanku
dari timpang raga dan lumpuh jiwa
topanganmu menguatkan kakiku
dan menenteramkan hatiku

Sahabatku …
ku pastikan aku jua sahabatmu
temali keakraban ini akan terus terjalin
dalam ikatan erat nan tak terpisahkan
kini, nanti, dan selamanya

***






Wednesday, May 28, 2014

Cerpen dengan Latar Pedesaan

Cerpen bertajuk "Klenyem Wewe" ini merupakan salah satu cerpen pemenang lomba cerpen yang diadakan oleh nulis buku, dan telah dibukukan bersama sejumlah cerpen lain dalam antologi cerpen pada tahun lalu. Kendati latar wilayahnya merupakan fakta geografis, tetapi seluruh pelaku, nama desa, dan jalan cerita cerpen ini semata-mata merupakan imajinasi penulis.



Klenyem Wewe 
Oleh Budianto Sutrisno

Perempuan setengah baya itu bernama Suginah. Sehari-hari biasa dipanggil masyarakat dusun Kebonkidul, di lereng selatan gunung Muria, sebagai Mbok Ginah. Dia seorang janda, ditinggal mati suaminya sepuluh tahun yang lalu.
Mbok Ginah tinggal di sebuah rumah berdinding gedhek 1), yang dikapur putih. Pojok halaman rumahnya dirimbuni dengan pohon tanjung, pagarnya berupa tanaman kembang sepatu yang sangat lebat. Di pinggir halaman berjajar rapi rumpun melati dan pandan yang menebarkan wangi. Walau sangat sederhana, rumah ini tampak bersih dan asri.
Meski hidup sangat sederhana, Mbok Ginah selalu tampil bersih dengan tubuh terbalut kain yang telah agak memudar warnanya. Sekuntum melati selalu tertancap di gelung kondenya. Sedikit guratan kerut di keningnya tak memupus kecantikan seorang perempuan desa. Tutur katanya sangat ramah.   
 ”Aku ini kan jualan camilan, jadi ya harus bersih, rapi, ramah, dan sopan. Kalau ndak, ya ndak laku camilanku. Pembeli kan juga harus dihargai” jelasnya kepada putri tercinta satu-satunya beberapa tahun sebelum mereka hidup terpisah.
Dalam kesendiriannya, Mbok Ginah tak pernah mengeluh, apalagi minta dibelaskasihani..
”Aku masih bisa bekerja sendiri, mencari nafkah secara halal,” demikian ujarnya bersemangat ketika salah seorang tetangga dekatnya mengusulkan agar dia tinggal saja bersama dengan kakaknya di dusun Pringlor – 10 kilometer dari Kebonkidul – sekaligus ikut mengawasi putri semata wayangnya, Wati, yang duduk di bangku SMP kelas VIII di sana. Ya, Wati dititipkan kepada Pak De Hadi, mengingat dusun Kebonkidul tidak memiliki sekolah tingkat SMP.
 ”Kalau aku nyusul Nduk Wati, lha nanti langgananku bablas kabeh 2)!” kilahnya. 
 
