Saturday, April 29, 2017

Puspa, Purnama, dan Cinta

Baru-baru ini Jakarta, dan beberapa kota lainnya, dilanda oleh lautan bunga aneka rupa
yang dikirimkan oleh warga kepada Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, sebagai
ucapan syukur dan terima kasih, sekaligus tanda cinta warga kepada pemimpinnya.
Peristiwa ini telah memberikan inspirasi kepada penulis ntuk menuliskan
puisi berikut ini. Selamat menikmati!


Puspa, Purnama, dan Cinta

Oleh Budianto Sutrisno


Ini bukan dongeng, bukan pula cerita fiksi
ini juga bukan kisah Sukrosono memindahkan taman Sriwedari ke Mahespati
ini kisah nyata, yang mungkin pertama terjadi dalam sejarah dan tak terulang kembali
kota bunga bukan lagi Bandung, tapi Jakarta dan beberapa kota lainnya
berbagai rangkaian puspa aneka rupa dan warna
menjadikan ibu kota semakin cantik, berbalut lautan bunga
semarak aneka puspa tengah mengiringi sorot benderang cahaya purnama
harum wangi dan berbagai rona adalah bahasa terindah
’tuk ungkapkan rasa terima kasih dan sampaikan tanda cinta
tiada pujangga kata seharum pujangga puspa
bahasa bunga adalah bahasa senyap yang kaya makna
untaian beribu kata tak mampu menyamai kedalaman maknanya
indah semakin indah, murni semakin murni
dalam bahasa senyap bunga

Bahasa kata dan tubuh bisa jadi perangkat sandiwara
tapi bahasa bunga yang tulus adalah simbol simpati murni sejati
harum mawar, melati, berpadu dengan rona krisan, aster, anyelir, dan kuntum lainnya
menyorakkan rasa terima kasih dan cinta kepada purnama yang terus berkilau
kiranya purnama terus bercahaya dalam kegelapan
’gar bangsa ini mampu melihat kebenaran sejati

Bunga memang bisa kering dan layu
tapi pesan yang terkandung di dalamnya terukir abadi
dalam sanubari dan lembar sejarah
bunga bisa terlupakan, tapi sejarah ini akan terus dikenang
terima kasih, cahaya purnama
kiranya terangmu makin benderang
cahaya purnama 'kan terus berkilau dari zaman ke zaman
menjadi pelita bagi kaki warga
menjadi nyala suluh bagi jalan setiap insan


***



Saturday, April 15, 2017

Kuembuskan Bait-Bait Puisi ke Lubuk Jiwamu

Puisi bertema bebas yang bertajuk "Kuembuskan Bait-Bait Puisi ke Lubuk Jiwamu" ini telah
terpilih sebagai Juara Harapan II dalam lomba cipta puisi Azizah III
yang diselenggarakan oleh Azizah Publishing.
Soli Deo Gloria!


Kuembuskan Bait-Bait Puisi ke Lubuk Jiwamu

Oleh Budianto Sutrisno


Selama pagi masih setia sampaikan salam kepada siang
seturut sapa hangat siang kepada sore
selama sore masih bergairah lambaikan tangan kepada malam
seturut malam bersenandung kepada pagi
asa dan rasaku terasah oleh putaran jentera waktu
kuembuskan bait-bait puisi ke lubuk jiwamu
kala ku berduka, kuembuskan satu-dua
kala ku bersuka, kuembuskan dua puluh dua
kala ku merindu, seribu bait menjelma rerimba teduh di dadamu
rerimba cinta yang mengayomi kita berdua

Napas harummu menyeruak di sela-sela pepohon
detak nadiku dan nadimu menyatu dalam tebaran aroma cinta
merayu reranting dan dedaun untuk bergeliat di musim semi
menyilakan sinar surya menerabas dengan sorak bahagia

Selama berlaksa diksi bersedia menjadi taburan benih
selama hati dan asa ini terjalin dalam utas tali rasa
rimbun rerimba tetap terjaga
tiada apa yang bisa memisahkan kita
tiada siapa yang mampu mengudar simpul cinta kita berdua


***



Sunday, April 9, 2017

Gores Takdir Tak Pernah Lafazkan Dusta

Puisi dengan tema "Takdir" berikut ini telah memenangi sebuah lomba yang diselenggarakan oleh
Sejuta Suara Indonesia yang bekerja sama dengan National Literary Competition.
Atas anugerah Tuhan, puisi ini berhasil menduduki Juara II.
Soli Deo Gloria!


Gores Takdir Tak Pernah Lafazkan Dusta

Oleh Budianto Sutrisno


Pijar bara mentari tak henti menyorotkan cahaya kemilaunya
mengukir gurat bayang emas di wajahku dan wajahmu
kala kita berdua melintasi padang sahara kehidupan
sengat panas dan kuyup keringat jadi sobat akrab
saat itu, aku tahu kau memang digariskan jadi milikku
tapi aku tak tahu apakah kau mampu membaca makna gurat tanda itu
biarlah begawan waktu yang mengungkapkannya

Mendadak rentak irama kepastian dalam hatiku berhenti berdetak
garpu tala jiwaku pun enggan bergetar
 sewaktu aku dan kau singgah di oase biru sejuk itu
kau menghilang tanpa jejak, terenggut begitu saja dari sisiku
aku limbung, serasa tiada tempat berpijak
apakah takdir tengah mengajakku bermain kecipak air?
atau dia sedang mengujiku?
sungguh aku tak tahu
untunglah, embusan angin kembara membangkitkan kesadaranku
meski harus kudaki berlaksa anak tangga langit, ku ’kan terus mencarimu
kusigi setiap kelip bintang ’tuk temukan senyummu
kutelusuri gumpal awan putih ’tuk kecup bibir merahmu
kusematkan semangatku ke sayap elang yang melanglang menembus angkasa
kupercaya kala ku dikepung bukit batu terjal tanpa celah
tangan Sang Pengukir Takdir pasti bukakan pintu bagiku dan bentangkan jalan
menuju singgasana bahagiaku serta bahagiamu
dan kau sudah berada di sana menyambutku dengan dekap mesra
tulang rusukku yang dulu menghilang sesaat, kini kutemukan kembali
terbukti sudah, gores takdir tak pernah lafazkan dusta


***