Tuesday, May 21, 2024

 

Jabatan Sementara, Rekam Jejak Abadi dalam Catatan Sejarah



Yang mulia Presiden Republik Indonesia  masa bakti 2024—2029,

Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah saya untuk terlebih dahulu mengucapkan ”Selamat menunaikan tugas mulia anak bangsa” kepada Bapak yang sudah terpilih secara konstitusional sebagai Presiden Republik Indonesia untuk masa bakti 2024—2029.

Sebagai orang nomor satu di seluruh tanah air, tugas Bapak memimpin dan mengatur 280 juta penduduk Indonesia—dari Sabang sampai Merauke—tidaklah ringan, tetapi mulia. Bapak tak ubahnya masinis yang menghantarkan gerbong panjang rakyat dari berbagai ragam latar etnis, pendidikan, budaya, agama, dan kepercayaan, menuju masyarakat yang adil dan makmur, sesuai dengan cita-cita seluruh bangsa. Guna mencapai tujuan ini, diperlukan hikmat sebagai peta dan kompas perjalanan agar tidak salah arah dalam mencapai tujuan. Hikmat ini berasal dari mana? Menurut hemat saya, hikmat ini terutama berasal dari rasa takut, hormat, dan gentar kepada Tuhan. Rasa takut, hormat, dan gentar ini diejawantahkan dalam perilaku menjauhi segala bentuk kejahatan dan penyelewengan.

Selaku pemimpin tertinggi di negeri ini, kiranya Bapak selalu mengingat akan substansi sumpah jabatan yang telah Bapak ucapkan. Seorang pejabat negara mungkin saja dapat luput dari hukuman dunia karena melanggar sumpah jabatan, tetapi tak akan bisa menghindar dari hukuman dalam kekekalan. Sungguh fatal akibatnya bila seseorang bermain-main dengan sumpah jabatan. Sebagai bangsa yang religius, hendaknya sumpah jabatan ini tidak sekadar menjadi bunga hiasan di bibir belaka, tetapi sungguh-sungguh dilaksanakan secara konsekuen. Bukankah martabat seseorang itu ditentukan oleh sinkronnya ucapan dengan perilaku? Dalam bahasa yang lebih keren, Bapak perlu memiliki apa yang saya sebut sebagai ”KKI”, yakni Kapabilitas, Kredibilitas dan Integritas yang mumpuni.

Yang mulia Bapak Presiden Republik Indonesia,                           

Menurut hemat saya, PR utama dan pertama yang harus Bapak kerjakan adalah membasmi tindakan korupsi sampai ke akar-akarnya. Perilaku korupsi ini yang sangat menghambat kemajuan sebuah bangsa yang dikaruniai sumber daya alam yang luar biasa kaya. Bayangkan betapa kayanya kita! Emas, perak, tembaga, nikel, batu bara, minyak bumi, gas alam, kayu, kopra, rempah, aneka satwa laut, tumbuhan, dan keindahan alam, kita punya. Semuanya harus dikelola bagi kemaslahatan masyarakat luas, bukan untuk dikorupsi. Agar efektif, pemberantasan korupsi ini perlu dimulai dari diri sendiri dan lingkungan, yakni keluarga dan kerabat terdekat, berikut para menteri serta pejabat negara yang membantu Bapak dalam mengelola dan menjalankan mandat rakyat secara adil, benar, dan bijaksana.

Dalam hal ini, saya teringat akan ucapan almarhum Prof. Sahetapy yang menegaskan bahwa pembusukan ikan dimulai dari bagian kepala; jika kepala busuk, maka busuklah seluruh tubuh ikan. Itu sebabnya, sebagai orang nomor satu di seluruh negeri, Bapak harus menjadi suri teladan yang baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Janji-janji yang Bapak ucapkan dalam kampanye, harus Bapak tepati sebagai ikatan komitmen bagi anak bangsa. Jangan hanya menjadi retorika kosong untuk memikat rakyat guna memilih Bapak sebagai presiden.

Di samping itu, kita tak boleh melupakan prinsip bahwa setiap warga itu setara di depan hukm. Pedang Dewi Keadilan tak boleh hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Tak boleh ada lagi maling ayam dihukum lebih berat ketimbang koruptor yang menilap uang negara miliaran rupiah.

Dalam kaitan masalah korupsi yang merupakan tindak kejahatan luar biasa—setara dengan kejahatan dalam penyalahgunaan narkoba—saya mengusulkan agar para koruptor dihukum seberat-beratnya dan segala harta kekayaannya disita oleh negara. Misalnya saja, pelaku korupsi senilai 1 miliar rupiah ke atas, mendapat hukuman mati. Jangan takut dengan tudingan pelanggaran hak asasi manusia. Bukankah sejatinya para koruptor itu yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia?