***

Untuk menyambung hidup, Mbok Ginah berjualan klenyem, camilan yang di daerah Sunda biasa disebut misro. Klenyem Mbok Ginah sudah terkenal di seantero dusun. Rupanya dia punya semacam resep rahasia keluarga yang membuat klenyemnya sedep, mantep, renyah di luar dan kenyal di dalam, manis, gurih serta harum.
Dalam percakapan dengan Mbak Asih, salah seorang pelanggannya, ia menyingkapkan sebagian rahasia resep camilan dagangannya.
”Jeng Asih, parutan singkongnya ditambahi kelapa dan bumbu khusus, gula jawanya dimasak lagi pakai daun pandan. Setelah gula mengeras, baru disisir dan dimasukkan ke dalam adonan yang dibentuk bulat pipih. Terus digoreng dua kali,” jelasnya sebagai pakar klenyem yang kondang di seantero dusun.
            Lho apa Mbok Ginah ndak takut kalau saya saingi nanti? Resep rahasianya kok malah dibeberkan kepada saya,” tanggap Mbak Asih.
            ”Itu kan cuma sebagian resep. Lagi pula yang namanya rezeki itu tak akan lari ke mana tho, Jeng Asih. Apalagi soal makanan; lain koki, pasti lain rasa masakan meski resepnya sama,” jelas Mbok Ginah laiknya seorang ahli kuliner. ”Rezeki itu kan yang memberi Gusti Allah sendiri, kita ini nrimo ing pandum 3) saja,” nada bicaranya kali ini bak seorang penceramah bijak dalam acara siraman rohani.
            Sementara, Mas Karso, pelanggan setianya setiap pagi, bukan saja memuji kelezatan klenyem Mbok Ginah, tetapi juga menyatakan kekagumannya terhadap semangat perjuangan penjaja klenyem yang ulet ini.
”Aku salut dengan semangatmu, Mbok. Sebagai lelaki, jujur aku mengakui kehebatanmu. Aku kalah jauh. Sampeyan 4) ini sejatinya layak disebut sebagai pahlawan yang tak pernah gembar-gembor, tetapi selalu kerja keras. Pahlawan dalam keheningan, begitulah istilah tepatnya,” ujar Mas Karso dengan mimik serius di tengah keramaian pasar.
            ”Ah, sampeyan ini bisa saja. Pahlawan opo aku ini? Aku kerja begini kan semua demi Nduk Watiku tercinta. Mengais rezeki untuk membiayai sekolahnya. Wati harus jadi orang pinter, jangan seperti ibunya! Pokoknya kebodohan dan kemiskinan ibunya tidak boleh terulang pada dirinya. Cukup ibunya saja yang menderita. Aku rela menderita kok, demi masa depan darah dagingku sendiri,” sahut Mbok Ginah tak kurang seriusnya.
            Mas Karso mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju, ”Lha ya itu, sampeyan itu setidaknya sudah menjadi pahlawan keluarga demi hari depan generasi muda,” serunya bersemangat, lalu disambarnya sebuah klenyem yang masih hangat. Digigitnya pelan-pelan, seolah-olah khawatir kehilangan setiap titik kenikmatan pada setiap kunyahannya. Matanya berkedip-kedip ketika gula jawa dalam klenyem meleleh dan bercampur dengan kerenyahan singkong. Itulah momen puncak kelezatan camilan rakyat yang dinikmati oleh Mas Karso.
Setelah klenyem habis tandas pun, lidahnya masih disapukan pada tepian bibirnya, memastikan seluruh kelezatan klenyem itu tak meninggalkan sisa. Kemudian diseruputnya wedang ronde buatan Yu Sumi yang berjualan di sebelah lapak Mbok Ginah.
            ”Ah …, sedapnya! Aku boleh jadi cuma keturunan buruh tani sederhana, tapi urusan kelezatan camilan, aku sendiri yang tentukan!” celoteh Mas Karso meniru gaya sebuah pesan iklan yang sering ditontonnya lewat pesawat televisi di kelurahan.
Mbok Ginah menggelengkan kepala, bibirnya mengulum senyum, dan hatinya berbunga karena klenyem buatannya dipuji habis oleh pelanggan setianya. Ia tahu ini adalah sebuah pujian jujur yang keluar dari relung hati yang paling dalam, maka ia menanggapinya dengan senyum yang tulus.
Akhirnya, Suginah tak tahan untuk tak membalas sanjung puji Mas Karso dengan ucapan kenes beraroma pesan iklan televisi pula, ”Banyak klenyem yang sampeyan kenal, tapi hanya ada satu klenyem yang bikin sampeyan semringah, klenyem Suginah.”
’Balas pantun’ ini berujung dengan derai gelak tawa dari kedua penghuni dusun yang dipertemukan melalui camilan klenyem. Siapa nyana klenyem yang sederhana itu bisa menjadi sarana mempererat pergaulan dan persahabatan.
Kejujuran, ketulusan, dan canda ria yang bersemayam di dusun Kebonkidul sungguh menjadi oase yang menyegarkan jiwa dibandingkan dengan hiruk pikuk dan kepalsuan yang merambah serta menjajah kehidupan masyarakat di kota-kota besar. Sesuatu yang lumrah di desa telah menjadi barang langka di kota.

