Artikel bertema "Kesetaraan Gender Mendukung Keluarga Sehat: Pengalaman Kekerasan dalam Pacaran" ini telah memenangi Juara I dalam ajang kompetisi penulisan artikel. Terima kasih @yayasanjari.
Soli Deo Gloria!
Stop
Ancaman Hantu Kekerasan Semasa Pacaran!
Oleh Budianto Sutrisno
…
wanita
dijajah pria sejak dulu
dijadikan
perhiasan sangkar madu
namun
ada kala pria tak berdaya
tekuk
lutut di sudut kerling wanita
…
Sayup-sayup lagu jadul Sabda Alam ciptaan Ismail Marzuki terdengar membuai telinga ketika penulis sedang merenungkan tindak kekerasan yang menghantui remaja perempuan semasa pacaran. Dalam perspektif kesetaraan gender, lirik lagu di atas menyiratkan bahwa sifat memandang rendah perempuan itu, sudah berlangsung sejak dulu. Boleh jadi hal ini merupakan efek samping dari dominasi budaya patriarki di dalam kehidupan masyarakat. Situasi semakin runyam jika ditambah dengan stereotip gender yang menganggap tugas perempuan hanyalah masak, macak, dan manak (memasak, berhias diri, dan melahirkan anak).
Data
memprihatinkan
Sebagian besar
masyarakat mungkin belum menyadari bahwa banyak perempuan mengalami tindak
kekerasan. Menurut data WHO pada 2010, 1 di antara 3 perempuan di dunia ini
mengalami tindak kekerasan fisik maupun seksual. Keadaan di negara maju juga
parah: seperempat dari populasi perempuan mengalami tindak kekerasan.
Sementara
itu, data tindak kekerasan yang dialami perempuan di kawasan Asia dan Afrika mencapai
37%. Sebuah angka yang sangat memprihatinkan. Jika dibiarkan berlarut-larut, keadaan
ini bisa menjadi hambatan bagi kaum perempuan untuk berperan serta dalam
pembangunan bangsa.
Pada
hakikatnya, terdapat beberapa jenis tindak kekerasan yang dialami perempuan,
yakni kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional/psikologis,
kekerasan ekonomi, dan kekerasan pembatasan aktivitas. Dari berbagai jenis
tindak kekerasan tersebut, kekerasan seksual – terutama pada remaja semasa
pacaran – sering terjadi. Persentasenya mencapai 38 %.
Sedangkan
dari dalam negeri, hasil survei kerja sama antara Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan Badan Pusat Statistik
(BPS) membuat hati miris.
Betapa tidak! Ternyata
tindak kekerasan fisik maupun seksual yang dialami oleh perempuan Indonesia yang
belum menikah itu mencapai 42,7 %, didominasi oleh tindak kekerasan seksual. Ditengarai
tindak kekerasan itu dilakukan baik oleh orang-orang terdekat seperti pacar,
teman, rekan kerja, tetangga, dan orang yang tak dikenal oleh korban.
Data
lebih lanjut menunjukkan bahwa 2.090 dari 10.847 pelaku tindak kekerasan itu
adalah pacar/teman si korban. Tindak kekerasan seolah sudah menjadi hantu yang
menakutkan bagi remaja perempuan semasa pacaran. Harus segera dihentikan!
Tindak
kekerasan semasa pacaran atau dating
violence ini merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan yang belum
terikat dalam pernikahan. Angka kasus dating
violence menduduki peringkat kedua setelah kasus kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT).. Namun demikian, kasus dating
violence ini sering diabaikan, baik oleh pelaku maupun korban. Mungkin karena
faktor malu atau aib bila kasus dibawa ke ranah pengadilan.
Kekerasan fisik dalam
dating violence antara lain berupa
menampar, memukul, mendorong, menendang, dan mencengkeram keras tubuh korban..
Sedangkan
kekerasan seksual dapat berupa tindakan memeluk, mencium, meraba, dan memaksa
melakukan hubungan seksual di bawah ancaman.
Kekerasan
berikutnya adalah kekerasan emosional/psikologis. Kekerasan ini dapat berwujud
tindakan mengancam, memanggil pasangan dengan sebutan yang mempermalukan,
menjelek-jelekkan korban, dan bentuk pelecehan lainnya.
Sementara
itu, kekerasan ekonomi dapat berupa permintaan pasangan terhadap korban untuk
memenuhi segala keperluan hidupnya. Jadi ini sebenarnya adalah tindak pemerasan
atau pengurasan harta dengan kedok cinta.
