Sunday, October 30, 2016

Balada Dua Bangau dan Kodratnya

Puisi "Balada Dua Bangau dan Takdirnya" berikut ini terinspirasi oleh puisi karya
Denny J.A. yang berjudul "Konggres Aktivis dan Balada Dua Burung"
Anda bebas saja menafsirkannya: burung dalam puisi Denny mungkin sama atau
mungkin juga berbeda dengan bangau dalam cerita saya.
Selamat berpuisi!

Balada Dua Bangau dan Takdirnya


Oleh Budianto Sutrisno


Alkisah dua bangau sakti berjuang bersama
dari perguruan yang sama
bergandeng tangan memajukan warganya
senasib sepenanggungan dalam suka-duka
mengepakkan sepasang sayap bersama
menjelajah angkasa raya
dengan sayap yang putih kemilau
menukik bersama menuju telaga ikan
itu dulu… dulu sekali…
ketika masih zaman kuda gigit besi

Tapi kini, di zaman kuda gigit roti
entah kenapa, dua bangau tak lagi suka ikan
seleranya berubah jadi yang serbakemilau
entah itu emas, intan, atau takhta kencana
masing-masing merasa paling berjasa
masing-masing merasa paling perkasa
masing-masing merasa paling layak bertakhta
tapi apa daya
takhta hanya satu, yang berebut dua
matahari memang tak boleh kembar
jika kerajaan tak mau bubar

Yang namanya ambisi
ternyata tak kenal usia
juga tak kenal malu
yang satu sikut sana
yang sana sikut sini
meski usia makin senja
meski bulu yang dulu lebat, kini sudah rontok
meski sayap yang dulu kemilau, kini mulai layu
meski paruh yang dulu kekar, kini loyo
tamak harta dan takhta tak kunjung reda
malah semakin menyala
bangau tua sudah menjelma jadi bangau gila
memangsa apa segala
tak peduli siapa luka, siapa binasa
pokoknya jadi raja loba

Langkah kaki kedua bangau mulai gontai
napasnya sudah tersengal
matanya rabun
tapi hatinya masih tak rela
keduanya bukan bersyukur
tapi malah semakin menjadi
kodrat bangau adalah pembawa berita bahagia
lahirnya jabang bayi dalam keluarga
kodrat bangau bukan bikin huru-hara
demi bisa duduk di atas takhta
tapi dua bangau lupa
 kodrat setiap kisah ada akhirnya
lupa pada kutuk dewata
yang bisa patahkan kaki, paruh, dan sayapnya
jadi bangau buntung
tanpa daya
mau kedipkan mata pun tak bisa


***



Monday, October 24, 2016

Serigalakah Aku?

Dalam pemilihan "10 Puisi Terbaik" di sebuah Sayembara Puisi Tingkat Nasional yang
diselenggarakan oleh CTAC Indonesia (dengan panjang puisi maksimal 12 baris),
puisi saya yang berjudul "Serigalakah Aku?"telah terpilih sebagai Juara VII.
Puisi ini merupakan semacam antitesis terhadap pikiran Plautus, Thomas Hobbes, dan 
Friedrich Nietzche yang mengatakan bahwa manusia adalah serigala 
bagi sesamanya (homo homini lupus).
Terima kasih untuk kerja keras para juri, dan Soli Deo Gloria!


Serigalakah Aku?

Oleh Budianto Sutrisno


Hatiku bergetar kala mendengar ucapan mengerikan
”manusia adalah serigala bagi sesamanya”
mula-mula aku tegas menolaknya
bukankah manusia itu makhluk ciptaan yang berakal budi?
tapi akhirnya aku tersadar dari mimpi pembenaran diri
iri hati dan dengki adalah bibit metamorfosis manusia jadi serigala
hawa nafsu memiliki serbalebih jadi cakar tajam dan taring kejam
beringas mencabik dan menggerogoti harta siapa saja sampai tandas
lantang melolongkan geram caci maki dan fitnah keji
pandai membungkus kepalsuan dengan kesantunan dan jubah religi

Dengan gentar kutatap cermin kehidupanku dan bertanya, serigalakah aku?
oh, tidak… manusia adalah sobat karib bagi sesamanya!


***



Friday, October 7, 2016

Antara Kicau Anis dan Kepak Sayap Rajawali

Puisi berikut ini diinspirasi oleh perilaku para kandidat cagub dan cawagub yang akhir-akhir
ini mulai gegap gempita di jagat warta.
Kisah dalam puisi ini merupakan opini pribadi penulis, dan penulis beri judul 
"Antara Kicau Anis dan Kepak Sayap Rajawali". Selamat menikmati!



Antara Kicau Anis dan Kepak Sayap Rajawali

Oleh Budianto Sutrisno


Dulu kupernah pelihara burung anis merah
kata orang Jawa, kuselalu diliputi klangenan kukilo
alias kegemaran memelihara burung
eh... Anda tahu klangenan itu sudah termasuk dalam kosakata Indonesia, loh
dan ternyata anis merah itu mampu bernyanyi merdu
bisa bersaing dengan cucakrowo piaraan tetangga
burung dengan bulu coklat kemerahan dan kombinasi hitam-putih ini
memang pantas jadi biduan piawai bersuara emas
tapi panggungnya hanya terbatas dalam sangkar
setiap pagi mesti disediakan pakan burung dan kroto, alias telur semut rangrang
'gar suaranya makin merdu
repot dan ribet, memang
kalau lapar dan haus, dia bisu total
maka, sebagai pemilik, kuharus rajin sajikan makanan tiap pagi
kalau lalai, ya dia tak mau berkicau manis
ada makanan, dia berkicau kencang
tiada makanan, dia langsung membisu seribu bahasa
slogannya "di mana makanan terhidang, di situ aku bernyanyi kencang"

Tapi aku pernah nonton film tentang unggas lain yang juga berbulu kecoklatan
warna boleh sama, tapi cara hidupnya berbeda
unggas ini tak bisa dikekang dalam sangkar
dia harus hidup bebas lepas di angkasa raya dan puncak gunung
ukuran tubuhnya jauh lebih besar ketimbang anis merah
paruh dan cakarnya jauh lebih tajam
dia tidak berkicau manis, tetapi memekik sorak dan menyambar
mampu terbang membubung tinggi, dan tinggi sekali
menembus awan-awan gelap
tempat yang tak mungkin terhampiri unggas lain
dari puncak gunung dia bisa menyergap mangsa secepat kilat
matanya sungguh tajam untuk mendeteksi keberadaan mangsa
sekali sambar, mangsa pasti masuk terkaman

Kuingin punya elang perkasa seperti itu
tapi dia tak mungkin hidup dalam kekang kurungan
kodratnya memang harus terbang tinggi membelah angkasa
mengeluarkan pekikan dahsyat, lalu menyambar mangsa di bawah
bukan berlenggang lenggok ala balerina dan penyanyi genit dalam sangkar panggung
rinduku pada keadilan dan pembenahan terobati
 kala kudengar pekikan dan sambaran sang rajawali

Setelah kutahu apa makna tulus setia
kuucapkan "selamat tinggal" pada anis manisku
kusambut kehadiran sang merpati putih
si unggas murni-mulus yang tak butuh sangkar
dia setia dan penuh damai, tak mungkin berpaling pada majikan lain
sekalipun disediakan sangkar emas dan pesta pora

Biarlah elang mengepakkan sayapnya
membubung tinggi, sesuai kodratnya
menyambar dan menghabisi kawanan tikus serta musang
hingga negeriku bebas dari segala hama


***