Cerpen bertajuk "Klenyem Wewe" ini merupakan salah satu cerpen pemenang lomba cerpen yang diadakan oleh nulis buku, dan telah dibukukan bersama sejumlah cerpen lain dalam antologi cerpen pada tahun lalu. Kendati latar wilayahnya merupakan fakta geografis, tetapi seluruh pelaku, nama desa, dan jalan cerita cerpen ini semata-mata merupakan imajinasi penulis.
Klenyem Wewe
Oleh Budianto Sutrisno
Perempuan setengah baya
itu bernama Suginah. Sehari-hari biasa dipanggil masyarakat dusun Kebonkidul, di
lereng selatan gunung Muria, sebagai Mbok Ginah. Dia seorang janda, ditinggal
mati suaminya sepuluh tahun yang lalu.
Mbok Ginah tinggal di
sebuah rumah berdinding gedhek 1),
yang dikapur putih. Pojok halaman rumahnya dirimbuni dengan pohon tanjung,
pagarnya berupa tanaman kembang sepatu yang sangat lebat. Di pinggir halaman berjajar
rapi rumpun melati dan pandan yang menebarkan wangi. Walau sangat sederhana,
rumah ini tampak bersih dan asri.
Meski hidup sangat
sederhana, Mbok Ginah selalu tampil bersih dengan tubuh terbalut kain yang
telah agak memudar warnanya. Sekuntum melati selalu tertancap di gelung
kondenya. Sedikit guratan kerut di keningnya tak memupus kecantikan seorang
perempuan desa. Tutur katanya sangat ramah.
”Aku ini kan
jualan camilan, jadi ya harus bersih, rapi, ramah, dan sopan. Kalau ndak, ya ndak laku camilanku. Pembeli kan
juga harus dihargai” jelasnya kepada putri tercinta satu-satunya beberapa tahun
sebelum mereka hidup terpisah.
Dalam kesendiriannya,
Mbok Ginah tak pernah mengeluh, apalagi minta dibelaskasihani..
”Aku masih bisa bekerja
sendiri, mencari nafkah secara halal,” demikian ujarnya bersemangat ketika
salah seorang tetangga dekatnya mengusulkan agar dia tinggal saja bersama
dengan kakaknya di dusun Pringlor – 10 kilometer dari Kebonkidul – sekaligus
ikut mengawasi putri semata wayangnya, Wati, yang duduk di bangku SMP kelas
VIII di sana. Ya, Wati dititipkan kepada Pak De Hadi, mengingat dusun
Kebonkidul tidak memiliki sekolah tingkat SMP.
”Kalau aku nyusul
Nduk Wati, lha nanti langgananku
bablas kabeh 2)!”
kilahnya.
***
Untuk menyambung hidup,
Mbok Ginah berjualan klenyem, camilan yang di daerah Sunda biasa disebut misro.
Klenyem Mbok Ginah sudah terkenal di seantero dusun. Rupanya dia punya semacam
resep rahasia keluarga yang membuat klenyemnya sedep, mantep, renyah di
luar dan kenyal di dalam, manis, gurih serta harum.
Dalam percakapan dengan
Mbak Asih, salah seorang pelanggannya, ia menyingkapkan sebagian rahasia resep camilan
dagangannya.
”Jeng Asih, parutan
singkongnya ditambahi kelapa dan bumbu khusus, gula jawanya dimasak lagi pakai
daun pandan. Setelah gula mengeras, baru disisir dan dimasukkan ke dalam adonan
yang dibentuk bulat pipih. Terus digoreng dua kali,” jelasnya sebagai pakar
klenyem yang kondang di seantero dusun.
”Lho apa Mbok Ginah ndak takut kalau saya saingi nanti? Resep rahasianya kok malah dibeberkan kepada saya,” tanggap
Mbak Asih.
