Friday, August 31, 2018

Glek… Glek… Glek… Asik tanpa Toxic!



Glek… Glek… Glek… Asik tanpa Toxic!

Oleh Budianto Sutrisno

           Sosoknya sangat atletis. Tinggi badan 185 cm, berat badan 80 kg. Pekerjaannya guru olahraga di sebuah SMP swasta di Jakarta. Dialah Tri Sulistyo, yang akrab disapa ’Pak Tri’ oleh murid-muridnya.  Tutur katanya sangat santun, sehingga Pak Tri menjadi salah satu guru favorit para murid.
            Pak Tri memang guru olahraga yang ideal; selalu tampil prima setiap hari, meski pak guru hebat dan ganteng ini mengajar untuk 12 kelas dalam seminggu. Setiap sesi pelajaran berlangsung selama 2 x 40 menit. Jadi, Pak Tri dalam seminggu menghabiskan waktunya di lapangan selama 80 x 12 = 960 menit, alias 16 jam. Sebuah aktivitas yang membutuhkan stamina tinggi serta kecukupan cairan tubuh untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
            Siang itu panas matahari begitu menyengat. Tampak Pak Tri sedang mengajarkan praktik bola basket  di lapangan. Dia menunjukkan bagaimana cara dribbling, menggiring bola dengan benar, jump shot, melempar bola sambil melompat, dan blocking untuk menghalangi lawan mencetak skor. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya.
Pilihan tepat untuk berasik tanpa toxic seusai beraktivitas.
Di bawah naungan pohon di tepi lapangan, saya memperhatikan Pak Tri – rekan sekerja saya – beraksi di lapangan. Kebetulan saat itu saya tidak ada jadwal mengajar.
            Saat rihat tiba, dengan dipenuhi rasa ingin tahu, saya bergegas bertanya kepada Pak Tri, ”Pak, apa sih rahasia Bapak sehingga selalu segar meskipun sudah 2 jam pelajaran memimpin olahraga; apakah Bapak tidak haus?”
            Dengan tersenyum, Pak Tri mengeluarkan isi tasnya seraya merespons pertanyaan saya, ”Haus sih haus, Pak Budi; tapi ini loh rahasia saya menghilangkan rasa haus sekaligus mencegah dehidrasi di tengah padatnya aktivitas.”
            Tampak di tangannya 2 botol minuman berwarna kuning muda. Saya amati. Ternyata minuman itu bermerek Natsbee Honey Lemon dari Pokka.
            ”Coba cicipi, Pak,” Pak Tri menyodorkan sebotol Natsbee Honey Lemon kepada saya.
            Tanpa basa-basi minuman berwarna kuning muda itu langsung saya teguk, ”Glek… glek… glek…, wah segarnya!”
            Ada rasa manis yang tak ’menyengt’ lidah bercampur dengan citarasa lemon yang sedikit masam serta segar.
            Gimana rasanya, Pak Budi,” tanya Pak Tri dengan wajah semringah.
            ”Enak dan segar banget, Pak, thanks,” sahutku dengan nada bersemangat, ”beli di mana, mahal ya, harganya?”
            ”Kombinasi madu dan lemonnya memang pas banget, sehingga enak rasanya, dan cocok untuk menghilangkan rasa haus, serta sama sekali tak mengandung pemanis buatan yang bisa membahayakan kesehatan. Bisa dibeli di mini market, dan harganya pun masih terjangkau oleh dompet kita sebagai guru, Pak Budi,” jelas Pak Tri sambil mengulum senyum, ”oh ya, lemon mengandung vitamin C, sehingga saya tak pernah sariawan lagi,” imbuh Pak Tri.
            Saya ikut menimpali, ”Setahu saya, kombinasi lemon dan madu itu berkhasiat untuk menghilangkan racun dalam tubuh, Pak Tri.”
            ”Benar, Pak Budi; racun itu bisa berasal dari gaya hidup tak sehat dalam mengonsumsi makanan dan minuman, stres, atau dari udara kotor yang kita hirup; Natsbee Honey Lemon dapat berfungsi baik untuk detoksifikasi,” jelas Pak Tri, ”apalagi setiap hari saya harus mengendarai sepeda motor dari Depok ke Jakarta, sehingga berpotensi menghirup udara berpolusi.”
            ”Oh begitu, tak mengherankan bila Bapak mengonsumsi Natsbee Honey Lemon dari Pokka setiap hari.”
            ”Benar, Pak Budi; inilah yang dinamakan asik tanpa toxic.”

