Politik
Uang
Dari
Zaman Yesus sampai Sekarang
Oleh Budianto Sutrisno
Tulisan
ini diilhami oleh khotbah Paskah GRII, 20 April 2014 yang
disampaikan oleh Pdt. Stephen Tong.
disampaikan oleh Pdt. Stephen Tong.
Banyak orang menduga bahwa keberadaan
politik uang itu masih relatif baru. Praktik dan pemberitaan tentang politik
uang sangat marak di masa menjelang pemilu. Akan tetapi sebenarnya, politik
uang itu sudah ada sejak dulu kala. Jadi, kalau kita menjumpai permainan politik
uang dewasa ini, sebenarnya itu merupakan ’dosa turunan’ sejak berabad lampau.
Ada aku, tak ada kamu;
ada kamu, tak ada aku
Kaum Farisi yang memusuhi Yesus teringat
akan kata-kata/nubuatan Yesus yang menjelaskan bahwa Ia akan bangkit dari kematian pada hari
yang ketiga (hari Minggu). Itu sebabnya, pada pascakematian Yesus, mereka meminta Gubernur
Pontius Pilatus untuk mengirim pasukan Roma guna menjaga kubur Yesus.
Mereka ini berseberangan dengan Yesus,
tetapi sesungguhnya hati kecil mereka ’percaya’ pada nubuatan Yesus tentang
kebangkitan-Nya. Hanya saja mereka menindas kebenaran yang sudah tertanam dalam
hatinya. Mereka berpendapat bahwa Yesus harus mati, sehingga kebudayaan Yahudi
tetap eksis. Selama Yesus ada, maka eksistensi kebudayaan Yahudi terancam. Filsafat
mereka adalah ”Ada aku, tak ada kamu; ada kamu, tak ada aku”. Mereka terus
menindas kebenaran dalam hati mereka, sehingga mereka berani melawan Sang
Kebenaran itu sendiri. Bukankah filsafat semacam ini juga dianut oleh orang
atau kelompok tertentu di zaman sekarang ini?
Jika kaum Farisi dan ahli Taurat ini tak
’percaya’ sama sekali dengan nubuatan Yesus, mereka tentunya tak perlu bersusah
payah meminta Pilatus untuk mengerahkan tentara Roma guna menjaga kubur Yesus.
Jika mereka tak ’percaya’, mestinya mereka menganggap perkataan/nubuatan Yesus
sebagai angin lalu saja, atau cerita burung yang sama sekali tak mengandung
kebenaran. Jadi ada semacam kontradiksi di dalam diri mereka.
Orang yang menindas kebenaran
terus-menerus di dalam hatinya, nuraninya gelap dan tak mampu mencerna serta
menginterpretasikan apa pun, termasuk mukjizat besar yang dilakukan Yesus. Kaum
penindas kebenaran ini sejatinya buta, tuli, miskin, dan telanjang secara
rohani, tetapi merasa kaya raya, matanya celik, dan berjubah kemilau.
Kebulatsepakatan untuk membunuh Yesus justru terjadi setelah kaum Farisi dan
ahli Taurat itu menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, Lazarus
dibangkitkan oleh Yesus dari kubur, setelah tiga hari dimakamkan. Ini merupakan bukti, bahwa
mukjizat tak dengan serta-merta membuat orang menjadi percaya kepada Sang
Kebenaran.
Yohanes 11: 53 memberikan kesaksian: Mulai
dari hari itu (hari pembangkitan Lazarus dari kubur) mereka (Imam Besar
Kayafas, orang-orang Farisi, dan Mahkamah Agama) sepakat untuk membunuh Dia
(Yesus).
Jadi, bukan merupakan sesuatu yang baru
jika kebenaran itu dimatikan oleh para penguasa (diwakili pemerintah Roma),
kaum religius, tentara, dan orang-orang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Kuasa dan pengaruh yang jatuh ke tangan manusia yang tak beres rohaninya,
justru akan digunakan untuk menindas dan mematikan kebenaran. Dengan kata lain,
yang berkuasa dan berpengaruh itu harus beres rohani dan pikirannya.
Menebar
berita dusta
Setelah
Yesus benar-benar bangkit pada hari ketiga, apa yang terjadi dengan orang-orang
yang melawan-Nya? Mereka segera sadar akan kesalahannya? Meminta maaf? Tidak.
Justru mereka mengambil langkah yang semakin nekat dan sesat.
Matius
28: 11-15 memberikan kesaksian bahwa para petinggi dari Mahkamah Agama
mengambil keputusan untuk menjalankan politik uang. Ayat 12 menyatakan bahwa
mereka memberikan sejumlah besar uang kepada para prajurit Roma yang memberi
tahu bahwa kubur Yesus telah terbuka dan mayat Yesus tak ada lagi.
Para
petinggi Mahkamah Agama ini lalu mengharuskan para tentara Roma untuk menyiarkan
berita bahwa murid-murid Yesus telah mencuri mayat Yesus ketika mereka sedang
tidur. Ini menjadi bukti adanya politik uang yang dipergunakan untuk menebarkan
berita dusta.
Mari
kita berpikir dengan akal sehat. Makam Yesus itu dijaga oleh sejumlah prajurit
Roma dengan senjata lengkap selama 24 jam sehari. Makam Yesus itu ditutup
dengan batu besar yang sangat berat. Kemungkinan ada orang menyusup ke makam
saja sulit, apalagi mencuri mayat yang notabene
sudah dibungkus dengan kain kafan dan diberi ramuan wewangian seberat beberapa
puluh kilogram. Jika memang ada pencuri, maka pencuri itu paling sedikit harus
berjumlah 6-7 orang untuk dapat menggulingkan batu makam. Pencuri tersebut
harus bisa bekerja cepat dan tak bersuara ketika prajurit Roma sedang tidur.