”Itu
kan cuma sebagian resep. Lagi pula yang namanya rezeki itu tak akan lari ke
mana tho, Jeng Asih. Apalagi soal
makanan; lain koki, pasti lain rasa masakan meski resepnya sama,” jelas Mbok Ginah
laiknya seorang ahli kuliner. ”Rezeki itu kan yang memberi Gusti Allah sendiri,
kita ini nrimo ing pandum 3) saja,” nada bicaranya kali ini bak seorang
penceramah bijak dalam acara siraman rohani.
Sementara,
Mas Karso, pelanggan setianya setiap pagi, bukan saja memuji kelezatan klenyem
Mbok Ginah, tetapi juga menyatakan kekagumannya terhadap semangat perjuangan
penjaja klenyem yang ulet ini.
”Aku salut dengan
semangatmu, Mbok. Sebagai lelaki, jujur aku mengakui kehebatanmu. Aku kalah
jauh. Sampeyan 4) ini
sejatinya layak disebut sebagai pahlawan yang tak pernah gembar-gembor, tetapi
selalu kerja keras. Pahlawan dalam keheningan, begitulah istilah tepatnya,”
ujar Mas Karso dengan mimik serius di tengah keramaian pasar.
”Ah,
sampeyan ini bisa saja. Pahlawan opo aku ini? Aku kerja begini kan semua
demi Nduk Watiku tercinta. Mengais rezeki untuk membiayai sekolahnya. Wati
harus jadi orang pinter, jangan
seperti ibunya! Pokoknya kebodohan dan kemiskinan ibunya tidak boleh terulang
pada dirinya. Cukup ibunya saja yang menderita. Aku rela menderita kok, demi masa depan darah dagingku
sendiri,” sahut Mbok Ginah tak kurang seriusnya.
Mas
Karso mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju, ”Lha ya itu, sampeyan itu
setidaknya sudah menjadi pahlawan keluarga demi hari depan generasi muda,” serunya
bersemangat, lalu disambarnya sebuah klenyem yang masih hangat. Digigitnya
pelan-pelan, seolah-olah khawatir kehilangan setiap titik kenikmatan pada
setiap kunyahannya. Matanya berkedip-kedip ketika gula jawa dalam klenyem meleleh
dan bercampur dengan kerenyahan singkong. Itulah momen puncak kelezatan camilan
rakyat yang dinikmati oleh Mas Karso.
Setelah klenyem habis
tandas pun, lidahnya masih disapukan pada tepian bibirnya, memastikan seluruh
kelezatan klenyem itu tak meninggalkan sisa. Kemudian diseruputnya wedang ronde
buatan Yu Sumi yang berjualan di sebelah lapak Mbok Ginah.
”Ah
…, sedapnya! Aku boleh jadi cuma keturunan buruh tani sederhana, tapi urusan
kelezatan camilan, aku sendiri yang tentukan!” celoteh Mas Karso meniru gaya
sebuah pesan iklan yang sering ditontonnya lewat pesawat televisi di kelurahan.
Mbok Ginah
menggelengkan kepala, bibirnya mengulum senyum, dan hatinya berbunga karena
klenyem buatannya dipuji habis oleh pelanggan setianya. Ia tahu ini adalah
sebuah pujian jujur yang keluar dari relung hati yang paling dalam, maka ia
menanggapinya dengan senyum yang tulus.
Akhirnya, Suginah tak
tahan untuk tak membalas sanjung puji Mas Karso dengan ucapan kenes beraroma pesan
iklan televisi pula, ”Banyak klenyem yang sampeyan
kenal, tapi hanya ada satu klenyem yang bikin sampeyan semringah, klenyem Suginah.”
’Balas pantun’ ini
berujung dengan derai gelak tawa dari kedua penghuni dusun yang dipertemukan
melalui camilan klenyem. Siapa nyana klenyem yang sederhana itu bisa menjadi
sarana mempererat pergaulan dan persahabatan.
