Materi esai yang penulis beri judul "Krisis Akhlak di Kalangan Pemuda Indonesia, Apa Penyebab dan Soluisinya?" ini telah berhasil menyabet Juara III dalam lomba cipta esai yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Syarif Hidayatullah (Unsyiah).
Lomba cipta esai ini mengambil topik "Peran Pemuda dalam Menghadapi Krisis Moral Generasi Muda Indonesia pada Era Milenial".
Soli Deo Gloria!
Krisis Akhlak di Kalangan Pemuda Indonesia, Apa Penyebab dan Solusinya?
Oleh Budianto Sutrisno
Tak pelak, krisis akhlak atau dekadensi
moral telah merebak di kalangan pemuda Indonesia, bahkan ada pula yang menimpa
anak Sekolah Dasar.
Hampir setiap hari kita dipapar dengan berita-berita miring – tentang tawuran, seks bebas, narkoba, mabuk minuman keras, pemalakan, pornografi, tindak kekerasan terhadap guru, dan lain sebagainya – di berbagai surat kabar maupun media sosial. Yang menakutkan adalah munculnya pendapat yang menyatakan ’bukan pemuda kalau tak terlibat dalam kemerosotan akhlak’. Ini sama saja dengan menggeneralisasikan dan mengidentikkan pemuda dengan kerusakan moral. Benarkah demikian?
Hampir setiap hari kita dipapar dengan berita-berita miring – tentang tawuran, seks bebas, narkoba, mabuk minuman keras, pemalakan, pornografi, tindak kekerasan terhadap guru, dan lain sebagainya – di berbagai surat kabar maupun media sosial. Yang menakutkan adalah munculnya pendapat yang menyatakan ’bukan pemuda kalau tak terlibat dalam kemerosotan akhlak’. Ini sama saja dengan menggeneralisasikan dan mengidentikkan pemuda dengan kerusakan moral. Benarkah demikian?
Sumber
masalah
Masa
remaja dan pemuda merupakan masa yang sangat kritis, karena para kawula muda
ini sedang mencari jati diri dan cenderung ingin mencoba sesuatu yang baru,
yang belum tentu bersifat positif. Sesuatu yang baru ini terutama terkait
dengan tren budaya dan gaya hidup yang bersifat global. Mereka sangat
memerlukan tokoh panutan (role model)
dalam hidupnya, agar tidak sesat di jalan. Tokoh panutan yang efektif adalah
orang tua mereka sendiri, guru atau sosok yang dituakan.
Celakanya,
sejumlah orang tua dan guru justru tak mampu memberikan suri teladan yang
positif bagi generasi muda. Belum lama ini, penulis membaca laporan yang cukup
mengejutkan yang diliput oleh Tempo Co.
Laporan itu menyatakan bahwa 57% guru di sekolah negeri bersifat intoleran
terhadap orang yang memeluk agama berbeda.
Bayangkan, lebih dari
separuh guru justru memberikan contoh yang tidak terpuji kepada peserta
didiknya. Tidak mengherankan, bila akhir-akhir ini perbuatan ekstrem radikal
sering terjadi, dan kebanyakan pelakunya adalah para pemuda..
Beberapa
hari yang lalu juga terbetik kabar, seorang guru wanita di sebuah SMP Negeri di
Jakarta, secara terang-terangan menebarkan kebencian terhadap Presiden Jokowi
kepada peserta didiknya. Menurut hemat penulis, orang dengan perilaku dan
kepribadian seperti ini, sama sekali tidak layak menjadi guru.
Sementara
itu, BBC Indonesia edisi 18 Oktober
2018 melaporkan hasil survei yang membuat penulis terperangah. Survei yang
dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) Universitas Negeri Syarif Hidayatullah ini
menyatakan bahwa 6 dari 10 guru Muslim memiliki opini intoleran terhadap
pemeluk agama lain. Survei ini dilakukan dengan mengambil sampel 2.237 guru Muslim
dari 34 provinsi di Indonesia.
Jadi,
kalau kita telusuri sumber masalah utama terjadinya krisis akhlak di kalangan
pemuda adalah tidak cukupnya tenaga guru yang sanggup memberikan suri teladan
positif kepada peserta didik. Pemberian suri teladan positif ini sangat besar
pengaruhnya bagi anak muda sejak mereka duduk di bangku SD sampai SMA.
Dalam
kaitan ini, penulis sangat setuju dengan sistem pendidikan di Jepang yang tidak
memberikan ulangan sampai siswa duduk di bangku SD kelas III (usia sekitar 8
tahun). Pendidikan etika sangat dipentingkan untuk anak-anak prausia SD kelas
IV. Mereka dididik bagaimana mengantre dengan baik, bagaimana menolong sesama,
bagaimana menghormati teman, orang tua, dan guru, bagaimana berdisiplin dalam
berlalu lintas, bagaimana menjaga kebersihan diri serta lingkungan, dan lain sebagainya.
Jadi,
etika dan ajaran moral/agama diletakkan lebih dahulu sebagai dasar pendidikan
yang kokoh, baru kemudian diajarkan hal-hal yang bersifat kognitif.