***
            Sejak memperoleh penjelasan dari Pak Tri, di meja kerja saya selalu tersedia 1-2 botol Natsbee Honey Lemon dari Pokka. 
Senantiasa tersedia di meja kerja setiap hari.
             Selaku guru yang mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris, saya perlu memiliki kesehatan yang baik, terutama jangan sampai mengalami tenggorokan kering dan serangan sariawan. Karenanya, setiap jam isitrahat tiba, saya selalu mengonsumsi Natsbee Honey Lemon, sehingga saya tak pernah mengalami gangguan dalam memberikan pelajaran di kelas maupun laboratorium bahasa.
            Terima kasih Pak Tri dan Natsbee Honey Lemon yang telah membawa saya ikut terjun dalam dunia asik tanpa toxic.
            Memang Natsbee Honey Lemon mampu membersihkan hari-hari aktif Anda dan saya dari polusi, stres, dan gaya hidup tidak teratur.


#AsikTanpaToxic  #BersihkanHariAktifmu dari polusi, stres, dan gaya hidup tidak teratur dengan Natsbee Honey Lemon!



           

Friday, August 3, 2018

Pendidikan Karakter di Sekolah, Seperti Apa Wujudnya?

Tulisan bertajuk "Pendidikan Karakter di Sekolah, Seperti Apa Wujudnya?" ini merupakan tulisan
dengan tema "Pendidikan Karakter di Zaman Keder".
Di ajang kompetisi Guru Menulis Tingkat Nasional yang diselenggaraka oleh
Muhammadiyah Antapani Primary Secondary School, tulisan ini telah terpilih sebagai Juara II.
Kiranya karya tulis ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para insan 
yang bergerakdi dunia pendidikan di Indonesia.
Soli Deo Gloria!


Pendidikan Karakter di Sekolah, Seperti Apa Wujudnya?

Oleh Budianto Sutrisno


       Di dalam kurikulum yang berlaku sekarang ini – Kurikulum 2013 – disebutkan adanya pendidikan karakter. Sekelompok orang mengatakan dengan nada skeptis bahwa pendidikan karakter itu hanya sekadar tempelan. Seperti apa wujud nyata pendidikan karakter itu? Mari kita mencoba untuk membahasnya.

Kegagalam lembaga pendidikan
           Pertanyaan mendasarnya adalah: Perlukah pendidikan karakter? Untuk menjawabnya, mari kita lihat sejumlah keadaan di tanah air. Kita menyaksikan fenomena tawuran sering terjadi di antara para siswa di banyak kota di Indonesia. Aksi kekerasan dan kebrutalan semakin merajalela. Paparan pornografi dan penyalahgunaan narkoba semakin marak. Siswa berani memukul guru, bahkan sampai guru meninggal dunia. Dan astaga! Bocah SD jatuh ke dalam pelukan pelacur tua di Jawa Timur. Dan masih banyak lagi. 
            Hal-hal yang memprihatinkan ini menandakan gagalnya institusi pendidikan di Indonesia dalam memberikan pendidikan karakter bagi para siswa.
             Sejatinya, keluarga merupakan peletak dasar utama pendidikan karakter, karena siswa lebih banyak meluangkan waktunya dalam keluarga ketimbang di sekolah. Dengan demikian, guru perlu bekerja sama dengan orang tua siswa, karena pendidikan di sekolah dan di rumah itu harus sinkron satu dengan yang lain. 
         Tak pelak, guru dan orang tua harus menjadi suri teladan yang baik bagi setiap siswa. Bayangkan, bila seorang guru berniat menanamkan karakter disiplin kepada siswa agar tidak datang terlambat, misalnya, tetapi guru itu sendiri sering datang terlambat. 
           Bila ini terjadi, jangan berharap siswa mau memperhatikan nasihat atau masukan dari guru yang bersangkutan, karena siswa telah kehilangan kepercayaan terhadap gurunya sendiri. Jadi kunci utamanya adalah kepercayaan siswa terhadap guru. 
          Apa sih sebenarnya pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah pendidikan yang diberikan untuk menyiapkan keterampilan siswa guna menghadapi kenyataan-kenyataan di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bagaimana membawa diri dalam pergaulan, bagaimana harus berbicara santun, bagaimana harus bertoleransi kepada orang lain, bagaimana menyikapi kenaikan harga bahan bakar, listrik, dan lain sebagainya. 
           Orang tua mana yang tak menginginkan anaknya menjadi pribadi yang berintelektualitas tinggi sekaligus memiliki perilaku yang baik dan menghormati orang lain? Prestasi akademis sering diutamakan. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa sukses dalam kehidupan itu tidak selalu bergantung pada kemampuan akademis seseorang.