Yang mulia Bapak Presiden Republik Indonesia,

PR kedua yang menjadi tanggung jawab Bapak adalah mengentaskan kemiskinan. Apabila korupsi bisa diberantas sampai ke akar-akarnya, niscaya tak akan timbul lagi masalah kemiskinan. Bapak Mahfud M.D—yang pada saat surat ini ditulis, sedang menjabat sebagai Menkopolhukam—menegaskan bahwa jika korupsi dapat dinihilkan, setiap warga Indonesia bisa memperoleh bonus senilai 20 juta rupiah. Sebuah jumlah yang sangat signifikan untuk hidup layak di kota besar sekalipun. Memberantas korupsi secara tuntas berarti mengentaskan kemiskinan. Bukankah ini perwujudan pepatah yang berbunyi: ”Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui”?

Yang mulia Bapak Presiden Republik Indonesia,

PR ketiga bagi Bapak adalah membenahi masalah pendidikan yang seperti benang kusut. Di samping pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas pendidikan yang baik akan ikut menyelesaikan masalah kebodohan yang notabene merupakan akar kemiskinan.

Sudah bukan rahasia lagi, jika terjadi pergantian Mendikbudristek, terjadilah pergantian kurikulum. Kurikulum lama belum sempat diimplementasikan secara tuntas, para guru sudah disibukkan dengan penerapan kurikulum baru. Semuanya dilakukan secara terburu-buru. Lalu bagaimana mungkin kita bisa berbicara soal mutu? Sebagai seorang pendidik, saya mengalami sendiri masalah tersebut. Apa pun nama kurikulumnya, siapa pun Mendikbudristeknya, para widyaiswara selalu dibebani dengan masalah administrasi, membuat laporan ini dan itu. Terdapat ratusan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi untuk mencapai standar akreditasi. Tumpukan berkas administrasi dari setiap mata pelajaran, sudah menjadi semacam mantra untuk lulus dalam akreditasi.

Di samping itu, penyeragaman kurikulum untuk seluruh siswa dari Sabang sampai Merauke, bagi saya, merupakan suatu kemustahilan yang dipaksakan. Apalagi bila kelulusan atau kenaikan kelas siswa ditentukan oleh apa yang disebut sebagai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Kemampuan siswa untuk menyerap pengetahuan itu berbeda-beda. Dalam kelas yang sama saja bisa bervariasi, apalagi dalam kelas berbeda, sekolah berbeda, dan pulau  berbeda. Bagaimana mungkin kurikulum bisa diseragamkan untuk seluruh Nusantara? Tampaknya Indonesia memerlukan Mendikbudristek yang berpengalaman menjadi guru, sehingga kurikulumnya itu membumi, tidak menggantung di awang-awang. Liku-liku praktik mendidik di berbagai daerah itu dapat berbeda dengan segala bentuk teori di atas kertas.

Oh ya, penetapan KKM yang tinggi (sesuai arahan pengawas yang juga ingin terlihat berprestasi), acap kali membuat guru melakukan manipulasi nilai. Semua dilakukan demi ”menolong siswa” dan ”meningkatkan citra sekolah”. Pendongkrakan nilai ini merupakah buah simalakama bagi pendidik. Jika dilakukan, melanggar hati nurani; jika tidak dilakukan, bisa terguling periuk nasi.

Bagi saya pribadi, mohon maaf, penyeragaman kurikulum untuk seluruh wilayah Nusantara dan manipulasi nilai, merupakan pembodohan luar biasa bagi anak bangsa.

Sebagai orang nomor satu di Republik Indonesia, Bapak harus siap sedia membenahi keruwetan masalah pendidikan di Indonesia. Bukankah para siswa yang masih belia ini kelak menjadi pemimpin bangsa, dan bukankah pendidikan merupakan dasar untuk menyiapkan mereka menjadi pemimpin yang cerdas dan berkarakter baik?

Yang mulia Bapak Presiden Republik Indonesia,

PR keempat yang perlu segera dituntaskan adalah masalah diskriminasi, terutama yang terkait dengan etnis dan agama. Meski semua orang itu setara di depan hukum, faktanya masih sering terjadi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan pemeluk agama nonmuslim.  Kelompok etnis Tionghoa acap kali digeneralisasikan sebagai golongan yang eksklusif, suka menyuap, egoistis, dan lain-lain. Jika terjadi kerusuhan, misalnya, etnis Tionghoa sering dijadikan kambing hitam. Kerusuhan Mei 1998 adalah contoh yang jelas tentang adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Orang yang tak mengerti duduk persoalan, jadi korban penjarahan dan perkosaan.