Penyebab-penyebab
lain
Jika
ditelusuri lebih dalam, penyebab kedua krisis akhlak di kalangan pemuda adalah
kaburnya penerapan nilai-nilai agama secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pelajaran
agama cenderung hanya bersifat tempelan, menghafal ayat-ayat suci tanpa
menggali substansi relevansinya dengan situasi di zaman milenial ini. Di
samping itu, sejumlah tokoh agama justru memberikan contoh yang tidak baik
kepada generasi muda, karena mereka melakukan korupsi dan penyelewengan
seksual. Atribut agama sering kali hanya digunakan untuk menutupi perbuatan
yang tidak terpuji. Ujung-ujungnya para pemuda mengikuti jejak mereka. ’Yang
senior boleh, mengapa kami tidak?’, mungkin begitu pola pikir para pemuda. Oleh
karenanya, para pemuda perlu membangun kesadaran diri untuk tidak ikut-ikutan
dalam arus yang keliru serta giat menerapkan ajaran agama secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Penyebab
ketiga adalah pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi, terutama yang
terkait dengan budaya dan gaya hidup. Globalisasi memiliki 2 sisi mata uang. Di
satu sisi dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan hubungan
antarnegara, tetapi di sisi lain globalisasi dapat mengakibatkan terjadinya
krisis akhlak di kalangan anak muda.
Film-film
produksi luar negeri (terutama dari negara Barat) sering kali menyajikan adegan
yang kurang pantas, atau malah dapat dikategorikan ke dalam pornografi. Selain
itu, siaran berbagai stasiun televisi – baik dari dalam maupun luar negeri –
sudah menyerbu ke segala pelosok tempat. Banyak programnya yang mengandung
adegan kekerasan, seks bebas, dan gaya hidup hedonistis. Belum lagi pengaruh negatif
internet yang sudah mengglobal. Dari internet, siapa saja yang memiliki akses,
dapat menonton berbagai film porno. Meskipun pemerintah telah melakukan
pembatasan/pemblokiran terhadap situs-situs tertentu, tetapi kemajuan teknologi
tetap memungkinkan para pemuda untuk menonton film-film atau acara di sejumlah
situs porno yang sudah diblokir. Situs-situs porno ini sangat merusak akhlak
para pemuda dan merampas waktu belajar mereka. Tugas belajar mereka menjadi
terbengkalai.
Terkait dengan maraknya
peredaran film-film porno, perkembangan selama 10 tahun terakhir ini
menunjukkan tren yang berbeda. Kalau dulu para pemuda itu cenderung menjadi
korban, sekarang mereka justru menjadi pelaku. Sejumlah pelajar melakukan
adegan mesum yang direkam dengan video, lalu disebarluaskan ke masyarakat.
Bahkan, hal tak senonoh itu dilakukan oleh 2 oknum mahasiswa dari sebuah
perguruan tinggi beragama. Sanksi hukuman apa yang bisa membuat mereka jera?
Rasa malu sepertinya sudah raib dari kepribadian mereka. Para pemuda tidak
perlu menyebarkan berita-berita miring itu – termasuk juga berita hoaks – ke media
sosial, apalagi berperan sebagai pelaku.
Yang lebih mengerikan,
cara merakit bom pun dapat dipelajari serta ditiru lewat internet. Sungguh
sangat berbahaya! Inilah efek samping kemajuan teknologi yang berpotensi
membuat kekacauan di mana-mana.
Para pemuda perlu
menyadari bahwa tugas utama mereka adalah untuk belajar, mempersiapkan diri
menjadi pemimpin bangsa, sehingga tak perlu menyia-nyiakan waktu untuk hal yang
tak berguna.
Penyebab keempat adalah
salah pergaulan. Manusia memang merupakan makhluk sosial yang harus
berinteraksi dengan manusia lain. Masalahnya, manusia itu memiliki watak dan
perilaku yang bisa bersifat positif maupun negatif.
Karenanya, para pemuda perlu
memperoleh bimbingan dan pengarahan – dari orang tua maupun guru – dalam hal
pergaulan. Pemuda itu sendiri harus membangun semacam ’filter’ yang menyaring
mana pergaulan yang positif dan mana yang negatif. Bukankah ada pemeo yang
mengatakan ’Bergaul dengan tukang arang, akan ikut tercoreng warna hitam,
bergaul dengan penjual parfum, akan ikut beraroma harum’?
Solusi
yang tepat
Solusi yang pertama dan utama adalah penyediaan tenaga guru yang mumpuni di bidang pembelajaran moral, baik secara teori maupun praktik. Rekrutmen guru perlu diperketat dengan tes psikologi yang kredibel untuk mendudukkan orang yang tepat sebagai pendidik yang bermoral tinggi dan bertanggung jawab serta mampu menjadi panutan.
Solusi yang pertama dan utama adalah penyediaan tenaga guru yang mumpuni di bidang pembelajaran moral, baik secara teori maupun praktik. Rekrutmen guru perlu diperketat dengan tes psikologi yang kredibel untuk mendudukkan orang yang tepat sebagai pendidik yang bermoral tinggi dan bertanggung jawab serta mampu menjadi panutan.
