Monday, July 25, 2022

Artikel bertema "Kesetaraan Gender Mendukung Keluarga Sehat: Pengalaman Kekerasan dalam Pacaran" ini telah memenangi Juara I dalam ajang kompetisi penulisan artikel. Terima kasih @yayasanjari. 

Soli Deo Gloria!

                                                              


Stop Ancaman Hantu Kekerasan Semasa Pacaran!

Oleh Budianto Sutrisno


wanita dijajah pria sejak dulu

dijadikan perhiasan sangkar madu

namun ada kala pria tak berdaya

tekuk lutut di sudut kerling wanita

Sayup-sayup lagu jadul Sabda Alam ciptaan Ismail Marzuki terdengar membuai telinga ketika penulis sedang merenungkan tindak kekerasan yang menghantui remaja perempuan semasa pacaran. Dalam perspektif kesetaraan gender, lirik lagu di atas menyiratkan bahwa sifat memandang rendah perempuan itu, sudah berlangsung sejak dulu. Boleh jadi hal ini merupakan efek samping dari dominasi budaya patriarki di dalam kehidupan masyarakat. Situasi semakin runyam jika ditambah dengan stereotip gender yang menganggap tugas perempuan hanyalah masak, macak, dan manak (memasak, berhias diri, dan melahirkan anak). 

Data memprihatinkan

            Sebagian besar masyarakat mungkin belum menyadari bahwa banyak perempuan mengalami tindak kekerasan. Menurut data WHO pada 2010, 1 di antara 3 perempuan di dunia ini mengalami tindak kekerasan fisik maupun seksual. Keadaan di negara maju juga parah: seperempat dari populasi perempuan mengalami tindak kekerasan.

            Sementara itu, data tindak kekerasan yang dialami perempuan di kawasan Asia dan Afrika mencapai 37%. Sebuah angka yang sangat memprihatinkan. Jika dibiarkan berlarut-larut, keadaan ini bisa menjadi hambatan bagi kaum perempuan untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa.

            Pada hakikatnya, terdapat beberapa jenis tindak kekerasan yang dialami perempuan, yakni kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional/psikologis, kekerasan ekonomi, dan kekerasan pembatasan aktivitas. Dari berbagai jenis tindak kekerasan tersebut, kekerasan seksual – terutama pada remaja semasa pacaran – sering terjadi. Persentasenya mencapai 38 %.

            Sedangkan dari dalam negeri, hasil survei kerja sama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA)  dan  Badan Pusat Statistik

(BPS) membuat hati miris.

Betapa tidak! Ternyata tindak kekerasan fisik maupun seksual yang dialami oleh perempuan Indonesia yang belum menikah itu mencapai 42,7 %, didominasi oleh tindak kekerasan seksual. Ditengarai tindak kekerasan itu dilakukan baik oleh orang-orang terdekat seperti pacar, teman, rekan kerja, tetangga, dan orang yang tak dikenal oleh korban.

            Data lebih lanjut menunjukkan bahwa 2.090 dari 10.847 pelaku tindak kekerasan itu adalah pacar/teman si korban. Tindak kekerasan seolah sudah menjadi hantu yang menakutkan bagi remaja perempuan semasa pacaran. Harus segera dihentikan!

            Tindak kekerasan semasa pacaran atau dating violence ini merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan yang belum terikat dalam pernikahan. Angka kasus dating violence menduduki peringkat kedua setelah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).. Namun demikian, kasus dating violence ini sering diabaikan, baik oleh pelaku maupun korban. Mungkin karena faktor malu atau aib bila kasus dibawa ke ranah pengadilan.

            Kekerasan fisik dalam dating violence antara lain berupa menampar, memukul, mendorong, menendang, dan mencengkeram keras tubuh korban..

            Sedangkan kekerasan seksual dapat berupa tindakan memeluk, mencium, meraba, dan memaksa melakukan hubungan seksual di bawah ancaman.

            Kekerasan berikutnya adalah kekerasan emosional/psikologis. Kekerasan ini dapat berwujud tindakan mengancam, memanggil pasangan dengan sebutan yang mempermalukan, menjelek-jelekkan korban, dan bentuk pelecehan lainnya.

            Sementara itu, kekerasan ekonomi dapat berupa permintaan pasangan terhadap korban untuk memenuhi segala keperluan hidupnya. Jadi ini sebenarnya adalah tindak pemerasan atau pengurasan harta dengan kedok cinta.