Di samping itu, istilah ”Cina” masih sering diucapkan dengan konotasi dan intonasi negatif, meskipun sudah diganti penggunaannya melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2014. Melalui Keppres ini, Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, telah mengganti istilah ”Cina” dengan ”Tionghoa”. Namun, karena tak ada sanksi yang tegas terhadap pelanggaran, istilah ”Cina” dengan konotasi negatif tetap berkembang. Malangnya, sejumlah media massa ikut menyebarkannya.

Lupakah kita pada Sie Kong Lian—pemilik rumah di jalan Kramat Raya 106 Jakarta—yang menyediakan tempat tinggalnya untuk penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua? Sudah lupakah kita pada nama Djiaw Kie Siong—orang Tionghoa yang merelakan rumahnya jadi tempat persembunyian Soekarno-Hatta—pada peristiwa Rengasdengklok? Lupakah kita pada sejumlah etnis Tionghoa yang ikut berjuang bersama etnis lain untuk merebut kemerdekaan dan menjadi veteran? Lupakah pula kita pada nama Yap Thiam Hien—pengacara kondang yang sering membantu rakyat miskin yang tertindas?

            Jika dipikirkan lebih lanjut, sungguh absurd rasanya. Betapa tidak! Dari buku sejarah, kita mengetahui bahwa nenek moyang bangsa Indonesia itu berasal dari Provinsi Yunan, Tiongkok Selatan. Mereka berasimilasi dengan penduduk asli di berbagai pulau di Nusantara. Oknum tertentu yang menggunakan istilah ”Cina” dalam konotasi negatif, sejatinya telah menghujat dan merendahkan martabat nenek moyang mereka sendiri.

Dalam kaitan ini, saya teringat akan ucapan bjaksana dari almarhum Gus Dur: ”Kelompok mayoritas harus mampu melindungi kelompok minoritas. Itulah salah satu esensi keadilan. Berkat kebijakan beliau, etnis Tionghoa mulai diizinkan untuk merayakan hari raya Imlek. Sebelumnya terdapat larangan untuk merayakannya dengan alasan sentimen rasis.

Diskriminasi juga masih tampak dalam masalah ibadah dan pendirian rumah ibadah. Di daerah tertentu masih terdapat pelarangan ibadah bagi nonmuslim; orang yang sedang beribadah diusir di bawah ancaman. Bahkan ada kelompok tertentu yang terpaksa beribadah di jalanan karena tempat ibadah mereka disegel dengan sewenang-wenang. Akan tetapi, syukurlah pada akhirnya, rumah ibadah itu bisa dibuka kembali.

Diskriminasi pendirian tempat ibadah nonmuslim masih tampak jelas sampai hari ini, dengan pemberlakukan SKB 3 Menteri. Keberadaan SKB 3 Menteri ini jelas melanggar hak dan kebebasan warga negara untuk menjalankan ibadahnya  masing-masing yang diatur dalam UUD 1945. Sebagai orang nomor satu di Indonesia, Bapak harus sanggup meniadakan atau membatalkan SKB 3 Menteri ini, sehingga kebebasan memeluk agama dan beribadah bagi setiap warga bukan sekadar menjadi jargon kosong belaka. Indonesia sungguh-sungguh memerlukan sosok pemimpin yang adil dan bijaksana untuk seluruh kaum, etnis, dan golongan di Indonesia.

Yang mulia Presiden Republik Indonesia,

PR kelima yang Bapak perlu kerjakan merupakan pergumulan pribadi Bapak terkait dengan pengabdian kepada bangsa dan negara. Tanpa bermaksud menggurui, saya sekadar mengingatkan bahwa Bapak itu diusung jadi presiden dengan dukungan partai politik. Akan tetapi, perlu kita mengingat kalimat bijak dari mendiang Presiden John F. Kennedy: ”Kesetiaan kepada partai politik berakhir, ketika kesetiaan kepada negara dimulai.” Itu mulai berlaku sejak Bapak dilantik menjadi presiden. Bapak bukan lagi sekadar milik partai politik, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia. Kepentingan seluruh rakyat Indonesia harus berada di atas kepentingan partai politik.