***
           
Di pagi hari yang masih berselimutkan kabut, Mbok Ginah bersiap berangkat ke pasar untuk menjajakan klenyem buatannya. Dengan wajah cerah, ia menyunggi tampah 5) berisi penuh klenyem. Di pinggangnya melekat sebuah bakul berisi daun pisang untuk membungkus klenyem dan sedikit bekal nasi dengan lauk ikan asin serta semur jengkol. Sehelai selendang batik kawung mengikat bakulnya, memastikan bawaannya itu tidak merosot dan jatuh.
            Dia tampak lebih bergembira ketimbang biasanya, karena kemarin siang ia baru saja menerima surat dari Wati – putri semata wayangnya. Putrinya ini memberi kabar bahwa ia akan pulang karena ada libur panjang kenaikan kelas. Kegembiraan Mbok Ginah semakin membuncah ketika Wati bercerita bahwa ia berhasil menjadi juara kelas.
            Ia bergumam kepada dirinya sendiri, ”Gusti Allah, usahaku membesarkan dan menyekolahkan Wati Kusumawati tidak sia-sia. Kiranya dia selalu menaburkan aroma harum ke lingkungan sekitarnya.  Matur nuwun 6), Gusti!”
Gemersik daun tanjung, semerbak melati, dan semarak merah kembang sepatu seolah menjadi pertanda pengabulan doa wong cilik seperti Mbok Ginah. Ia segera melangkahkan kakinya dengan bersemangat untuk menyongsong hari depan penuh harapan. Di ranting tanjung sana, cericit sepasang pipit ikut mengucapkan ’selamat berjuang’ kepada wanita dusun yang ulet ini.
            Begitu tiba di lapak penjualan di pasar, sejumlah pelanggan sudah menunggu kedatangan Mbok Ginah. Klenyem Mbok Ginah memang laris manis.
            Seusai melayani tiga orang pembeli, tiba-tiba Mbok Ginah mencium bau tak sedap. Dan tiba-tiba saja di depannya berdiri sesosok makhluk berambut gimbal, berpakaian compang-camping, dan bertubuh kotor. Rupanya bau yang menusuk hidung itu bersumber dari tubuh makhluk perempuan gembel yang  menyeramkan ini.
            ”Kasihani saya, Mbok! Sudah tiga hari belum makan. Saya lapaaar… sekali. Kebaikan Mbok akan membawa bahagia, kejahatan Mbok akan membawa bencana,” ujar si gembel dengan suara parau.
            Meski agak kebat-kebit, Mbok Ginah mencoba mengusir gembel itu, ”Pergi kamu wewe 7) pengganggu! Tempatmu bukan di sini, tetapi di samping genderuwo 8) di hutan jati sana,” seru Mbok Ginah dengan nada galak sambil mengacungkan telunjuk kanannya ke arah barat, sementara tangan kirinya berkecak pinggang.
            ”Kebaikan Mbok akan membawa bahagia, kejahatan Mbok akan membawa bencana,” kembali ucapan bak mantra itu diperdengarkan si makhluk wewe.
            ”Sudah sana pergi! Nih, klenyem untukmu, jangan balik lagi ke sini!”
            Makhluk wewe itu menerima bungkusan klenyem dan ngeloyor pergi sambil bergumam berulang kali, ”Kebaikan Mbok akan membawa bahagia, kejahatan Mbok akan membawa bencana.”

