Tuesday, August 23, 2016

Indah Bersama Ayah

Puisi bertajuk "Indah Bersama Ayah" ini telah berhasil terpilih sebagai Juara V
dalam lomba cipta puisi bertema "Untuk Ayah Tercinta" yang diselenggarakan
oleh Sajak-Sajak Anak Negeri.
Soli Deo Gloria!


Indah Bersama Ayah

Oleh Budianto Sutrisno 

 
Rentang waktu berpuluh tahun tak mampu menghapus kenangan
yang merajut serat-serat indah kehidupan bersama ayah tercinta
menjalin sukacita dan dukacita, gelak tawa dan air mata
memilin bangga dan kecewa, keberhasilan dan kegagalan
dari masa kanak hingga dewasa
kala kunikmati kesegaran pagi hari bersama kepak sayap merpati
dia ikut menemani, mendekapku hangat dari belakang
dan membisikkan kata sayang
kala kuterbenam dalam kubang kegagalan
dia mengangkatku, menghibur, dan mengobarkan pijar semangatku
kala kurasa terasing dan sendiri terkungkung pasung sepi
dia menghampiri, ajakku berbincang dari hati
kala kutelan pahit empedu putus cinta
dia bilang itu ’kan membuatku tegar dan dewasa

Semua kenangan indah bersama ayah terpatri erat dalam hatiku
kudamba mengulang saat-saat itu, walau hanya sebatas tepi bayang rindu


***




Saturday, August 13, 2016

Hujan, Kopi, dan Penghuni Surga

Cerpen berjudul "Hujan, Kopi, dan Penghuni Surga" berikut ini telah menyabet Juara I dalam
lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh Inspirator Academy Purwoketo.
Cerpen yang bersifat satire ini diilhami oleh kejadian-kejadian yang berlangsung 
di tanah air kita tercinta.
Cerpen ini telah dibukukan dalam sebuah buku antologi cerpen bersama bertajuk
"Hujan, Kopi & Cinta" bersama-sama dengan karya Juara 2, 3, dan 
27 karya nominee lainnya. 
Soli Deo Gloria!