Mungkinkah batu besar itu tak mengeluarkan suara berisik ketika didorong oleh
6-7 orang? Mungkinkah para prajurit Roma semuanya terlena dalam tidur nyenyak
dan tak mendengar suara apa pun? Seandainya mayat Yesus dicuri, lalu
dibawa/disembunyikan ke mana? Mungkinkah proses pengangkutan mayat itu lolos
dari penjagaan ketat prajurit Roma?
Jawaban
atas rentetan pertanyaan tersebut adalah: ”Tidak”. Pencurian mayat Yesus oleh murid-murid-Nya merupakan peristiwa
yang sangat mustahil terjadi. Akan tetapi, justru hal yang mustahil terjadi
inilah yang gencar diberitakan oleh manusia-manusia bayaran ke seantero
masyarakat Yahudi.
Dari
kisah di atas, kita juga memperoleh pengajaran bahwa jubah agama dapat dijadikan
sebagai kedok untuk menutupi perbuatan jahat. Bukankah kesalehan ragawi banyak
dipertontonkan di ruang sidang pengadilan di negara kita sekarang ini? Orang-orang
’religius’ seperti ini sungguh lebih celaka ketimbang orang ateis yang mampu
menaati hukum.
Politik
uang bisa dipergunakan untuk menebarkan berita dusta apa saja. Bisa pula
dipergunakan untuk memelintir kebenaran sejarah, sehingga masyarakat hanya bisa
menerima dan mewarisi kepalsuan. Politik uang bisa digunakan oleh pihak
tertentu untuk meraih tujuan. Pendek kata, politik uang bisa digunakan untuk
mengubah hitam menjadi putih, dan sebaliknya. Orang-orang yang melakukan
politik uang seperti ini merupakan orang-orang yang sudah mati nuraninya.
Orang-orang seperti ini tidak layak sama sekali dijadikan pemimpin. Orang-orang
seperti ini hanya pas untuk menjadi penyembah Mamon. Tak lebih dari itu. Mereka
akan binasa bersama uangnya.
Penulis
jadi teringat akan berita tentang cara Mao Zedong menggunakan strategi dusta
untuk mencuci otak rakyat Tiongkok. Pemimpin partai komunis Tiongkok pada
zamannya ini berpendapat bahwa jika dusta itu diceritakan terus-menerus secara
konsisten beribu kali, maka dusta akan diterima sebagai kebenaran. Hal ini
merupakan tragedi besar dalam dunia komunikasi. Kebenaran sudah diputarbalikkan.
Uang
– terutama dalam jumlah banyak – memang sangat menggiurkan bagi manusia berdosa
untuk melakukan dusta apa saja. Daya tariknya bak magnet berukuran raksasa. Dan
biasanya uang itu berjalan seiring dengan pangkat atau kedudukan. Semakin
tinggi kedudukan seseorang, semakin besar pula kemungkinan untuk memiliki uang
dalam jumlah besar. Itu sebabnya, di zaman sekarang ini – terutama di masa
kampanye – sejumlah oknum menebarkan jala politik uang agar dirinya bisa
terpilih sebagai pejabat tinggi. Yang ditujukan kepada kaum akar rumput, uang
diganti atau ditambah dengan bonus nasi bungkus.
Uang
yang seharusnya menjadi sarana untuk melakukan pekerjaan baik bagi
kesejahteraan rakyat justru dipakai penguasa untuk memperkaya diri. Itu
sebabnya, salah satu syarat penting menjadi petinggi negara haruslah orang yang
takut akan Tuhan. Menurut kitab Amsal 9: 10 takut akan Tuhan adalah permulaan
hikmat. Orang yang sungguh-sungguh takut akan Tuhan, tidak akan berbuat neko-neko.
Setiap
orang memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masalahnya, orang berdosa
berkecenderungan untuk bersifat tamak. Sudah punya satu, ingin punya dua. Sudah
punya dua, ingin punya 10, dan seterusnya. Ada yang mengatakan bahwa harta itu
seperti air laut, makin ditenggak, makin merasa haus. Terkait dengan ketamakan,
Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan
seluruh umat manusia; tetapi dunia ini tak pernah cukup untuk memenuhi keserakahan
satu manusia saja.
Sementara
itu, 1 Timotius 6: 10 memberikan peringatan kepada kita bahwa cinta uang adalah
akar segala kejahatan. Karenanya, marilah kita bersama-sama menggunakan uang
kita dengan penuh hikmat. Kiranya Tuhan menjauhkan kita dari segala permainan kotor
politik uang.
Sebagai
penutup, izinkanlah penulis mengutip seruan yang beberapa kali didengungkan dari
mimbar GRII, ”Carilah uang sebanyak mungkin, tabunglah uang sebanyak mungkin,
dan berikanlah uang sebanyak mungkin untuk mendukung pekerjaan Tuhan.”
Kemungkinan kutipan ini berasal dari seruan John Wesley kepada jemaatnya. Dua
kalimat pertama mungkin membuat jemaat menganggukkan kepala, tetapi kalimat
ketiga mungkin membuat jumlah jemaat yang menganggukkan kepala berkurang. Anda
sendiri bagaimana? Menganggukkan kepala satu kali, dua kali, atau tiga kali?
Atau tidak mengangguk sama sekali? Anda tak perlu memberikan jawabannya kepada
saya. Jawaban Anda ada di relung hati Anda sendiri.
Soli Deo Gloria!
***