Kejujuran,
ketulusan, dan canda ria yang bersemayam di dusun Kebonkidul sungguh menjadi
oase yang menyegarkan jiwa dibandingkan dengan hiruk pikuk dan kepalsuan yang
merambah serta menjajah kehidupan masyarakat di kota-kota besar. Sesuatu yang
lumrah di desa telah menjadi barang langka di kota.
***
Di pagi hari yang masih
berselimutkan kabut, Mbok Ginah bersiap berangkat ke pasar untuk menjajakan
klenyem buatannya. Dengan wajah cerah, ia menyunggi tampah 5) berisi penuh klenyem. Di pinggangnya melekat
sebuah bakul berisi daun pisang untuk membungkus klenyem dan sedikit bekal nasi
dengan lauk ikan asin serta semur jengkol. Sehelai selendang batik kawung mengikat
bakulnya, memastikan bawaannya itu tidak merosot dan jatuh.
Dia
tampak lebih bergembira ketimbang biasanya, karena kemarin siang ia baru saja
menerima surat dari Wati – putri semata wayangnya. Putrinya ini memberi kabar
bahwa ia akan pulang karena ada libur panjang kenaikan kelas. Kegembiraan Mbok
Ginah semakin membuncah ketika Wati bercerita bahwa ia berhasil menjadi juara
kelas.
Ia
bergumam kepada dirinya sendiri, ”Gusti Allah, usahaku membesarkan dan
menyekolahkan Wati Kusumawati tidak sia-sia. Kiranya dia selalu menaburkan
aroma harum ke lingkungan sekitarnya. Matur nuwun 6), Gusti!”
Gemersik daun tanjung,
semerbak melati, dan semarak merah kembang sepatu seolah menjadi pertanda pengabulan
doa wong cilik seperti Mbok Ginah. Ia segera melangkahkan kakinya dengan
bersemangat untuk menyongsong hari depan penuh harapan. Di ranting tanjung
sana, cericit sepasang pipit ikut mengucapkan ’selamat berjuang’ kepada wanita
dusun yang ulet ini.
Begitu
tiba di lapak penjualan di pasar, sejumlah pelanggan sudah menunggu kedatangan
Mbok Ginah. Klenyem Mbok Ginah memang laris manis.
Seusai
melayani tiga orang pembeli, tiba-tiba Mbok Ginah mencium bau tak sedap. Dan
tiba-tiba saja di depannya berdiri sesosok makhluk berambut gimbal, berpakaian
compang-camping, dan bertubuh kotor. Rupanya bau yang menusuk hidung itu
bersumber dari tubuh makhluk perempuan gembel yang menyeramkan ini.
”Kasihani
saya, Mbok! Sudah tiga hari belum makan. Saya lapaaar… sekali. Kebaikan Mbok
akan membawa bahagia, kejahatan Mbok akan membawa bencana,” ujar si gembel
dengan suara parau.
Meski
agak kebat-kebit, Mbok Ginah mencoba mengusir gembel itu, ”Pergi kamu wewe 7) pengganggu! Tempatmu
bukan di sini, tetapi di samping genderuwo
8) di hutan jati sana,”
seru Mbok Ginah dengan nada galak sambil mengacungkan telunjuk kanannya ke arah
barat, sementara tangan kirinya berkecak pinggang.
”Kebaikan
Mbok akan membawa bahagia, kejahatan Mbok akan membawa bencana,” kembali ucapan
bak mantra itu diperdengarkan si makhluk wewe.
”Sudah
sana pergi! Nih, klenyem untukmu, jangan balik lagi ke sini!”
Makhluk
wewe itu menerima bungkusan klenyem
dan ngeloyor pergi sambil bergumam berulang kali, ”Kebaikan Mbok akan membawa
bahagia, kejahatan Mbok akan membawa bencana.”
***
Sejak peristiwa
tersebut, tamu wewe yang tak diundang
itu setiap pagi mendatangi Mbok Ginah dengan mengucapkan mantra yang sama. Mbok
Ginah khawatir jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, pelanggannya akan merasa
enggan untuk membeli klenyemnya. Atau, yang lebih celaka lagi, jangan-jangan
nanti si wewe bisa menjadi ancaman
bagi keselamatan pelanggannya.