Hujan, Kopi, dan Penghuni Surga

Oleh Budianto Sutrisno

Pada suatu masa, surga penuh sesak dengan penghuni. Sudah barang tentu, seluruh penghuninya adalah orang-orang yang berkualifikasi baik, memenuhi seluruh standar persyaratan yang ditentukan oleh Panglima Malaikat Surga.
Suasana penuh sesak ini memerlukan solusi agar kenyamanan di tempat abadi ini tetap terjaga. Panglima Malaikat Surga memerintahkan Malaikat Penjaga untuk menjalankan tugas baru, yakni melakukan investigasi intensif terhadap orang yang hendak memasuki surga. Seleksi ketat akan diberlakukan. Calon penghuni harus ditanya bagaimana mereka meninggal. Jika kisah meninggalnya itu mengerikan atau mengenaskan, maka yang bersangkutan dipersilakan masuk surga. Bila tidak, mereka harus dijebloskan ke dalam neraka.
Alkisah, seorang pria setengah baya, datang menghampiri Malaikat Penjaga gerbang surga yang rajin menyeruput kopi hangat untuk mencegah kantuk. Maklum dia harus berjaga 24 jam sehari sepanjang tahun. Sang Malaikat meletakkan cangkir kopinya dan membuka pembicaraan, ”Engkau Fitenah dari Indonesia, bukan? Engkau memiliki seorang istri dan puluhan perempuan simpanan. Kau juga punya ribuan sapi impor Ngaku, nggak?”
Fitenah mengangguk penuh kegentaran. ”Benar, Mas… eh Pak… eh salah… Yang Mulia Malaikat. Istri saya memang hanya satu, tetapi dayang-dayang manis simpanan saya sebenarnya berjumlah 145, bukan 45, karena yang 100 masih belum terendus oleh pers. Sedangkan sapi impor saya jumlah tepatnya adalah 2.445 ekor, 15 ekor di antaranya jantan, sedangkan sisanya betina. Saya hanya sekadar mengikuti jejak nikmat sapi jantan saya. Saya bicara sejujurnya, Yang Mulia.”
”Hush… jangan cerita tentang koleksi dayang dan sapi,” sergah Malaikat Penjaga,  ”jawab sesuai pertanyaan, tahu?”
”Mengerti, Yang Mulia,” suara Fitenah terdengar gemetar.
”Sekarang jawab pertanyaanku. Bagaimana cara meninggalmu? Jika jawabanmu memang bisa membuat hatiku tergerak atau bulu romaku berdiri, maka kau berhak masuk surga. Tapi bila tidak, neraka adalah bagianmu.”
”Baik, Yang Mulia. Seperti Yang Mulia ketahui, saya memiliki banyak cem-ceman, sehingga istri saya cemburu berat. Saya mencurigainya, bahwa dia ingin membalas dendam atas perbuatan saya.” Sekilas, roman muka Fitenah menunjukkan rasa bangga atas keberhasilannya merebut hati banyak perempuan untuk jatuh cinta dalam pelukannya.
”Apa itu cem-ceman? Kalau tempe dan tahu bacem, saya tahu. Jangan sembarangan bicara kamu!” bentak Malaikat.
”Am… ampun Yang Mulia. Maksud… maksud saya  cem-ceman itu adalah wanita simpanan, bukan istri sah saya, Yang Mulia,” suara Fitenah makin bergetar karena cekaman rasa takut.
”Oh, begitu. Kamu bilang istrimu ingin membalas dendam kepadamu? Caranya?” Malaikat menggelengkan kepala, tak habis mengerti tentang bahasa dan pikiran manusia yang penuh liku.
”Dia memelihara pria simpanan sebagai kekasihnya. Saya, tentu saja, juga terbakar api cemburu, karena saya cinta dia,” wajah Fitenah memerah menahan malu dan marah.
”Oh, begitu. Lalu?” sahut Malaikat sambil menganggukkan kepalanya.
”Saya curiga bahwa istri saya telah membohongi saya ketika saya tanya tentang pria simpanannya. Sebagai istri, dia tidak boleh membohongi saya. Sedangkan saya, sebagai suami, boleh membohongi dia, bahkan saya bebas melakukan fitnah, sesuai dengan nama saya.  Ini sudah saya tetapkan sejak kami menikah,” jelas Fitenah tanpa malu.
”Lalu?” Malaikat Penjaga kembali bertanya sambil pasang senyum tipis dan sinis.
”Hari itu hujan lebat dan udara dingin. Saya sengaja pulang kantor lebih cepat di waktu tak terduga. Saya berniat untuk menangkap basah istri saya yang tengah bermain cinta dengan pacar gelapnya di apartemen saya,” wajah Fitenah memerah dibakar api cemburu.
”Kamu berhasil menangkap basah mereka?”
”Di kamar, di lantai 15 di tengah suara derai hujan, saya dapati istri saya tanpa busana meringkuk di atas ranjang, tetapi saya tak mendapati selingkuhannya.”
”Lalu?” nada suara Malaikat meninggi, penuh rasa ingin tahu.
”Lalu, saya lari ke arah balkon, saya lihat tangan seorang pria bercelana pendek dan telanjang dada sedang bergantungan di terali pagar balkon. Tubuhnya basah kuyup terguyur hujan. Langsung saya pukul tangan pria selingkuhan istri saya itu tiga kali dengan martil sampai remuk; dan dia terjatuh di halaman depan apartemen,” seru Fitenah bersemangat.
”Dia mati?” nada suara Malaikat meninggi.
”Ternyata dia belum mati. Tubuh lelaki jahanam itu tersangkut di semak-semak. Ini membuat saya penasaran, Yang Mulia,” suara Fitenah menunjukkan kekesalan hatinya.
”Apa yang kemudian kau lakukan?”
”Saya dorong lemari pakaian saya ke arah balkon, lalu saya jatuhkan lemari itu ke tubuh lelaki selingkuhan istri saya. Tapi saat lemari pakaian menimpa makhluk yang tak tahu diri itu, saya terkena serangan jantung, lalu meninggal dengan tubuh menggigil kedinginan.”
”Wah… ceritamu sangat mengerikan, silakan kamu masuk ke dalam sana.”


***

Beberapa saat kemudian… Muncullah pria kedua menghampiri Malaikat Penjaga yang berdiri angker di gerbang surga. Malaikat melemparkan pertanyaan yang sama seperti yang dilakukannya terhadap Fitenah.
”Waktu itu saya sedang berolahraga di balkon apartemen saya di lantai 16. Saya terlalu bersemangat dalam bersalto, sehingga tubuh saya terpelanting ke luar balkon, sementara diluar hujan lebat” celoteh pria yang bernama Inosensius itu.
”Kau jatuh ke halaman apartemen?” tanya Malaikat dengan pandangan mata menusuk, lalu menyeruput kopi hangatnya.
”Tidak, Yang Mulia. Saya beruntung, tangan kanan saya masih sempat memegang erat pagar terali balkon lantai 15. Saya begelantungan di balkon. Licin sekali.”
Loh, jadi kamu tak jadi mati, tetapi mengapa kamu berada di sini?” nada suara Malaikat dipenuhi rasa heran.
”Yang Mulia, cerita saya belum selesai. Lalu… lalu… seorang pria dengan martil besar memukul tangan saya tiga kali sampai remuk. Saya jatuh terkapar dan untungnya, tubuh saya tertahan di atas semak rimbun,” Inosensius terisak menahan tangis.
”Jadi kau selamat?” tanya Malaikat penuh rasa heran, ”kalau kamu selamat, mengapa sekarang kamu berada di sini?”
”Waktu itu saya masih belum mati,” sahut Inosensius getir, ”tapi kemudian, ’gedubrak’, sebuah lemari pakaian jatuh menimpa saya di tengah hujan lebat, langsung nyawa saya terbang meninggalkan raga.”
”Wow… ceritamu sangat menyentuh hati. Silakan kamu masuk, luka-luka dan duka laramu akan dihapus di dalam sana.

