Friday, April 26, 2019

Tut Wuri Handayani sambil Terengah

Esai berjudul "Tut Wuri Handayani sambil Terengah" di bawah ini telah dipilih oleh Dewan Juri dalam kompetisi esai bertopik "Pendidikan Karakter ala 
Ki Hadjar Dewantara" sebagai Juara Harapan I.
Kompetisi diselenggarakan oleh Literasi Anak Bangsa.
Soli Deo Gloria!


           Tut Wuri Handayani sambil Terengah

Oleh Budianto Sutrisno



            Berbicara tentang pendidikan di Indonesia, tak mungkin terlepas dari sosok Ki Hadjar Dewantara – Bapak Pendidikan Nasional. Beliaulah yang meletakkan dasar-dasar filosofis pendidikan yang terus kita kembangkan dan revitalisasi sampai hari ini.
              Kiprahnya dimulai sebagai jurnalis di sejumlah surat kabar. Sosok penuh gagasan kreatif ini bernama asli R.M. Suwardisuryaningrat. Beliau bersama dengan EFE Douwes Dekker mengelola surat kabar De Expres. Di samping itu, beliau juga aktif menjadi pengurus Boedi Oetomo dan Sarikat Islam. Selanjutnya,bersama dengan Tjipto Mangun Kusumo dan EFE Douwes Dekker – yang dikenal sebagai ”Tiga Serangkai” – beliau mendirikan Indische Partij, organisasi politik pertama di Indonesia, dengan tujuan utama menuntut Indonesia merdeka. Di zaman penjajahan Jepang, aktivitasnya dilanjutkan dengan memimpin organisasi Putera, bersama dengan Soekarno, Hatta, dan Mas Mansur.         Keempat tokoh ini dikenal dengan julukan ”Empat Serangkai”. Tidaklah mengherankan bila setelah Indonesia meraih kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara yang penuh dengan ide-ide cemerlang ini diangkat menjadi Menteri Pengajaran Pertama.


Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara
            Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak.Tujuannya adalah untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak tersebut agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan secara maksimal.
            Salah satu konsep pendidikan yang digagas oleh beliau adalah konsep ”Belajar 3 Dinding”. Ki Hadjar Dewantara menyarankan agar ruang kelas itu dibangun hanya dengan 3 dinding saja. Ada satu sisi ruang kelas yang dibiarkan terbuka. Konsep ini menegaskan bahwa tidak ada batas atau jarak antara pengajaran di dalam kelas dan realitas di luar.
            Di zaman sekarang di mana kelas-kelas di sebagian sekolah itu dilengkapi perangkat pendingin udara, tentu saja hal ini tak bisa diterapkan seara harfiah. Akan tetapi, substansinya bisa diterapkan dengan baik. Misalnya, dengan belajar mengenal realitas di kebun, hutan kota, museum, perpustakaan, dan sebagainya. Intinya: terdapat interaksi langsung antara siswa dan lingkungan sekitarnya. Siswa aktif berlatih untuk mengamati, mempelajari, dan menyimpulkan apa yang dijumpainya di bawah bimbingan guru. Apa yang dipelajari di dalam kelas diterapkan secara nyata di lingkungan sekitar. Jadi, belajar bukan hanya sekadar di dalam kelas dan menghafal apa yang tertulis di buku. Itu sebabnya, dalam perkembangan selanjutnya, kita di zaman sekarang mengenal apa yang disebut sebagai karya wisata atau studi observasi.
            Di samping konsep ”Belajar 3 Dinding”, Ki Hadjar Dewantara juga terkenal dengan semboyan filosofisnya ”Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani” (Di depan memberikan teladan, di tengah menggugah kehendak, di belakang memberikan dorongan). Semboyan filosofis ini sudah didengungkan sejak berdirinya Taman Siswa. Bahkan sampai sekarang, tut wuri handayani dipakai sebagai semboyan filosofis pendidikan Indonesia yang selalu menempel pada setiap baju seragam peserta didik.
            Secara singkat, filosofi pendidikan Ki Hadjar dapat digambarkan dalam frasa ”konstruktifis experiensial” (rancang bangun pengalaman). Artinya, aktivitas belajar yang paling hakiki adalah dengan mengalami suatu hal secara langsung. Ketika para siswa belajar ilmu pengetahuan alam, misalnya, kepada mereka perlu dipaparkan secara langsung fenomena yang sedang dipelajari. Jadi bukan sekadar berteori dari buku, Hal ini juga diterapkan pada mata pelajaran yang lain, seperti sosial-humaniora, matematika, bahasa, dan seni budaya.
            Berbagai pengalaman langsung yang dialami peserta didik itu akan terjalin menjadi suatu rancang bangun pengetahuan atau pemahaman.
            Berkaitan dengan hal ini, ranah seni budaya dapat menjadi senjata utama pendidikan yang sangat ampuh. Loh, kok bisa?
            Pada hakikatnya, setiap siswa itu menikmati kegiatan seni budaya yang menyenangkan dan menghibur. Jika pengalaman itu merupakan pintu gerbang utama siswa untuk menyerap pengetahuan, maka seni budaya yang menyenangkan dan menghibur itu akan menjadi jalan mulus menuju pintu gerbang tersebut. Siswa dengan penuh perasaan gembira, bahagia, dan lega akan mampu menyerap pengetahuan baru dengan baik.
            Guru mata pelajaran seni budaya perlu memahami peran pentingnya dalam menyiapkan jalan mulus bagi siswa untuk menuju kepada pintu gerbang penyerapan pengetahuan. Sudahkah peran dan tugas penting ini dilaksanakan secara proporsional?

