Masalah benang ruwet dalam dunia pendidikan, penulis tuangkan dalam puisi yang bertajuk
"Menggapai Mimpi di Bahu Rembulan". Ada aroma satiristis di dalamnya, karena penulis
sulit untuk menghindarinya. Satiristis tak selalu bernuansa pesimistis; tetapi juga
terdapat kelindan benang optimisme menuju ke hari depan.
terdapat kelindan benang optimisme menuju ke hari depan.
Puisi ini telah terpilih sebagai Juara III dalam lomba cipta puisi yang diselenggarakan oleh
Jendela Sastra Indonesia.
Soli Deo Gloria!
Menggapai Mimpi di Bahu Rembulan
Oleh Budianto Sutrisno
Ananda,
kau bilang kau gantungkan mimpimu di bahu rembulan
tapi tanpa kutahu sebabnya, kau mendadak
berubah
dulu
kau lumba-lumba lincah
kini
lunglai tanpa gairah
pernah
kaukejar pendidikan dengan mata berbinar
tapi
entah kenapa
usai
sekolah wajahmu selalu kuyu sayu
rupanya
pendidikan dan sekolah jadi pelakon drama abadi
bawakan
peran siang yang tak pernah berjumpa dengan malam
apalagi
mesra dalam peluk dan kecup
Ananda,
gairah lumba-lumbamu mendadak padam
seiring kurikulum yang datang-pergi
silih berganti
yang
satu belum dikuasai, muncul yang lain lagi
guru
lebih sibuk geluti tugas administrasi
ketimbang
membimbing para siswa
semua
demi berhala yang disebut akreditasi
siapa
berani mengabaikannya?
belum
lagi luap hasrat jadi guru bersertifikat
iming-iming
tunjangan itu terlalu sayang ’tuk dilewatkan
asap
dapur harus terus mengepul, bukan?
dan
umar bakri ’kan lebih bergengsi dengan kendaraan kreditan
lebih
parah lagi, tunjangan dijadikan modal untuk kawin lagi
roda
zaman now t’lah menggilas zaman old tanpa belas
Ananda,
kau bilang di kelas kau hanya duduk, diam, dengar, dan ulangan
hanya sekadar ikuti
jejak anggota DPR
di rumah, sekali-sekali
bikin PR
kau tak dilatih untuk
kritis
apalagi menganalisis dan
berpikir kreatif
kau tak ubahnya robot, cuma
masih doyan nasi
kau juga bilang,
pendidikan karakter cuma tempelan yang dipaksakan
’gar yang di takhta
pendidikan puas berendam di telaga senang
bagaimana bisa
berkarakter kalau siswa SD berani bakar rapor?
bahkan, astaga… bernyali meninju guru dan masuk dalam pelukan
pelacur tua
Aku
salut, kala kau bilang pelajar harus punya integritas
nurani
dan pikiran harus seiring dan sejalan
kalau
tidak, pendidikan dan sekolah hanya jadi mesin pencetak
pelacur-pelacur
intelektual
yang
menghamba kepada uang semata
Aku
sungguh miris…
yang
kutahu pendidikan dan sekolah harus bergandeng tangan
bersinergi
mendukung siswa, bukan menyerimpung
tak
ada kata terlambat untuk berbenah diri
tapi
siapa mau dengar suara kurcaci di padang gurun?
aku
hanya warga biasa yang tak punya pangkat apa-apa
ku
hanya bisa panjatkan doa dalam derai air mata
seirama
isak bapak pendidikan di alam baka sana
Ananda tercinta, semoga kau cepat kembali cerah
ceria
kau
bukan ulat yang berkutat menggeliat dalam kepompong pengap
kau
adalah lumba-lumba yang bebas menari di laut lepas
menggapai
mimpi di bahu rembulan
ingat
selalu, hari depan bangsa ada di tanganmu
***