Jabatan Sementara, Rekam Jejak Abadi dalam Catatan Sejarah
Yang mulia Presiden Republik Indonesia masa bakti 2024—2029,
Pada
kesempatan yang baik ini, izinkanlah saya untuk terlebih dahulu mengucapkan ”Selamat
menunaikan tugas mulia anak bangsa” kepada Bapak yang sudah terpilih secara
konstitusional sebagai Presiden Republik Indonesia untuk masa bakti 2024—2029.
Sebagai
orang nomor satu di seluruh tanah air, tugas Bapak memimpin dan mengatur 280
juta penduduk Indonesia—dari Sabang sampai Merauke—tidaklah ringan, tetapi
mulia. Bapak tak ubahnya masinis yang menghantarkan gerbong panjang rakyat dari
berbagai ragam latar etnis, pendidikan, budaya, agama, dan kepercayaan, menuju
masyarakat yang adil dan makmur, sesuai dengan cita-cita seluruh bangsa. Guna mencapai
tujuan ini, diperlukan hikmat sebagai peta dan kompas perjalanan agar tidak
salah arah dalam mencapai tujuan. Hikmat ini berasal dari mana? Menurut hemat
saya, hikmat ini terutama berasal dari rasa takut, hormat, dan gentar kepada
Tuhan. Rasa takut, hormat, dan gentar ini diejawantahkan dalam perilaku
menjauhi segala bentuk kejahatan dan penyelewengan.
Selaku
pemimpin tertinggi di negeri ini, kiranya Bapak selalu mengingat akan substansi
sumpah jabatan yang telah Bapak ucapkan. Seorang pejabat negara mungkin saja
dapat luput dari hukuman dunia karena melanggar sumpah jabatan, tetapi tak akan
bisa menghindar dari hukuman dalam kekekalan. Sungguh fatal akibatnya bila
seseorang bermain-main dengan sumpah jabatan. Sebagai bangsa yang religius,
hendaknya sumpah jabatan ini tidak sekadar menjadi bunga hiasan di bibir
belaka, tetapi sungguh-sungguh dilaksanakan secara konsekuen. Bukankah martabat
seseorang itu ditentukan oleh sinkronnya ucapan dengan perilaku? Dalam bahasa
yang lebih keren, Bapak perlu memiliki apa yang saya sebut sebagai ”KKI”, yakni
Kapabilitas, Kredibilitas dan Integritas yang mumpuni.
Yang mulia Bapak Presiden Republik Indonesia,
Menurut
hemat saya, PR utama dan pertama yang harus Bapak kerjakan adalah membasmi tindakan
korupsi sampai ke akar-akarnya. Perilaku korupsi ini yang sangat menghambat
kemajuan sebuah bangsa yang dikaruniai sumber daya alam yang luar biasa kaya. Bayangkan
betapa kayanya kita! Emas, perak, tembaga, nikel, batu bara, minyak bumi, gas
alam, kayu, kopra, rempah, aneka satwa laut, tumbuhan, dan keindahan alam, kita
punya. Semuanya harus dikelola bagi kemaslahatan masyarakat luas, bukan untuk
dikorupsi. Agar efektif, pemberantasan korupsi ini perlu dimulai dari diri
sendiri dan lingkungan, yakni keluarga dan kerabat terdekat, berikut para
menteri serta pejabat negara yang membantu Bapak dalam mengelola dan
menjalankan mandat rakyat secara adil, benar, dan bijaksana.
Dalam
hal ini, saya teringat akan ucapan almarhum Prof. Sahetapy yang menegaskan
bahwa pembusukan ikan dimulai dari bagian kepala; jika kepala busuk, maka
busuklah seluruh tubuh ikan. Itu sebabnya, sebagai orang nomor satu di seluruh
negeri, Bapak harus menjadi suri teladan yang baik bagi seluruh rakyat
Indonesia. Janji-janji yang Bapak ucapkan dalam kampanye, harus Bapak tepati
sebagai ikatan komitmen bagi anak bangsa. Jangan hanya menjadi retorika kosong
untuk memikat rakyat guna memilih Bapak sebagai presiden.
Di
samping itu, kita tak boleh melupakan prinsip bahwa setiap warga itu setara di
depan hukm. Pedang Dewi Keadilan tak boleh hanya tajam ke bawah dan tumpul ke
atas. Tak boleh ada lagi maling ayam dihukum lebih berat ketimbang koruptor yang
menilap uang negara miliaran rupiah.
Dalam
kaitan masalah korupsi yang merupakan tindak kejahatan luar biasa—setara dengan
kejahatan dalam penyalahgunaan narkoba—saya mengusulkan agar para koruptor
dihukum seberat-beratnya dan segala harta kekayaannya disita oleh negara.
Misalnya saja, pelaku korupsi senilai 1 miliar rupiah ke atas, mendapat hukuman
mati. Jangan takut dengan tudingan pelanggaran hak asasi manusia. Bukankah
sejatinya para koruptor itu yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia?