Pendidikan karakter
            Bagi Ki Hadjar, pendidikan karakter atau budi pekerti merupakan inti dari pendidikan. Menurut beliau, pendidikan harus mampu menumbuhkan karakter pada diri peserta didik. Kecerdasan memang diperlukan, tetapi karakter lebih diperlukan. Kecerdasan tanpa diimbangi dengan karakter yang baik, hanya akan menjerumuskan kehidupan peserta didik itu ke jurang kepicikan.
            Pertanyaannya, apakah pendidikan karakter ini mesti diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri? Masih menurut Ki Hadjar, pendidikan karakter ini bisa diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain. Di bagian inilah, menurut hemat penulis, terlihat kelemahan pengintegrasian pendidikan karakter di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006) maupun Kurikulum 2013 (Kurtilas). Pendidikan karakter di kurikulum ini masih bersifat tempelan, kurang mengakar, cenderung bersifat kognitif, belum bersifat aplikatif dengan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Peran guru sebagai tokoh suri teladan sangatlah penting. Perilaku guru dalam disiplin dan kejujuran, misalnya, akan meresap dalam sanubari peserta didik dan cenderung ditiru oleh mereka yang sedang berada dalam rentang usia berlangsungnya proses pencarian jati diri.
            Kurang mengakarnya pendidikan karakter ini juga disebabkan oleh kurang atau tidak terintegrasinya pendidikan di sekolah dengan pendidikan di rumah. Pendidikan di rumah harus sinkron dengan pendidikan di sekolah. Orang tua peserta didik harus dapat bekerja sama dengan pihak sekolah dalam memberikan pendidikan yang terbaik. Kita perlu mengingat, bahwa waktu yang dilewatkan peserta didik di rumah itu lebih panjang ketimbang waktu yang digunakan untuk belajar di sekolah. Dengan demikian, peran dan tanggung jawab orang tua peserta didik sangatlah penting.
            Di samping itu, pelaksanaan kurikulum yang berlaku saat ini sangat menyita waktu guru untuk melakukan pekerjaan administratif. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sistem pendidikan sekarang ini hanya berjalan untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme. Hanya berfokus pada tujuan ekonomi, sehingga mematikan pola-pola pikir kritis dalam setiap individu. Melenceng dari tujuan hakiki untuk memanusiakan manusia..
Sudah waktunya kurikulum yang belaku saat ini untuk diganti dengan yang lebih tepat guna, sehingga guru dapat lebih berkonsentrasi dalam mempersiapkan diri untuk meningkatkan kualitas mengajar dan melaksanakan pendidikan karakter secara lebih intens.
            Beban berat tugas administratif guru ini masih ditambah dengan problem baru, yakni kebergantungan anak muda di zaman now pada perangkat gawai yang menjadi kendala mereka untuk belajar. Hal ini membuat guru berjuang keras untuk melaksanakan tut wuri handayani, meski sambil terengah.
Semoga guru tak kehabisan napas di tengah perjalanan melaksanakan tugas mulia mendidik anak bangsa.

***


No comments:

Post a Comment