***
                                                                                                                                          
Sejak peristiwa tersebut, tamu wewe yang tak diundang itu setiap pagi mendatangi Mbok Ginah dengan mengucapkan mantra yang sama. Mbok Ginah khawatir jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, pelanggannya akan merasa enggan untuk membeli klenyemnya. Atau, yang lebih celaka lagi, jangan-jangan nanti si wewe bisa menjadi ancaman bagi keselamatan pelanggannya.
”Ah… aku harus mengambil keputusan. Si wewe yang tak tahu diri itu harus dilenyapkan. Keberadaannya akan menggerogoti rezekiku,” gumam Mbok Ginah.
Keesokan harinya, seusai menggoreng seluruh klenyem yang akan dijajakan, Mbok Ginah berniat menjalankan niatnya untuk menghabisi si wewe yang menjadi pengganggu dalam usaha mencari nafkah.
Segera diambilnya racun tikus yang ia simpan di pojok dapur. Dibubuhkannya racun itu pada adonan klenyem yang telah ia pisahkan dalam sebuah panci kecil. Racun yang telah berhasil membuat selusin tikus mati bergelimpangan itu ditambahkan ke dalam adonan singkong dan juga gula jawa.
”Biar thek-sek 9) dia nanti! Aku sudah geregetan,” gerutu Mbok Ginah seorang diri. Akan tetapi, tiba-tiba saja … suara rapal mantra wewe itu kembali terngiang di telinganya, ”Kebaikan Mbok akan membawa bahagia, kejahatan Mbok akan membawa bencana.”
Mbok Ginah mencoba tak menghiraukan suara itu, dan ia terus menambahkan bubuk racun ke dalam adonan dan mengaduknya semakin kuat.
Semakin keras ia mencoba untuk tak menghiraukannya, semakin keras suara itu terdengar, ”Kebaikan Mbok akan membawa bahagia, kejahatan Mbok akan membawa bencana.”
’Sreng… sreng… sreng,’ demikian bunyi klenyem beracun itu ketika dimasukkan Mbok Ginah ke dalam wajan penggorengan yang berisi minyak mendidih. Akhirnya, lima klenyem ”istimewa” ini matang dan ditata rapi di atas daun pisang yang dijadikan pembungkus.
”Nah, klenyem wewe ini akan kuberikan kepada orang yang memang pantas menerimanya, yaitu si wewe yang  menjengkelkan itu. Pengganggu pekerjaan orang lain harus memperoleh hukuman yang setimpal!” serunya bersemangat kepada dirinya sendiri.
Mantap sekali tampilan dan aroma klenyem wewe ini. Siapa pun akan terbangkit seleranya untuk mencicipi camilan yang menggoda ini. Siapa pun tak akan bisa menduga klenyem wewe ini adalah klenyem maut. Dan siapa pun tak akan mengira bahwa Mbok Ginah yang ramah dan santun itu bisa dan tega membuat hidangan seperti ini.
Akan tetapi tiba-tiba saja seperti ada angin bertiup lembut masuk ke dapur, membawa suara rapal mantra ke telinga Mbok Ginah, ” Kebaikan Mbok akan membawa bahagia, kejahatan Mbok akan membawa bencana.” Suara itu terus menggetarkan gendang telinga Mbok Ginah, membuat hatinya berdebar, dan benaknya dipenuhi dengan tanda tanya, ”Ada apa ini?”
            Beberapa detik kemudian, Mbok Ginah berdiri tercenung, mulutnya mengeluarkan sebuah teriakan, ”Astaga…! Apa yang sudah kulakukan? Ya, Tuhan, hamba-Mu mohon ampun atas niat hamba-Mu yang hendak menghilangkan nyawa orang lain. Kenapa saya tega membuat camilan beracun? Ampuni hamba-Mu ini,  ya Gusti yang Maha Pengampun, ampuni hamba-Mu yang tak punya hati nurani ini!”
            Mbok Ginah duduk bersimpuh di dapur dan tangannya melemparkan bungkusan klenyem wewe itu ke dalam api tungku dapur yang membara. Tampak kedua matanya berlinang air mata mengiringi terbakarnya klenyem wewe itu sampai jadi abu.