            Jenis kekerasan terakhir adalah kekerasan pembatasan aktivitas. Hal ini dapat berupa tindakan pasangan yang terlalu posesif, mengekang, selalu curiga, mudah marah, suka mengancam, dan mengatur apa pun yang dilakukan korban. Anehnya, korban justru sering menganggap hal tersebut sebagai bentuk kepedulian dan rasa sayang dari pasangan.

Tak mengherankan bila perkembangan fenomena ini selanjutnya melahirkan pameo sindiran, yakni ”bila cinta sudah melekat, segalanya terasa nikmat seperti cokelat.” 

Faktor penyebab

            Jika ditelaah, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan semasa pacaran. Menurut hemat penulis, faktor penyebab ini terbagi dalam dua bagian, yakni faktor penyebab dari pihak pria pelaku tindak kekerasan dan faktor penyebab dari perempuan yang menjadi korban kekerasan.

            Faktor penyebab pada pria itu antara lain: tingkat pendidikan yang relatif rendah, masih melekatnya budaya patriarki, kebiasaan mengonsumsi narkoba dan minuman keras, ketidakmampuan mengontrol emosi, perselingkuhan, pengangguran, pola asuh yang akrab dengan kekerasan di masa kecil, efek salah pergaulan, dan efek paparan film/media massa yang menonjolkan kekerasan.

            Sedangkan faktor penyebab pada perempuan, antara lain: sikap pendirian yang lemah, rasa kurang percaya diri, terlalu mencintai pasangannya (cinta buta), sifat mudah memaafkan meskipun pasangannya telah melakukan kekerasan berulang kali, apalagi jika pasangan pandai mengobral janji manis (yang palsu) untuk tidak mengulang perbuatan negatifnya.

            Sudah pasti, kekerasan semasa pacaran itu perlu diberantas tuntas. Dampak negatifnya bagi korban antara lain berupa gangguan kesehatan fisik dan psikis. Perempuan korban kekerasan seksual memiliki risiko keluhan kesehatan 1,5 kali lebih banyak ketimbang perempuan normal.

            Dampak fisik antara lain bisa berupa memar, luka, patah tulang, dan cacat permanen. Sementara dampak psikologisnya berupa sakit hati, kehilangan harga diri, rasa malu dan terhina, menyalahkan diri sendiri, takut pada bayangan kekerasan (trauma), bingung, cemas, tidak percaya pada diri sendiri serta orang lain, depresi, dan yang paling fatal: keinginan untuk melakukan bunuh diri.

Upaya pencegahan

            Mengingat dampak tindak kekerasan yang sangat merugikan, maka upaya pencegahan menjadi prioritas utama. Pada remaja putra, pencegahan dapat dimulai lewat pendidikan dalam keluarga. Remaja putra perlu dibekali dengan keteladanan hidup yang penuh kasih sayang. Orang tua perlu menyediakan buku bacaan yang sehat dan menjauhkan putranya dari paparan film serta media yang menonjolkan tindak kekerasan dan pornografi. Energi mereka perlu disalurkan lewat kegiatan hobi dan olahraga yang sesuai dengan bakat mereka. Di samping itu, pendidikan budi pekerti dan penjelasan tentang kesetaraan gender perlu digalakkan, terutama di jenjang SMP dan SMA.

            Pada remaja putri, pencegahan dapat diberikan juga lewat pendidikan dalam keluarga dan sekolah. Kepada mereka perlu diajarkan rasa percaya diri, norma-norma agama dan etika kehidupan yang baik sehingga mereka tidak terjerumus dalam pergaulan yang salah. Mereka perlu mengenal lebih jauh pasangannya sebelum berlanjut ke tahap pacaran. Dan bilamana perlu, remaja putri dapat diperlengkapi dengan ilmu bela diri. Hantu kekeraan fisik dan seksual dipastikan terkapar oleh pukulan karate atau tendangan taekwondo.

            Pencegahan secara umum telah dilakukan oleh pemerintah lewat penetapan peraturan perundang-undangan untuk mempersempit peluang terjadinya tindak kekerasan melalui pencanangan program ”Three Ends”, yakni Akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak; Akhiri perdagangan manusia; dan Akhiri kesenjangan ekonomi bagi perempuan.

            Namun slogan akan tetap akan menjadi slogan, bila tidak disertai kesadaran dan implementasi program yang baik. Penulis percaya, kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat akan menjadi benteng pertahanan yang kukuh terhadap ancaman hantu tindak kekerasan semasa pacaran.

 

*****





No comments:

Post a Comment