Esai berjudul "Tut Wuri Handayani sambil Terengah" di bawah ini telah dipilih oleh Dewan Juri dalam kompetisi esai bertopik "Pendidikan Karakter ala
Ki Hadjar Dewantara" sebagai Juara Harapan I.
Ki Hadjar Dewantara" sebagai Juara Harapan I.
Kompetisi diselenggarakan oleh Literasi Anak Bangsa.
Soli Deo Gloria!
Tut Wuri Handayani sambil Terengah
Oleh Budianto Sutrisno
Berbicara tentang pendidikan di
Indonesia, tak mungkin terlepas dari sosok Ki Hadjar Dewantara – Bapak
Pendidikan Nasional. Beliaulah yang meletakkan dasar-dasar filosofis pendidikan
yang terus kita kembangkan dan revitalisasi sampai hari ini.
Kiprahnya dimulai sebagai jurnalis di sejumlah surat kabar. Sosok penuh gagasan kreatif ini bernama asli R.M. Suwardisuryaningrat. Beliau bersama dengan EFE Douwes Dekker mengelola surat kabar De Expres. Di samping itu, beliau juga aktif menjadi pengurus Boedi Oetomo dan Sarikat Islam. Selanjutnya,bersama dengan Tjipto Mangun Kusumo dan EFE Douwes Dekker – yang dikenal sebagai ”Tiga Serangkai” – beliau mendirikan Indische Partij, organisasi politik pertama di Indonesia, dengan tujuan utama menuntut Indonesia merdeka. Di zaman penjajahan Jepang, aktivitasnya dilanjutkan dengan memimpin organisasi Putera, bersama dengan Soekarno, Hatta, dan Mas Mansur. Keempat tokoh ini dikenal dengan julukan ”Empat Serangkai”. Tidaklah mengherankan bila setelah Indonesia meraih kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara yang penuh dengan ide-ide cemerlang ini diangkat menjadi Menteri Pengajaran Pertama.
Kiprahnya dimulai sebagai jurnalis di sejumlah surat kabar. Sosok penuh gagasan kreatif ini bernama asli R.M. Suwardisuryaningrat. Beliau bersama dengan EFE Douwes Dekker mengelola surat kabar De Expres. Di samping itu, beliau juga aktif menjadi pengurus Boedi Oetomo dan Sarikat Islam. Selanjutnya,bersama dengan Tjipto Mangun Kusumo dan EFE Douwes Dekker – yang dikenal sebagai ”Tiga Serangkai” – beliau mendirikan Indische Partij, organisasi politik pertama di Indonesia, dengan tujuan utama menuntut Indonesia merdeka. Di zaman penjajahan Jepang, aktivitasnya dilanjutkan dengan memimpin organisasi Putera, bersama dengan Soekarno, Hatta, dan Mas Mansur. Keempat tokoh ini dikenal dengan julukan ”Empat Serangkai”. Tidaklah mengherankan bila setelah Indonesia meraih kemerdekaan, Ki Hadjar Dewantara yang penuh dengan ide-ide cemerlang ini diangkat menjadi Menteri Pengajaran Pertama.
Konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Ki
Hadjar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan adalah tuntunan dalam hidup
tumbuhnya anak-anak.Tujuannya adalah untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang
ada pada anak-anak tersebut agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan secara maksimal.
Salah
satu konsep pendidikan yang digagas oleh beliau adalah konsep ”Belajar 3
Dinding”. Ki Hadjar Dewantara menyarankan agar ruang kelas itu dibangun hanya
dengan 3 dinding saja. Ada satu sisi ruang kelas yang dibiarkan terbuka. Konsep
ini menegaskan bahwa tidak ada batas atau jarak antara pengajaran di dalam
kelas dan realitas di luar.
Di
zaman sekarang di mana kelas-kelas di sebagian sekolah itu dilengkapi perangkat
pendingin udara, tentu saja hal ini tak bisa diterapkan seara harfiah. Akan
tetapi, substansinya bisa diterapkan dengan baik. Misalnya, dengan belajar mengenal
realitas di kebun, hutan kota, museum, perpustakaan, dan sebagainya. Intinya: terdapat
interaksi langsung antara siswa dan lingkungan sekitarnya. Siswa aktif berlatih
untuk mengamati, mempelajari, dan menyimpulkan apa yang dijumpainya di bawah
bimbingan guru. Apa yang dipelajari di dalam kelas diterapkan secara nyata di lingkungan
sekitar. Jadi, belajar bukan hanya sekadar di dalam kelas dan menghafal apa
yang tertulis di buku. Itu sebabnya, dalam perkembangan selanjutnya, kita di
zaman sekarang mengenal apa yang disebut sebagai karya wisata atau studi
observasi.
Di
samping konsep ”Belajar 3 Dinding”, Ki Hadjar Dewantara juga terkenal dengan
semboyan filosofisnya ”Ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani” (Di depan memberikan
teladan, di tengah menggugah kehendak, di belakang memberikan dorongan).