”Ah… aku harus
mengambil keputusan. Si wewe yang tak
tahu diri itu harus dilenyapkan. Keberadaannya akan menggerogoti rezekiku,”
gumam Mbok Ginah.
Keesokan harinya, seusai
menggoreng seluruh klenyem yang akan dijajakan, Mbok Ginah berniat menjalankan
niatnya untuk menghabisi si wewe yang menjadi pengganggu dalam usaha mencari
nafkah.
Segera diambilnya racun
tikus yang ia simpan di pojok dapur. Dibubuhkannya racun itu pada adonan
klenyem yang telah ia pisahkan dalam sebuah panci kecil. Racun yang telah
berhasil membuat selusin tikus mati bergelimpangan itu ditambahkan ke dalam
adonan singkong dan juga gula jawa.
”Biar thek-sek 9) dia nanti! Aku
sudah geregetan,” gerutu Mbok Ginah seorang diri. Akan tetapi, tiba-tiba saja …
suara rapal mantra wewe itu kembali
terngiang di telinganya, ”Kebaikan Mbok akan membawa bahagia, kejahatan Mbok
akan membawa bencana.”
Mbok Ginah mencoba tak
menghiraukan suara itu, dan ia terus menambahkan bubuk racun ke dalam adonan
dan mengaduknya semakin kuat.
Semakin keras ia
mencoba untuk tak menghiraukannya, semakin keras suara itu terdengar, ”Kebaikan
Mbok akan membawa bahagia, kejahatan Mbok akan membawa bencana.”
’Sreng… sreng… sreng,’
demikian bunyi klenyem beracun itu ketika dimasukkan Mbok Ginah ke dalam wajan
penggorengan yang berisi minyak mendidih. Akhirnya, lima klenyem ”istimewa” ini
matang dan ditata rapi di atas daun pisang yang dijadikan pembungkus.
”Nah, klenyem wewe ini akan kuberikan kepada orang
yang memang pantas menerimanya, yaitu si wewe
yang menjengkelkan itu. Pengganggu
pekerjaan orang lain harus memperoleh hukuman yang setimpal!” serunya
bersemangat kepada dirinya sendiri.
Mantap sekali tampilan
dan aroma klenyem wewe ini. Siapa pun
akan terbangkit seleranya untuk mencicipi camilan yang menggoda ini. Siapa pun
tak akan bisa menduga klenyem wewe
ini adalah klenyem maut. Dan siapa pun tak akan mengira bahwa Mbok Ginah yang
ramah dan santun itu bisa dan tega membuat hidangan seperti ini.
Akan tetapi tiba-tiba
saja seperti ada angin bertiup lembut masuk ke dapur, membawa suara rapal
mantra ke telinga Mbok Ginah, ” Kebaikan Mbok akan membawa bahagia, kejahatan
Mbok akan membawa bencana.” Suara itu terus menggetarkan gendang telinga Mbok
Ginah, membuat hatinya berdebar, dan benaknya dipenuhi dengan tanda tanya, ”Ada
apa ini?”
Beberapa
detik kemudian, Mbok Ginah berdiri tercenung, mulutnya mengeluarkan sebuah
teriakan, ”Astaga…! Apa yang sudah kulakukan? Ya, Tuhan, hamba-Mu mohon ampun
atas niat hamba-Mu yang hendak menghilangkan nyawa orang lain. Kenapa saya tega
membuat camilan beracun? Ampuni hamba-Mu ini,
ya Gusti yang Maha Pengampun, ampuni hamba-Mu yang tak punya hati nurani
ini!”
Mbok
Ginah duduk bersimpuh di dapur dan tangannya melemparkan bungkusan klenyem wewe itu ke dalam api tungku dapur yang
membara. Tampak kedua matanya berlinang air mata mengiringi terbakarnya klenyem
wewe itu sampai jadi abu.