***

Suatu sore, tiga hari setelah peristiwa pemusnahan klenyem wewe ke dalam kobaran api, Mbok Ginah tampak gelisah. Sejak kemarin ia gelisah menantikan kedatangan Wati, anak gadis satu-satunya yang ia sayangi yang seharusnya sudah datang dari dusun Pringlor.
Sebagai katup pelepas rindu yang tak tertahankan lagi, Mbok Ginah  berbicara sendiri seolah sedang berhadapan dengan putri semata wayangnya. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamunya yang sempit. Lalu duduk, kemudian mondar-mandir lagi. Perilakunya menunjukkan betapa hatinya sedang galau.
”Oh… alah…, Nduk, Nduk!  Aku sudah kangen banget, tetapi kenapa kamu ndak datang-datang juga? Sekarang ’kan sudah libur panjang. Mudah-mudahan kamu dilindungi Gusti Allah. Berapa lama lagi rinduku ini terobati?” keluh Mbok Ginah dengan hati nelangsa dan mata berkaca-kaca.
            Kira-kira pukul setengah lima sore, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk seseorang dari luar. Dengan sigap Mbok Ginah membukakan pintu. Tampak seorang gadis lusuh dengan pakaian yang masih lembab dan rambut yang acak-acakan berdiri dengan lutut gemetar di depan pintu.
            Pecahlah tangis Mbok Ginah dan suaranya bergetar dalam haru, ”Oh… alah, Nduk Wati… kenapa kamu? Hatiku waswas ndak karuan mikir dirimu.” Dan segera didekapnya gadis itu erat-erat.
            ”Ma… maafkan Wati, Mak! Wati terkena musibah banjir bandang di jembatan Kertosono,” suara gadis itu bergetar dan terdengar lirih, kurang tenaga.
            ”Apa? Banjir bandang? Terus …?”
            Sambil terisak, Wati menjawab perlahan, ”Wati … Wati … terseret arus deras, dan akhirnya tersangkut di dahan pohon …”
            ”Lalu…?” sergah Mbok Ginah.
            ”Wati peluk kuat-kuat dahan pohon itu sampai keesokan harinya. Setelah banjir surut, Wati coba… coba berjalan, tapi ndak kuat, dan jatuh pingsan di jalan.”
            ”Lalu …?” air mata Mbok Ginah semakin deras membasahi wajahnya.
            “Setelah Wati sadar, Wati melihat seorang perempuan gembel dengan rambut gimbal dan wajah yang menyeramkan.”
            ”Perempuan gembel dengan rambut gimbal, wajah menyeramkan?”
            ”Benar, Mak! Wati ditolong oleh dia, diberi minum air dan dipersilakan makan klenyem yang merupakan jatah makannya untuk hari itu. ’Makanlah, Nak semuanya, kamu lebih memerlukannya daripada saya,’ katanya dengan suara parau.”
            ”Sebentar … sebentar …,” suara Mbok Ginah tercekat. ”Klenyemnya dibungkus daun pisang, dan jumlahnya lima?”
            ”Benar, Mak. Dari mana Mak tahu?”
            ”Kamu makan klenyemnya?” tukas Mbok Ginah cepat.
            ”Ya, Mak. Wati habiskan semuanya, karena Wati sudah dua hari ndak makan. Rasanya enak sekali seperti klenyem buatan Emak.”
            ”Duh Gusti, si wewe itu sudah menolong anakku! Ampuni segala dosaku, Gusti!”
            ”Mak, dia bukan wewe, tetapi manusia!” jelas Wati bingung melihat tingkah ibunya.
            ”Duh Gusti, kalau saja hamba-Mu tak memusnahkan klenyem wewe itu, hamba-Mu ini sudah menjadi pembunuh darah dagingku satu-satunya. Ampuni hamba-Mu, Gusti!”
            ”Mak, Emak ndak bunuh siapa-siapa, Emak adalah ibu yang baik.”
”Bukan. Emakmu bukan ibu yang baik. Emakmu jahat dan berhati keji. Di hati Emakmu ada serigala buas-beringas yang siap menerkam. Emakmu yang dipuji-puji Mas Karso sebagai pahlawan keluarga itu ternyata nyaris jadi pembunuh anak sendiri. Julukan pahlawan itu terlalu mulia bagi Emakmu,” ujar Mbok Ginah sambil terisak. ”Tapi, Emak batalkan niat untuk meracuni si wewe … eh salah … si perempuan malaikat itu, sehingga kau bisa pulang dengan selamat, Nduk! Emak batalkan rencana jahat itu karena Emak mendengar rapal mantra saktinya.”
Wati melepaskan kepalanya dari pelukan emaknya, tangannya mencoba menghapus linangan air mata emaknya. Ujarnya dengan nada heran, ”Mak, Wati ndak ngerti dengan apa yang Emak katakan. Emak bilang perempuan itu wewe, sekarang bilang dia itu malaikat, lalu rapal mantra sakti segala.”
”Sudahlah, Nduk. Pokoknya kamu sekarang sudah pulang dengan selamat. Hati Emak senang sekali. Oh ya, malaikat penolongmu itu di mana sekarang?”
”Wati ndak tahu, Mak. Dia terus pergi begitu saja setelah menolong Wati. Waktu Wati tanya namanya, dia cuma tersenyum meringis dan ndak mau jawab.”
”Benar-benar mulia hatinya, berlawanan dengan tampilannya yang lusuh dan kotor. Emak janji jika dia mampir ke lapak lagi, Emak akan suguhi dia klenyem sekenyangnya; Emak akan ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, setinggi-tingginya, dan sedalam-dalamnya,” ucap Mbok Ginah dengan mata berbinar-binar.
”Sudah, sekarang kamu mandi dulu, setelah itu kita makan bareng pakai sayur lodeh kesukaanmu.”
”Iya, Mak.”
***