Semboyan filosofis ini sudah didengungkan sejak berdirinya Taman Siswa. Bahkan
sampai sekarang, tut wuri handayani
dipakai sebagai semboyan filosofis pendidikan Indonesia yang selalu menempel
pada setiap baju seragam peserta didik.
Secara
singkat, filosofi pendidikan Ki Hadjar dapat digambarkan dalam frasa
”konstruktifis experiensial” (rancang bangun pengalaman). Artinya, aktivitas
belajar yang paling hakiki adalah dengan mengalami suatu hal secara langsung.
Ketika para siswa belajar ilmu pengetahuan alam, misalnya, kepada mereka perlu
dipaparkan secara langsung fenomena yang sedang dipelajari. Jadi bukan sekadar
berteori dari buku, Hal ini juga diterapkan pada mata pelajaran yang lain,
seperti sosial-humaniora, matematika, bahasa, dan seni budaya.
Berbagai
pengalaman langsung yang dialami peserta didik itu akan terjalin menjadi suatu
rancang bangun pengetahuan atau pemahaman.
Berkaitan
dengan hal ini, ranah seni budaya dapat menjadi senjata utama pendidikan yang
sangat ampuh. Loh, kok bisa?
Pada
hakikatnya, setiap siswa itu menikmati kegiatan seni budaya yang menyenangkan
dan menghibur. Jika pengalaman itu merupakan pintu gerbang utama siswa untuk
menyerap pengetahuan, maka seni budaya yang menyenangkan dan menghibur itu akan
menjadi jalan mulus menuju pintu gerbang tersebut. Siswa dengan penuh perasaan
gembira, bahagia, dan lega akan mampu menyerap pengetahuan baru dengan baik.
Guru
mata pelajaran seni budaya perlu memahami peran pentingnya dalam menyiapkan
jalan mulus bagi siswa untuk menuju kepada pintu gerbang penyerapan
pengetahuan. Sudahkah peran dan tugas penting ini dilaksanakan secara
proporsional?
Pendidikan
karakter
Bagi
Ki Hadjar, pendidikan karakter atau budi pekerti merupakan inti dari
pendidikan. Menurut beliau, pendidikan harus mampu menumbuhkan karakter pada
diri peserta didik. Kecerdasan memang diperlukan, tetapi karakter lebih
diperlukan. Kecerdasan tanpa diimbangi dengan karakter yang baik, hanya akan
menjerumuskan kehidupan peserta didik itu ke jurang kepicikan.
Pertanyaannya,
apakah pendidikan karakter ini mesti diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri?
Masih menurut Ki Hadjar, pendidikan karakter ini bisa diintegrasikan dengan
mata pelajaran yang lain. Di bagian inilah, menurut hemat penulis, terlihat
kelemahan pengintegrasian pendidikan karakter di dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP, 2006) maupun Kurikulum 2013 (Kurtilas). Pendidikan karakter di
kurikulum ini masih bersifat tempelan, kurang mengakar, cenderung bersifat
kognitif, belum bersifat aplikatif dengan contoh nyata dalam kehidupan
sehari-hari. Peran guru sebagai tokoh suri teladan sangatlah penting. Perilaku
guru dalam disiplin dan kejujuran, misalnya, akan meresap dalam sanubari
peserta didik dan cenderung ditiru oleh mereka yang sedang berada dalam rentang
usia berlangsungnya proses pencarian jati diri.
Kurang
mengakarnya pendidikan karakter ini juga disebabkan oleh kurang atau tidak
terintegrasinya pendidikan di sekolah dengan pendidikan di rumah. Pendidikan di
rumah harus sinkron dengan pendidikan di sekolah. Orang tua peserta didik harus
dapat bekerja sama dengan pihak sekolah dalam memberikan pendidikan yang
terbaik. Kita perlu mengingat, bahwa waktu yang dilewatkan peserta didik di
rumah itu lebih panjang ketimbang waktu yang digunakan untuk belajar di
sekolah. Dengan demikian, peran dan tanggung jawab orang tua peserta didik
sangatlah penting.
Di
samping itu, pelaksanaan kurikulum yang berlaku saat ini sangat menyita waktu
guru untuk melakukan pekerjaan administratif. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
sistem pendidikan sekarang ini hanya berjalan untuk memenuhi kebutuhan
kapitalisme. Hanya berfokus pada tujuan ekonomi, sehingga mematikan pola-pola
pikir kritis dalam setiap individu. Melenceng dari tujuan hakiki untuk
memanusiakan manusia..
Sudah waktunya
kurikulum yang belaku saat ini untuk diganti dengan yang lebih tepat guna,
sehingga guru dapat lebih berkonsentrasi dalam mempersiapkan diri untuk meningkatkan
kualitas mengajar dan melaksanakan pendidikan karakter secara lebih intens.
Beban
berat tugas administratif guru ini masih ditambah dengan problem baru, yakni
kebergantungan anak muda di zaman now
pada perangkat gawai yang menjadi kendala mereka untuk belajar. Hal ini membuat
guru berjuang keras untuk melaksanakan tut
wuri handayani, meski sambil terengah.
Semoga guru tak kehabisan
napas di tengah perjalanan melaksanakan tugas mulia mendidik anak bangsa.
***