***
Suatu sore, tiga hari
setelah peristiwa pemusnahan klenyem wewe
ke dalam kobaran api, Mbok Ginah tampak gelisah. Sejak kemarin ia gelisah menantikan
kedatangan Wati, anak gadis satu-satunya yang ia sayangi yang seharusnya sudah
datang dari dusun Pringlor.
Sebagai katup pelepas
rindu yang tak tertahankan lagi, Mbok Ginah
berbicara sendiri seolah sedang berhadapan dengan putri semata
wayangnya. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamunya yang sempit. Lalu duduk,
kemudian mondar-mandir lagi. Perilakunya menunjukkan betapa hatinya sedang
galau.
”Oh… alah…, Nduk,
Nduk! Aku sudah kangen banget, tetapi
kenapa kamu ndak datang-datang juga? Sekarang
’kan sudah libur panjang. Mudah-mudahan kamu dilindungi Gusti Allah. Berapa
lama lagi rinduku ini terobati?” keluh Mbok Ginah dengan hati nelangsa dan mata
berkaca-kaca.
Kira-kira
pukul setengah lima sore, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk seseorang dari
luar. Dengan sigap Mbok Ginah membukakan pintu. Tampak seorang gadis lusuh
dengan pakaian yang masih lembab dan rambut yang acak-acakan berdiri dengan
lutut gemetar di depan pintu.
Pecahlah
tangis Mbok Ginah dan suaranya bergetar dalam haru, ”Oh… alah, Nduk Wati…
kenapa kamu? Hatiku waswas ndak
karuan mikir dirimu.” Dan segera didekapnya
gadis itu erat-erat.
”Ma…
maafkan Wati, Mak! Wati terkena musibah banjir bandang di jembatan Kertosono,”
suara gadis itu bergetar dan terdengar lirih, kurang tenaga.
”Apa?
Banjir bandang? Terus …?”
Sambil
terisak, Wati menjawab perlahan, ”Wati … Wati … terseret arus deras, dan
akhirnya tersangkut di dahan pohon …”
”Lalu…?”
sergah Mbok Ginah.
”Wati
peluk kuat-kuat dahan pohon itu sampai keesokan harinya. Setelah banjir surut, Wati
coba… coba berjalan, tapi ndak kuat,
dan jatuh pingsan di jalan.”
”Lalu
…?” air mata Mbok Ginah semakin deras membasahi wajahnya.
“Setelah
Wati sadar, Wati melihat seorang perempuan gembel dengan rambut gimbal dan
wajah yang menyeramkan.”
”Perempuan
gembel dengan rambut gimbal, wajah menyeramkan?”
”Benar,
Mak! Wati ditolong oleh dia, diberi minum air dan dipersilakan makan klenyem
yang merupakan jatah makannya untuk hari itu. ’Makanlah, Nak semuanya, kamu lebih
memerlukannya daripada saya,’ katanya dengan suara parau.”
”Sebentar
… sebentar …,” suara Mbok Ginah tercekat. ”Klenyemnya dibungkus daun pisang,
dan jumlahnya lima?”
”Benar,
Mak. Dari mana Mak tahu?”
”Kamu
makan klenyemnya?” tukas Mbok Ginah cepat.
”Ya,
Mak. Wati habiskan semuanya, karena Wati sudah dua hari ndak makan. Rasanya
enak sekali seperti klenyem buatan Emak.”
”Duh
Gusti, si wewe itu sudah menolong
anakku! Ampuni segala dosaku, Gusti!”
”Mak,
dia bukan wewe, tetapi manusia!”
jelas Wati bingung melihat tingkah ibunya.
”Duh
Gusti, kalau saja hamba-Mu tak memusnahkan klenyem wewe itu, hamba-Mu ini sudah menjadi pembunuh darah dagingku
satu-satunya. Ampuni hamba-Mu, Gusti!”