Yang
mulia Bapak Presiden Republik Indonesia,
PR
kedua yang menjadi tanggung jawab Bapak adalah mengentaskan kemiskinan. Apabila
korupsi bisa diberantas sampai ke akar-akarnya, niscaya tak akan timbul lagi
masalah kemiskinan. Bapak Mahfud M.D—yang pada saat surat ini ditulis, sedang
menjabat sebagai Menkopolhukam—menegaskan bahwa jika korupsi dapat dinihilkan,
setiap warga Indonesia bisa memperoleh bonus senilai 20 juta rupiah. Sebuah
jumlah yang sangat signifikan untuk hidup layak di kota besar sekalipun.
Memberantas korupsi secara tuntas berarti mengentaskan kemiskinan. Bukankah ini
perwujudan pepatah yang berbunyi: ”Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau
terlampaui”?
Yang
mulia Bapak Presiden Republik Indonesia,
PR
ketiga bagi Bapak adalah membenahi masalah pendidikan yang seperti benang
kusut. Di samping pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas pendidikan yang
baik akan ikut menyelesaikan masalah kebodohan yang notabene merupakan akar
kemiskinan.
Sudah
bukan rahasia lagi, jika terjadi pergantian Mendikbudristek, terjadilah
pergantian kurikulum. Kurikulum lama belum sempat diimplementasikan secara
tuntas, para guru sudah disibukkan dengan penerapan kurikulum baru. Semuanya
dilakukan secara terburu-buru. Lalu bagaimana mungkin kita bisa berbicara soal
mutu? Sebagai seorang pendidik, saya mengalami sendiri masalah tersebut. Apa
pun nama kurikulumnya, siapa pun Mendikbudristeknya, para widyaiswara selalu
dibebani dengan masalah administrasi, membuat laporan ini dan itu. Terdapat
ratusan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi untuk mencapai standar
akreditasi. Tumpukan berkas administrasi dari setiap mata pelajaran, sudah
menjadi semacam mantra untuk lulus dalam akreditasi.
Di
samping itu, penyeragaman kurikulum untuk seluruh siswa dari Sabang sampai
Merauke, bagi saya, merupakan suatu kemustahilan yang dipaksakan. Apalagi bila
kelulusan atau kenaikan kelas siswa ditentukan oleh apa yang disebut sebagai
KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Kemampuan siswa untuk menyerap pengetahuan
itu berbeda-beda. Dalam kelas yang sama saja bisa bervariasi, apalagi dalam
kelas berbeda, sekolah berbeda, dan pulau berbeda. Bagaimana mungkin kurikulum bisa
diseragamkan untuk seluruh Nusantara? Tampaknya Indonesia memerlukan
Mendikbudristek yang berpengalaman menjadi guru, sehingga kurikulumnya itu
membumi, tidak menggantung di awang-awang. Liku-liku praktik mendidik di
berbagai daerah itu dapat berbeda dengan segala bentuk teori di atas kertas.
Oh
ya, penetapan KKM yang tinggi (sesuai arahan pengawas yang juga ingin terlihat
berprestasi), acap kali membuat guru melakukan manipulasi nilai. Semua
dilakukan demi ”menolong siswa” dan ”meningkatkan citra sekolah”. Pendongkrakan
nilai ini merupakah buah simalakama bagi pendidik. Jika dilakukan, melanggar
hati nurani; jika tidak dilakukan, bisa terguling periuk nasi.
Bagi
saya pribadi, mohon maaf, penyeragaman kurikulum untuk seluruh wilayah
Nusantara dan manipulasi nilai, merupakan pembodohan luar biasa bagi anak
bangsa.
Sebagai
orang nomor satu di Republik Indonesia, Bapak harus siap sedia membenahi
keruwetan masalah pendidikan di Indonesia. Bukankah para siswa yang masih belia
ini kelak menjadi pemimpin bangsa, dan bukankah pendidikan merupakan dasar
untuk menyiapkan mereka menjadi pemimpin yang cerdas dan berkarakter baik?
Yang
mulia Bapak Presiden Republik Indonesia,
PR
keempat yang perlu segera dituntaskan adalah masalah diskriminasi, terutama
yang terkait dengan etnis dan agama. Meski semua orang itu setara di depan
hukum, faktanya masih sering terjadi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan
pemeluk agama nonmuslim. Kelompok etnis
Tionghoa acap kali digeneralisasikan sebagai golongan yang eksklusif, suka
menyuap, egoistis, dan lain-lain. Jika terjadi kerusuhan, misalnya, etnis Tionghoa
sering dijadikan kambing hitam. Kerusuhan Mei 1998 adalah contoh yang jelas
tentang adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Orang yang tak mengerti
duduk persoalan, jadi korban penjarahan dan perkosaan.
Di
samping itu, istilah ”Cina” masih sering diucapkan dengan konotasi dan intonasi
negatif, meskipun sudah diganti penggunaannya melalui Keppres Nomor 12 Tahun
2014. Melalui Keppres ini, Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, telah
mengganti istilah ”Cina” dengan ”Tionghoa”. Namun, karena tak ada sanksi yang
tegas terhadap pelanggaran, istilah ”Cina” dengan konotasi negatif tetap
berkembang. Malangnya, sejumlah media massa ikut menyebarkannya.