Yang mulia Bapak Presiden Republik Indonesia,

Last but not least, di bagian pemungkas surat ini, saya juga bermaksud mengingatkan bahwa jabatan seseorang—apa pun itu, tinggi atau rendah—merupakan amanah. Semuanya harus dikembalikan dalam bentuk tanggung jawab kepada Sang Pemberi Amanah. Karenanya, berusahalah sebaik mungkin, seserius mungkin, sejujur mungkin, sesetia mungkin, dalam menunaikan tugas yang berat tetapi mulia ini.

Saya sungguh berharap Bapak mampu menuntaskan kelima PR di atas dengan baik dan menghayati benar-benar makna amanah, sehingga nama harum Bapak akan selalu melekat erat di hati rakyat.

Saya hakul yakin, dengan penggalangan kerja sama yang baik dari seluruh komponen bangsa dan dukungan doa seluruh rakyat Indonesia, Bapak akan dapat menuntaskan tugas yang berat tetapi mulia ini dengan baik dan bertanggung jawab. Tugas dan jabatan hanyalah sementara, tetapi rekam jejak pengabdian Bapak tertulis abadi dengan tinta emas dalam catatan sejarah anak bangsa.

 

Salam cinta damai,

 

Budianto Sutrisno

 

***

 

 

 

 



Friday, May 17, 2024

 

Perlukah Anak-Anak Belajar Bahasa Asing sejak Usia Dini?

 



Di tengah derasnya arus globalisasi yang tak terbendung dewasa ini, penguasaan bahasa asing telah berperan sebagai kunci yang membuka pintu menuju ke berbagai peluang emas. Keterampilan berbahasa asing tidak hanya berharga dalam konteks profesional, tetapi juga bermanfaat dalam pengayaan pribadi. Dengan memperkenalkan bahasa asing kepada anak-anak usia dini, kita membuka jendela cakrawala berpikir mereka dan mempersiapkan mereka sebagai warga dunia yang memiliki kompetensi yang baik.

 Platform pendidikan daring                                                                                                
Menyadari akan pentingnya hari depan anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa, Cakap Kids Academy telah membuka kesempatan bagi anak-anak Anda untuk belajar bahasa Inggris dan Mandarin melalui platform pendidikan daring yang sangat praktis. Sarana pendidikan ini membuat Anda bebas khawatir akan kemacetan lalu lintas dan kesulitan mencari tempat parkir kendaraan.                                                                     
Anak-anak usia 4—12 tahun akan mendapat bimbingan dari para guru yang ramah, profesional, dan bersertifikat TESOL,TOEIC, TESL, HSK/HSKK. Sangat menjanjikan, bukan? Guru-guru yang profesional ini menerapkan metode pembelajaran yang menarik dan efektif. Mereka melakukan pendekatan secara holistik, yang tidak hanya berfokus pada penguasaan kosakata dan tata bahasa, tetapi juga pada pengembangan keterampilan berkomunikasi dan pemahaman budaya.                                                                                                    
Tak pelak, Cakap Kids Academy merupakan salah satu sarana belajar bahasa asing yang tepat dan dapat diandalkan kualitasnya di zaman globalisasi. Ingatlah, bahwa hari depan bangsa Indonesia terletak di pundak anak-anak yang kelak menjadi pemimpin bangsa. Dan Anda adalah orang tua yang ikut andil dalam menentukan hari depan tersebut.                   

Berbagai manfaat                                                                                                                                Belajar bahasa asing sejak usia dini bukanlah sekadar upaya menghafal kosakata atau memperbaiki tata bahasa. Belajar bahasa asing merupakan latihan mental untuk memperkuat kemampuan otak dalam beradaptasi dan tumbuh kembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki keterampilan bilingual itu memiliki kemampuan multitasking yang lebih baik ketimbang anak-anak yang hanya terampil dalam satu bahasa.

Seperti kita ketahui, periode emas perkembangan otak anak terjadi pada periode awal kehidupan mereka. Pada periode tersebut, pertumbuhan dan perkembangan otak mencapai puncaknya. Pada fase inilah anak memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menyerap dan memproses informasi baru dengan efisiensi yang menakjubkan. Dengan demikian, belajar bahasa asing sejak usia dini bukan saja perlu, melainkan sangat perlu!                                                                                                                                                          

Di samping itu, belajar bahasa asing juga bermanfaat bagi pengembangan sosial dan emosional anak. Interaksi dalam bahasa asing akan memperkaya kecerdasan emosional anak. Mereka dapat belajar perihal empati dan pemahaman lintas budaya. Hal ini memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang-orang dari latar belakang yang beragam. Ini bukan sekadar dapat memperkuat hubungan sosial, melainkan juga membuka pintu untuk peluang emas dalam skala internasional di masa depan—baik dalam studi maupun karier.                                                                                                                                    