Berkaca
pada banyaknya guru yang intoleran terhadap orang yang memeluk agama lain,
pemerintah – dalam hal ini Kemendikbud – perlu memperhatikan segi heterogenitas
lingkungan guru dan siswa dalam proses belajar mengajar, terutama lingkungan
guru. Heterogenitas ini terutama mencakup segi agama dan ras. Homogenitas pergaulan
guru dalam sekolah cenderung menghasilkan orang-orang berwawasan sempit dan
bertindak radikal. Pada 10-20 tahun yang lalu, situasi lingkungan pergaulan
guru jauh lebih heterogen dibandingkan dengan situasi sekarang ini. Itu
sebabnya, calon siswa dan orang tua siswa perlu memastikan bahwa lingkungan
guru di sekolah itu bersifat heterogen sebelum menjatuhkan pilihan hendak
bersekolah di mana.
Solusi
kedua adalah perbaikan kurikulum. Pelajaran tentang menghormati perbedaan atau
kebinekaan perlu dimasukkan ke dalam kurikulum. Baik guru maupun peserta didik
harus menyediakan waktu yang cukup untuk memperluas wawasan kebangsaan
Indonesia yang memang ditakdirkan beragam. Para pemuda bisa mempelajari wawasan
kebangsaan ini lewat buku-buku sejarah serta biografi tokoh-tokoh dunia yang berpengaruh.
Beragam suku bangsa, bahasa,
budaya, agama, dan adat istiadat adalah sesuatu yang niscaya. Tidak ada seorang
pun yang boleh merasa dirinya lebih hebat daripada yang lain.
Di
samping itu, pelajaran olahraga dan tugas-tugas kelompok bisa melatih para
peserta didik untuk memahami orang lain yang berbeda. Pelajaran kesenian perlu
diintensifkan, karena kesenian cenderung memiliki kekuatan untuk memperhalus etika
dan perilaku. Demikian juga perlu digalakkan mata pelajaran budi pekerti untuk
mengasah moral para pelajar. Satu hal lagi yang tak kurang pentingnya, mata pelajaran
tentang HAM juga perlu dicantumkan di dalam kurikulum yang baru. Setiap warga
negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum.
Solusi
ketiga adalah pemuda perlu membentengi diri dengan iman yang kuat, sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Di sini, peranan guru agama sangat
penting. Guru agama harus mampu memberikan contoh nyata bentuk cinta kasih,
kebaikan, dan kedamaian dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bukankah setiap
agama itu pada hakikatnya mengajarkan cinta kasih, kebaikan, dan kedamaian?
Adalah mustahil bagi
kita untuk meniadakan sama sekali pengaruh buruk globalisasi dan kemajuan
teknologi. Para pemuda perlu menanamkan rasa takut akan Tuhan dalam hati mereka.
Hal ini akan menghindarkan mereka dari pengaruh negatif globalisasi, kemajuan
teknologi, dan salah pergaulan.
Kesimpulan
Dari apa yang telah penulis paparkan di atas, maka solusi terhadap krisis moral para pemuda itu memerlukan peran serta dari berbagai pihak. Kita tak bisa bertindak sendiri-sendiri, karena masalahnya begitu kompleks. Diperlukan kerja sama yang baik di antara para pemuda, orang tua, guru, rohaniwan, tokoh-tokoh panutan, dan masyarakat luas.
Dari apa yang telah penulis paparkan di atas, maka solusi terhadap krisis moral para pemuda itu memerlukan peran serta dari berbagai pihak. Kita tak bisa bertindak sendiri-sendiri, karena masalahnya begitu kompleks. Diperlukan kerja sama yang baik di antara para pemuda, orang tua, guru, rohaniwan, tokoh-tokoh panutan, dan masyarakat luas.
Menurut
hemat penulis, guru dan orang tua siswa merupakan sosok yang berdiri di garda
depan dalam mencegah dan menanggulangi masalah krisis moral para pemuda. Dan
pencegahan selalu lebih baik ketimbang penanggulangan.
Salah
satu solusi pencegahan yang efektif adalah lewat menciptakan proses belajar mengajar
dengan lingkugan guru dan siswa yang heterogen, sehinga para guru dan siswa
dapat mengenal perbedaan sejak dini, dan tidak membenci orang lain yang
berbeda. Kurikulum yang sekarang ini memang sudah selayaknya diganti dengan
kandungan yang lebih relevan dengan situasi dan kondisi di zaman milenial ini.
Semoga
penggantian kurikulum bukan sekadar menjadi wacana dari tahun ke tahun tanpa realitas.
Keterlambatan hanya akan merugikan kita sendiri sebagai bangsa yang besar. Dan
kita perlu mengingat bahwa para pemuda inilah yang kelak akan menjadi generasi
penerus bangsa.
Sudah
siapkah para pemuda untuk menjadi generasi yang bermoral baik dan memiliki intelektualitas
tinggi?
***