Lupakah
kita pada Sie Kong Lian—pemilik rumah di jalan Kramat Raya 106 Jakarta—yang
menyediakan tempat tinggalnya untuk penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua? Sudah
lupakah kita pada nama Djiaw Kie Siong—orang Tionghoa yang merelakan rumahnya
jadi tempat persembunyian Soekarno-Hatta—pada peristiwa Rengasdengklok? Lupakah
kita pada sejumlah etnis Tionghoa yang ikut berjuang bersama etnis lain untuk
merebut kemerdekaan dan menjadi veteran? Lupakah pula kita pada nama Yap Thiam
Hien—pengacara kondang yang sering membantu rakyat miskin yang tertindas?
Jika dipikirkan lebih lanjut,
sungguh absurd rasanya. Betapa tidak! Dari buku sejarah, kita mengetahui bahwa
nenek moyang bangsa Indonesia itu berasal dari Provinsi Yunan, Tiongkok
Selatan. Mereka berasimilasi dengan penduduk asli di berbagai pulau di
Nusantara. Oknum tertentu yang menggunakan istilah ”Cina” dalam konotasi
negatif, sejatinya telah menghujat dan merendahkan martabat nenek moyang mereka
sendiri.
Dalam
kaitan ini, saya teringat akan ucapan bjaksana dari almarhum Gus Dur: ”Kelompok mayoritas harus mampu melindungi
kelompok minoritas.” Itulah salah
satu esensi keadilan. Berkat kebijakan beliau, etnis Tionghoa mulai diizinkan untuk
merayakan hari raya Imlek. Sebelumnya terdapat larangan untuk merayakannya
dengan alasan sentimen rasis.
Diskriminasi
juga masih tampak dalam masalah ibadah dan pendirian rumah ibadah. Di daerah
tertentu masih terdapat pelarangan ibadah bagi nonmuslim; orang yang sedang
beribadah diusir di bawah ancaman. Bahkan ada kelompok tertentu yang terpaksa
beribadah di jalanan karena tempat ibadah mereka disegel dengan sewenang-wenang.
Akan tetapi, syukurlah pada akhirnya, rumah ibadah itu bisa dibuka kembali.
Diskriminasi
pendirian tempat ibadah nonmuslim masih tampak jelas sampai hari ini, dengan
pemberlakukan SKB 3 Menteri. Keberadaan SKB 3 Menteri ini jelas melanggar hak
dan kebebasan warga negara untuk menjalankan ibadahnya masing-masing yang diatur dalam UUD 1945.
Sebagai orang nomor satu di Indonesia, Bapak harus sanggup meniadakan atau
membatalkan SKB 3 Menteri ini, sehingga kebebasan memeluk agama dan beribadah bagi
setiap warga bukan sekadar menjadi jargon kosong belaka. Indonesia sungguh-sungguh
memerlukan sosok pemimpin yang adil dan bijaksana untuk seluruh kaum, etnis,
dan golongan di Indonesia.
Yang
mulia Presiden Republik Indonesia,
PR
kelima yang Bapak perlu kerjakan merupakan pergumulan pribadi Bapak terkait
dengan pengabdian kepada bangsa dan negara. Tanpa bermaksud menggurui, saya
sekadar mengingatkan bahwa Bapak itu diusung jadi presiden dengan dukungan
partai politik. Akan tetapi, perlu kita mengingat kalimat bijak dari mendiang
Presiden John F. Kennedy: ”Kesetiaan kepada
partai politik berakhir, ketika kesetiaan kepada negara dimulai.” Itu mulai
berlaku sejak Bapak dilantik menjadi presiden. Bapak bukan lagi sekadar milik
partai politik, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia. Kepentingan seluruh
rakyat Indonesia harus berada di atas kepentingan partai politik.
Yang
mulia Bapak Presiden Republik Indonesia,
Last but not least, di bagian pemungkas surat ini, saya juga bermaksud
mengingatkan bahwa jabatan seseorang—apa pun itu, tinggi atau rendah—merupakan
amanah. Semuanya harus dikembalikan dalam bentuk tanggung jawab kepada Sang
Pemberi Amanah. Karenanya, berusahalah sebaik mungkin, seserius mungkin,
sejujur mungkin, sesetia mungkin, dalam menunaikan tugas yang berat tetapi
mulia ini.
Saya
sungguh berharap Bapak mampu menuntaskan kelima PR di atas dengan baik dan
menghayati benar-benar makna amanah, sehingga nama harum Bapak akan selalu melekat
erat di hati rakyat.
Saya
hakul yakin, dengan penggalangan kerja sama yang baik dari seluruh komponen
bangsa dan dukungan doa seluruh rakyat Indonesia, Bapak akan dapat menuntaskan
tugas yang berat tetapi mulia ini dengan baik dan bertanggung jawab. Tugas dan
jabatan hanyalah sementara, tetapi rekam jejak pengabdian Bapak tertulis abadi dengan
tinta emas dalam catatan sejarah anak bangsa.
Salam cinta damai,
Budianto
Sutrisno
***