Monday, February 26, 2018

Menggapai Mimpi di Bahu Rembulan

Masalah benang ruwet dalam dunia pendidikan, penulis tuangkan dalam puisi yang bertajuk
"Menggapai Mimpi di Bahu Rembulan". Ada aroma satiristis di dalamnya, karena penulis
sulit untuk menghindarinya. Satiristis tak selalu bernuansa pesimistis; tetapi juga
terdapat kelindan benang optimisme menuju ke hari depan.
Puisi ini telah terpilih sebagai Juara III dalam lomba cipta puisi yang diselenggarakan oleh 
Jendela Sastra Indonesia.
Soli Deo Gloria!

Menggapai Mimpi di Bahu Rembulan

Oleh Budianto Sutrisno


       Ananda, kau bilang kau gantungkan mimpimu di bahu rembulan
              tapi tanpa kutahu sebabnya, kau mendadak berubah
       dulu kau lumba-lumba lincah
       kini lunglai tanpa gairah
       pernah kaukejar pendidikan dengan mata berbinar
       tapi entah kenapa
       usai sekolah wajahmu selalu kuyu sayu
       rupanya pendidikan dan sekolah jadi pelakon drama abadi
       bawakan peran siang yang tak pernah berjumpa dengan malam
       apalagi mesra dalam peluk dan kecup

       Ananda, gairah lumba-lumbamu mendadak padam
              seiring kurikulum yang datang-pergi silih berganti
       yang satu belum dikuasai, muncul yang lain lagi
       guru lebih sibuk geluti tugas administrasi
       ketimbang membimbing para siswa
       semua demi berhala yang disebut akreditasi
       siapa berani mengabaikannya?
       belum lagi luap hasrat jadi guru bersertifikat
       iming-iming tunjangan itu terlalu sayang ’tuk dilewatkan
       asap dapur harus terus mengepul, bukan?
       dan umar bakri ’kan lebih bergengsi dengan kendaraan kreditan
       lebih parah lagi, tunjangan dijadikan modal untuk kawin lagi
       roda zaman now t’lah menggilas zaman old tanpa belas

       Ananda, kau bilang di kelas kau hanya duduk, diam, dengar, dan ulangan
       hanya sekadar ikuti jejak anggota DPR
       di rumah, sekali-sekali bikin PR
       kau tak dilatih untuk kritis
       apalagi menganalisis dan berpikir kreatif
       kau tak ubahnya robot, cuma masih doyan nasi
       kau juga bilang, pendidikan karakter cuma tempelan yang dipaksakan
       ’gar yang di takhta pendidikan puas berendam di telaga senang
       bagaimana bisa berkarakter kalau siswa SD berani bakar rapor?
       bahkan, astaga…  bernyali meninju guru dan masuk dalam pelukan pelacur tua

       Aku salut, kala kau bilang pelajar harus punya integritas
       nurani dan pikiran harus seiring dan sejalan
       kalau tidak, pendidikan dan sekolah hanya jadi mesin pencetak
       pelacur-pelacur intelektual
       yang menghamba kepada uang semata

       Aku sungguh miris…
       yang kutahu pendidikan dan sekolah harus bergandeng tangan
       bersinergi mendukung siswa, bukan menyerimpung
       tak ada kata terlambat untuk berbenah diri
       tapi siapa mau dengar suara kurcaci di padang gurun?
       aku hanya warga biasa yang tak punya pangkat apa-apa
       ku hanya bisa panjatkan doa dalam derai air mata
       seirama isak bapak pendidikan di alam baka sana

       Ananda tercinta, semoga kau cepat kembali cerah ceria
       kau bukan ulat yang berkutat menggeliat dalam kepompong pengap
       kau adalah lumba-lumba yang bebas menari di laut lepas
       menggapai mimpi di bahu rembulan
       ingat selalu, hari depan bangsa ada di tanganmu


***


Friday, February 2, 2018

Kepada Siapa Guru Mengadu?

Peristiwa pembunuhan keji seorang guru di Sampang oleh seorang siswa yang tak tahu
membalas budi, telah menggerakkan penulis untuk menuliskan peristiwa yang
memedihkan hati ini. Kejadian ini telah  mencoreng sejarah pendidikan di Indonesia dengan 
lumpur yang paling kotor dan hitam. Melalui peristiwa ini, jelaslah posisi guru yang sangat rapuh
dalam menghadapi siswa yang bermasalah.

Kepada Siapa Guru Mengadu?