Jenis
kekerasan terakhir adalah kekerasan pembatasan aktivitas. Hal ini dapat berupa
tindakan pasangan yang terlalu posesif, mengekang, selalu curiga, mudah marah,
suka mengancam, dan mengatur apa pun yang dilakukan korban. Anehnya, korban
justru sering menganggap hal tersebut sebagai bentuk kepedulian dan rasa sayang
dari pasangan.
Tak mengherankan bila perkembangan fenomena ini selanjutnya melahirkan pameo sindiran, yakni ”bila cinta sudah melekat, segalanya terasa nikmat seperti cokelat.”
Faktor
penyebab
Jika
ditelaah, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan semasa
pacaran. Menurut hemat penulis, faktor penyebab ini terbagi dalam dua bagian,
yakni faktor penyebab dari pihak pria pelaku tindak kekerasan dan faktor
penyebab dari perempuan yang menjadi korban kekerasan.
Faktor
penyebab pada pria itu antara lain: tingkat pendidikan yang relatif rendah,
masih melekatnya budaya patriarki, kebiasaan mengonsumsi narkoba dan minuman
keras, ketidakmampuan mengontrol emosi, perselingkuhan, pengangguran, pola asuh
yang akrab dengan kekerasan di masa kecil, efek salah pergaulan, dan efek paparan
film/media massa yang menonjolkan kekerasan.
Sedangkan
faktor penyebab pada perempuan, antara lain: sikap pendirian yang lemah, rasa
kurang percaya diri, terlalu mencintai pasangannya (cinta buta), sifat mudah
memaafkan meskipun pasangannya telah melakukan kekerasan berulang kali, apalagi
jika pasangan pandai mengobral janji manis (yang palsu) untuk tidak mengulang
perbuatan negatifnya.
Sudah
pasti, kekerasan semasa pacaran itu perlu diberantas tuntas. Dampak negatifnya bagi
korban antara lain berupa gangguan kesehatan fisik dan psikis. Perempuan korban
kekerasan seksual memiliki risiko keluhan kesehatan 1,5 kali lebih banyak
ketimbang perempuan normal.
Dampak fisik antara lain bisa berupa memar, luka, patah tulang, dan cacat permanen. Sementara dampak psikologisnya berupa sakit hati, kehilangan harga diri, rasa malu dan terhina, menyalahkan diri sendiri, takut pada bayangan kekerasan (trauma), bingung, cemas, tidak percaya pada diri sendiri serta orang lain, depresi, dan yang paling fatal: keinginan untuk melakukan bunuh diri.
Upaya
pencegahan
Mengingat dampak
tindak kekerasan yang sangat merugikan, maka upaya pencegahan menjadi prioritas
utama. Pada remaja putra, pencegahan dapat dimulai lewat pendidikan dalam
keluarga. Remaja putra perlu dibekali dengan keteladanan hidup yang penuh kasih
sayang. Orang tua perlu menyediakan buku bacaan yang sehat dan menjauhkan
putranya dari paparan film serta media yang menonjolkan tindak kekerasan dan
pornografi. Energi mereka perlu disalurkan lewat kegiatan hobi dan olahraga
yang sesuai dengan bakat mereka. Di samping itu, pendidikan budi pekerti dan
penjelasan tentang kesetaraan gender perlu digalakkan, terutama di jenjang SMP
dan SMA.
Pada
remaja putri, pencegahan dapat diberikan juga lewat pendidikan dalam keluarga
dan sekolah. Kepada mereka perlu diajarkan rasa percaya diri, norma-norma agama
dan etika kehidupan yang baik sehingga mereka tidak terjerumus dalam pergaulan
yang salah. Mereka perlu mengenal lebih jauh pasangannya sebelum berlanjut ke
tahap pacaran. Dan bilamana perlu, remaja putri dapat diperlengkapi dengan ilmu
bela diri. Hantu kekeraan fisik dan seksual dipastikan terkapar oleh pukulan
karate atau tendangan taekwondo.
Pencegahan
secara umum telah dilakukan oleh pemerintah lewat penetapan peraturan
perundang-undangan untuk mempersempit peluang terjadinya tindak kekerasan
melalui pencanangan program ”Three Ends”,
yakni Akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak; Akhiri perdagangan manusia;
dan Akhiri kesenjangan ekonomi bagi perempuan.
Namun
slogan akan tetap akan menjadi slogan, bila tidak disertai kesadaran dan
implementasi program yang baik. Penulis percaya, kerja sama yang baik antara pemerintah
dan masyarakat akan menjadi benteng pertahanan yang kukuh terhadap ancaman
hantu tindak kekerasan semasa pacaran.
*****