Dengan menguasai bahasa asing, anak-anak dapat dengan mudah menjalin hubungan sosial dengan teman-teman yang berasal dari berbagai latar belakang budaya. Keterampilan ini menjadi modal yang sangat berharga di era globalisasi sekarang ini, di mana interaksi dan kolaborasi lintas negara menjadi sesuatu yang lazim terjadi.                                                                                                                                                

Anak-anak yang belajar bahasa asing sejak usia dini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Mereka cenderung lebih terbuka dan responsif terhadap perspektif pandangan yang berbeda. Selain itu, mereka juga memiliki kemampuan beradaptasi yang lebih baik dalam lingkungan sosial yang beragam. Keterampilan ini akan membantu mereka dalam membangun jaringan sosial yang luas, sekaligus juga memberikan fondasi yang kuat bagi kesuksesan mereka di masa depan.       

Manfaat lain yang bisa diperoleh dari belajar bahasa asing sejak usia dini adalah meningkatnya memori secara signifikan. Memori merupakan salah satu aspek kognitif yang sangat penting dalam sebuah proses pembelajaran.                                                                                                                                     

Fakta menunjukkan bahwa anak-anak yang terampil berkomunikasi dalam lebih dari satu bahasa, sering menunjukkan kinerja yang mengesankan dalam penyelesaian tugas yang berkaitan dengan memori kerja. Fungsi memori kerja ini merupakan kunci utama dalam mendukung keberhasilan akademik.                       

Penelitian yang dilakukan oleh Adesope et al pada 2010, memberikan bukti empiris yang mendukung fenomena ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan kemampuan bilingual memiliki kemampuan memori yang lebih tajam dan canggih ketimbang anak-anak yang monolingual. Keunggulan ini tidak hanya terbatas pada kemampuan berbahasa, tetapi juga merambah pada pemahaman konsep-konsep akademik lainnya. Dengan kata lain, bilingualisme tidak hanya memperkaya kemampuan berkomunikasi, tetapi juga memperkuat struktur kognitif yang mendukung pembelajaran di berbagai bidang ilmu.                                     

Pemahaman ini membawa implikasi penting dalam dunia pendidikan. Kurikulum yang mendukung pembelajaran bahasa kedua dan ketiga sejak usia dini, dapat menjadi investasi jangka panjang untuk membangun fondasi memori yang kuat bagi para siswa. Dengan demikian, pendidikan bilingual tidak hanya berguna untuk mempersiapkan siswa menjadi warga dunia yang well-connected dengan bangsa lain, tetapi juga memberikan manfaat kognitif yang merupakan sarana untuk meraih kesuksesan akademik di masa depan.

Kesimpulan                                                                                                                                  Penguasaan bahasa asing merupakan kunci yang banyak membukakan pintu peluang emas—bukan saja dalam  karier, melainkan juga dalam memperkaya kehidupan sosial dan emosional. Dengan menggalakkan upaya pemahaman antarbudaya, empati, dan toleransi, kita mempersiapkan anak-anak kita untuk menjadi warga dunia yang lebih dewasa dan bertanggung jawab.                                                                               

Mari kita dukung dan dorong generasi muda untuk memeluk keanekaragaman bahasa dan budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan mereka, demi tercapainya masa depan bangsa yang lebih cerah.   

Untuk keterangan lebih rinci tentang pendidikan bahasa asing yang berkualitas bagi anak usia dini, Anda dapat menghubungi tautan berikut ini.

-          https://cakap.com/kids-academy/

-          https://blog.cakap.com

-          https://cakap.com/cakap-kids/kursus-bahasa-inggris-anak/

 Kode referral: BUDCKPSN3VVXN

 Daftar Pustaka

  Bialystok, E. (2010). Bilingualism: The good, the bad, and the indifferent. Bilingualism: Language and          Cognition, 12(1), 3-11.

2.          Cummins, J. (2000). Language, power, and pedagogy: Bilingual children in the crossfire. Multilingual          Matters.

3.          Genesee, F. (1987). Learning through Two Languages: Studies of Immersion and Bilingual Education.    Newbury House Publishers.

4.             Hakuta, K. (1986). Mirorr of Language: The debate of bilingualism. Basic Books.

5.              Rumbaut, R.G. (2014). Ages, life stages, and generational cohorts: Decomposing the immigrant first        and second generations in the United States. International Migration Review, 38(3), 1160-12-5.


1.     

1.