Oleh Budianto Sutrisno


Kala masih balita, anak mengadu kepada orang tua
bawahan mengadu kepada atasan
rakyat mengadu kepada wakilnya
siswa mengadu kepada guru
lalu kepada siapa guru mengadu?
komnas HAM, PGRI, DPR, menteri?
mereka semua justru bungkam diam dalam seribu bahasa
kala guru dibunuh oleh siswanya sendiri
ya, dibunuh mati
nyawa guru dianggap begitu murah seperti nyawa nyamuk
bisa dan boleh di-pithes kapan saja dan mana suka

Memang di zaman now banyak peristiwa aneh bin ganjil
kala siswa bermasalah, justru guru yang panik
kala siswa begajulan, guru yang takut
guru ngeri kepada siswa, juga kepada ortunya
guru seperti kurcaci yang menghadapi setan memedi
guru bak menghadapi buah simalakama
dimakan mati kariernya, tak dimakan mati nuraninya
mana yang harus digadaikan, mana yang harus dikorbankan?
bagaimanapun juga, teguran dan hukuman memang harus dilakukan
jika memang diperlukan, apa pun risikonya

Tapi penyesalan selalu datang terlambat
kala guru Sampang sudah jadi mayat
aliran air mata darah juga tiada gunanya
apakah guru mesti bernasib malang?
apakah guru harus dibanjiri dengan kasih yang membadai?
itu bukan kasih, tapi pemanjaan dan penjerumusan
yang justru melumpuhkan siswa
tapi berapa banyak siswa, ortu, dan guru sendiri yang menyadarinya?
keadilan telah ditindas dan dilibas oleh rasa takut
takut justru pertanda kurang kasih
jangan jadikan cinta kasih sebagai topeng dan perisai
'tuk sembunyikan ketakutan
jangan tuduh hukuman sebagai pelampiasan dendam
hukuman adalah konsekuensi dari kejahatan
nenek-nenek pun tahu itu
tapi yang bermental 'cari aman' pura-pura tak tahu
mesti berapa guru lagi yang jadi korban agar semua sadar?
mesti berapa ribu maaf yang harus dikunyah dan ditelan guru?
mesti seberapa dalam, lebar, dan dalam lautan cinta kasihnya?
apakah guru tak berhak menjalankan keadilan dalam kebenaran?
guru juga manusia, bukan?
guru bukan malaikat, bukan?
jangan pernah bermimpi guru menjelma malaikat
jika ada yang mengaku malaikat, pastilah itu malaikat jadi-jadian

Penghargaan dalam bentuk apa pun
tak bisa menghidupkan guru Sampang yang malang
sekadar mengenang jasa-jasanya?
apa itu cukup?
mengenakan hukuman seberat mungkin kepada pelaku?
apa itu bisa memulihkan kepedihan hati keluarga yang ditinggal pergi?

Orang bijak bilang mata tak boleh diganti dengan mata
gigi tak boleh diganti dengan gigi
angkara tak boleh dibalas dengan angkara
angkara perlu diredam dengan cinta kasih
oh… betapa indahnya kata-kata mulia itu
oh… betapa mudahnya mengeluarkan kata-kata bijak itu
tapi insan manakah yang mampu melakukannya?
kalau toh ada, berapa gelintir?
haruskah permata kemilau itu binasa di kaki babi?
aku tak kuasa untuk menjawabnya
biarlah Yang Kuasa bekerja sesuai rencana-Nya

***


Thursday, February 1, 2018

A Stranger in the Rain

Peristiwa kedatangan Jokowi kembali setelah melawat ke sejumlah negara, antara lain Afghanistan
yang tengah bergejolak, telah menginspirasi penulis untuk membuat puisi berikut.
Tokoh Gabener ikut menyambut sambil manyun dan memegag payung di tengah hujan. Dia tampak terkucil, karena tak ada seorang pejabat pun yang mau bertutur sapa dengannya.

A  Stranger in the Rain

Oleh Budianto Sutrisno

Ada nasihat berharga dari orang tua
selalu terngiang jelas di telinga
generasi penerus memegang teguh
’tuk jalankan petuah ampuh
’gar tak bicara pada sosok tak dikenal
apalagi nekat berdekat dan berakrab-akrab
kar'na bisa datangkan petaka dahsyat

Di tengah hujan lebat
di antara deretan pejabat terhormat
ada sosok terpencil dan terkucil
dijauhi dan diemohi
landasan halim perdanakusuma serasa sengat bara api
dalam hati ingin segera angkat kaki
tapi apa daya
terikat aturan pejabat tinggi
meski payung di tangannya mengembang
tak mampu sembunyikan gundah hati dan sempit jiwa
pangkatnya boleh tinggi tapi tiada satu pun yang peduli

Dia kunyah buah pahit dari benih yang ditaburnya
di antara deret pejabat di depan tangga pesawat
dia tak ubahnya tikus got melarat
kehadirannya kosong tanpa makna
raganya di sana, tapi hatinya terbang entah ke mana
salamnya salam hampa
meski Sang Panglima kembangkan kulum senyum
dia tetap manyun
kalbu penuh gerutu kapan bisa jadi panglima
a stranger in the rain
there’s so much pain
deep inside a stone heart of Cain


***