Bermacam pendapat
Ada  pihak yang menyatakan bahwa pendidikan karakter itu adalah membuat siswa melakukan apa yang diperintahkan oleh guru. Hal semacam ini membawa kita kepada pembebanan suatu sanksi dan sistem ’hadiah dan hukuman’ yang hanya berdaya guna untuk sementara saja. Pemberian ’hadiah dan hukuman’ tak memberikan dampak yang menolok bagi perubahan karakter dalam jangka panjang.
Di samping itu, sistem ini hanya membuat siswa menjadi pengekor gurunya dan tidak terlatih untuk mengekplorasi pengalaman hidup lebih jauh. Eksplorasi memungkinkan siswa mengalami sendiri berbagai tantangan dan kesulitan yang membentuk mereka menjadi pribadi yang tekun, tangguh, dan mandiri. Dan setiap siswa itu adalah pribadi yang unik. Karenanya, janganlah kita mencoba membuatnya menjadi copy cat guru. Tugas guru – seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara – adalah tut wuri handayani (dari belakang ikut memberikan dorongan dan arahan). Guru perlu menekan atau mengurangi ego-nya dalam mempraktikkan pendidikan karakter. Guru dan siswa perlu sama-sama mengasah keterampilan dalam mengembangkan karakter yang baik.
 Berdasarkan studi Dr. Marvin Berkowitz – seorang pakar pendidikan karakter dari University of Missouri, St. Lois – ternyata pendidikan karakter memiliki pengaruh besar terhadap peningkatan motivasi siswa untuk meraih prestasi. Pada kelas-kelas tertentu terdapat penurunan drastis perilaku negatif siswa yang menghambat keberhasilan akademis. Hal ini muncul, karena salah satu tujuan pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai dan aturan yang ada. Bila siswa berintegritas, maka ia akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri untuk menghadapi hambatan dalam belaja.

Wujud nyata                                                                                                                                     
         Jika ditanya tentang apa dan bagaimana wujud pendidikan karakter itu, maka penulis selalu merujuk pada pendidikan karakter di sejumlah SD di Jepang.
        Setiap jam makan siang, para siswa sudah berbaris rapi di ruang makan, lalu memberikan hormat kepada juru masak. Seusai makan, mereka membersihkan sendiri seluruh peralatan makan mereka, lalu mengepel lantai. Ya, mengepel lantai secara beregu. Sebuah contoh nyata bagaimana pendidikan karakter sudah ditanamkan sejak usia dini. Benar-benar melatih siswa untuk berdisiplin, mandiri, dan mengerti tanggung jawab.
        Pendidikan karakter itu mencakup ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective), sikap (attitude), dan tindakan (action). Harus mampu memberikan ’asupan’ bukan hanya bagi raga, tetapi sekaligus juga bagi jiwa berupa moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau benar-salah. Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter harus dilakukan dengan mengacu kepada grand design tersebut.
           Itu sebabnya dalam pelajaran Agama, misalnya, jangan hanya ditekankan aspek berdoa dan ibadah saja, melainkan juga bagaimana menerapkan secara nyata ajaran agama dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat yang majemuk.
       Pesan dalam story telling, menurut hemat penulis, merupakan salah satu cara ampuh untuk menyampaikan pendidikan karakter kepada para siswa. Para siswa dapat secara bergantian membawakan story telling dalam acara di dalam kelas maupun acara-acara penting yang diselenggarakan oleh pihak sekolah, misalnya HUT sekolah dan peringatan hari raya tertentu. Di sini pesan pentingnya tidaklah secara masif diindoktrinasikan kepada para siswa, namun nilai-nilai moral yang baik dapat tertanam ke dalam hati dan pikiran mereka secara ’lembut’. Inilah yang disebut sebagai pendekatan soft-selling dalam komunikasi pemasaran. Lembut itu kuat.
          Martin Luther King mengatakan bahwa kecerdasan plus karakter… itu adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya (Intelligence plus character… that is the goal of true education).
          Jika tokoh besar kaliber dunia – yang memiliki rekam jejak karakter positif – telah mengatakan betapa pentingnya peran pendidikan karakter, masihkah kita ragu-ragu untuk menerapkannya?
         Tantangan – terutama bagi para guru – memang berat. Akan tetapi, janganlah pendidikan karakter membuat kita keder dalam menerapkannya di tengah zaman yang penuh dengan gejolak negatif.
        Pendidikan karakter merupakan kunci membangun peradaban bangsa yang memanusiakan manusia.

***