”Mak,
Emak ndak bunuh siapa-siapa, Emak
adalah ibu yang baik.”
”Bukan. Emakmu bukan
ibu yang baik. Emakmu jahat dan berhati keji. Di hati Emakmu ada serigala buas-beringas
yang siap menerkam. Emakmu yang dipuji-puji Mas Karso sebagai pahlawan keluarga
itu ternyata nyaris jadi pembunuh anak sendiri. Julukan pahlawan itu terlalu
mulia bagi Emakmu,” ujar Mbok Ginah sambil terisak. ”Tapi, Emak batalkan niat
untuk meracuni si wewe … eh salah …
si perempuan malaikat itu, sehingga kau bisa pulang dengan selamat, Nduk! Emak
batalkan rencana jahat itu karena Emak mendengar rapal mantra saktinya.”
Wati melepaskan
kepalanya dari pelukan emaknya, tangannya mencoba menghapus linangan air mata
emaknya. Ujarnya dengan nada heran, ”Mak, Wati ndak ngerti dengan apa yang Emak katakan. Emak bilang perempuan itu
wewe, sekarang bilang dia itu
malaikat, lalu rapal mantra sakti segala.”
”Sudahlah, Nduk.
Pokoknya kamu sekarang sudah pulang dengan selamat. Hati Emak senang sekali. Oh
ya, malaikat penolongmu itu di mana sekarang?”
”Wati ndak tahu, Mak. Dia terus pergi begitu
saja setelah menolong Wati. Waktu Wati tanya namanya, dia cuma tersenyum
meringis dan ndak mau jawab.”
”Benar-benar mulia
hatinya, berlawanan dengan tampilannya yang lusuh dan kotor. Emak janji jika
dia mampir ke lapak lagi, Emak akan suguhi dia klenyem sekenyangnya; Emak akan
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, setinggi-tingginya, dan
sedalam-dalamnya,” ucap Mbok Ginah dengan mata berbinar-binar.
”Sudah, sekarang kamu
mandi dulu, setelah itu kita makan bareng pakai sayur lodeh kesukaanmu.”
”Iya, Mak.”
***
Sejak Wati pulang
liburan ke dusun Kebonkidul, perempuan gembel yang menjadi malaikat penolongnya
itu tidak pernah muncul lagi. Maksud Mbok Ginah untuk menyampaikan rasa terima
kasih dan menyuguhkan klenyem sampai kenyang kepada sang bintang penolong itu,
tak pernah kesampaian. Meski agak kecewa, Mbok Ginah merasa bersyukur karena
mendapatkan pelajaran yang berharga untuk tidak menilai seseorang dari tampilan
luarnya.
Memang hidup ini penuh
ironi. Yang tampilannya meyakinkan boleh jadi sebenarnya seorang penipu besar,
sementara yang tampilannya seperti orang melarat, bisa jadi berhati malaikat.
Yang jelas, pelajaran hidup yang berharga ini membawa perubahan pada diri Mbok
Ginah. Karena, sejak kepulangan Wati, ia jadi suka menyenandungkan rapal mantra
sakti dalam versinya sendiri: Kebaikanmu
’kan bawa bahagia, kejahatanmu ’kan bawa bencana. Karenanya, taburlah benih kebaikan, nanti kau ’kan tuai buah kebaikan
yang ranum-harum, segar, dan manis rasanya…
*****
Keterangan:
1)
gedhek
= anyaman bambu untuk dinding
2) kabeh
= semua
3) nrimo
ing pandum = menerima pembagian (dari Tuhan) dengan rela
4) sampeyan
=
Anda
5)
tampah
= wadah penganan, terbuat
dari anyaman bambu
6) matur nuwun =
terima kasih
7) wewe = makhluk mitos
penculik anak, istri genderuwo
8)
genderuwo = makhluk mitos, suami wewe
9) thek-sek = langsung
mati