Sejak Wati pulang liburan ke dusun Kebonkidul, perempuan gembel yang menjadi malaikat penolongnya itu tidak pernah muncul lagi. Maksud Mbok Ginah untuk menyampaikan rasa terima kasih dan menyuguhkan klenyem sampai kenyang kepada sang bintang penolong itu, tak pernah kesampaian. Meski agak kecewa, Mbok Ginah merasa bersyukur karena mendapatkan pelajaran yang berharga untuk tidak menilai seseorang dari tampilan luarnya.
Memang hidup ini penuh ironi. Yang tampilannya meyakinkan boleh jadi sebenarnya seorang penipu besar, sementara yang tampilannya seperti orang melarat, bisa jadi berhati malaikat. Yang jelas, pelajaran hidup yang berharga ini membawa perubahan pada diri Mbok Ginah. Karena, sejak kepulangan Wati, ia jadi suka menyenandungkan rapal mantra sakti dalam versinya sendiri: Kebaikanmu ’kan bawa bahagia, kejahatanmu ’kan bawa bencana. Karenanya, taburlah benih kebaikan, nanti kau ’kan tuai buah kebaikan yang ranum-harum, segar, dan manis rasanya…

*****

Keterangan:
1)     gedhek = anyaman bambu untuk dinding
2)     kabeh = semua          
3)  nrimo ing pandum =  menerima pembagian (dari Tuhan) dengan rela
4)  sampeyan = Anda
5)  tampah  = wadah penganan, terbuat dari anyaman bambu
6) matur nuwun  = terima kasih
7) wewe  = makhluk mitos penculik anak, istri genderuwo
8) genderuwo = makhluk mitos, suami wewe
9) thek-sek = langsung mati