***

Keesokan harinya…
Seorang pemuda gagah bernama Arjuna Asmarawan, berjalan menghampiri Malaikat Penjaga yang setia menunggu di gerbang surga, ditemani bercangkir-cangkir kopi hangat.
”Hei, Nak. Kau masih muda, mengapa terburu-buru datang ke sini?” sapanya.
”Sebenarnya… sebenarnya saya, Juna, tak bermaksud ke sini…, tetapi …”
”Tetapi apa?” sergah Sang Malaikat.
”Waktu itu, terus terang saja… saya lagi bercinta dengan istri seorang pejabat di kamarnya, di sebuah apartemen di lantai 15.”
”Masih muda sudah pandai berselingkuh dan mengumbar hawa nafsu. Tak heran, kau menyandang nama Arjuna Asmarawan,” ujar Malaikat sambil menggelengkan kepala.
”Yah, bagaimana lagi, Yang Mulia? Ini demi menyambung hidup, karena saya pengangguran. Lagi pula, melalui ini kebutuhan biologis saya bisa tersalurkan.”
”Hush… jangan macam-macam, kau Juna!” bentak Malaikat.
”Ampun, yang Mulia,” jawab Juna dengan hati kebat-kebit, ”saya hanya mencoba untuk berbicara jujur.”
”Lalu apa yang terjadi?” nada Malaikat terdengar penuh selidik.
”Ketika kami sedang bercinta, tiba-tiba si Tante – selingkuhan saya – mendengar suara langkah kaki di luar kamar. Tak terduga, di tengah hujan lebat, suaminya pulang cepat. Saya tak sempat berpakaian, lalu buru-buru bersembunyi di dalam lemari pakaian. Saya takut ketahuan,” ujar Juna dengan gemetar.
”Lalu, kau mati karena kehabisan oksigen di dalam lemari?” Malaikat mencoba untuk menduga penyebab kematian sang pemuda tampan.
”Bukan, Yang Mulia,” jelas Juna, ”tiba-tiba saja, saya mendengar lemari pakaian tempat saya bersembunyi itu diseret ke arah balkon, dan tahu-tahu saya ditemukan mati kedinginan di lantai dasar apartemen yang disiram hujan lebat.”
”Lalu, siapa yang menjatuhkan lemari pakaian itu ke lantai dasar apartemen?”
”Saya… saya tidak tahu…Yang Mulia, karena keadaan di dalam lemari gelap sekali.”
”Kalau kamu tahu siapa yang menjatuhkan lemari pakaian itu, apa yang akan kau lakukan?” selidik Sang Malaikat.
”Saya akan cekik lehernya… saya tidak rela, karena saya mati penasaran dalam keadaan telanjang dan kedinginan. Saya akan membalas dendam dengan cara saya sendiri,” berapi-api Juna dalam melampiaskan amarahnya.
”Sudahlah, Nak! Ceritamu sangat menyentuh hatiku. Silakan masuk ke dalam sana. Segala dendam dan sakit hatimu akan diubah menjadi cinta kasih.”
Sejak saat itu, surga bukannya bertambah nyaman, tetapi justru semakin penuh sesak dengan penghuni baru. Dan anehnya, nama-nama warga Indonesia semakin berkibar dan dominan di sana, karena semakin banyak WNI yang mati secara tragis dan kisahnya menjadi berita sensasi.


*****








Friday, August 12, 2016

Juni di Bumi Salju

Kali ini penulis menyajikan sebuah puisi bertema "Adakah Pelangi di Kutub-Kutub Salju".
Puisi bertajuk "Juni di Bumi Salju" ini telah terpilih sebagai salah satu puisi yang masuk
dalam "50 Besar" dalam lomba yang diselenggarakan oleh Media Penulis.
Soli Deo Gloria!

Juni di Bumi Salju

Oleh Budianto Sutrisno

 
Juni itu…
sejauh mata memandang bumi alaska
aku hanya menatap daratan berselimut hamparan salju
dinginnya mengigit sampai ke sumsum tulang
mungkinkah hatimu sedingin salju lingkar kutub utara?
mungkin itu hanya perasaanku saja
karena cintaku hanya bertepuk sebelah tangan
kurasa hati beku salju lebih sulit diterka
ketimbang hati penuh bara di sahara cinta

Alaska mengingatkanku pada pribadimu
kadang terang sampai tengah malam
tapi kadang juga gulita terus sepanjang hari
aku sering terantuk, tersandung, dan jatuh
napas tersengal, langkah tertatih dalam rintih
darah duka mengalir dari rongga dada
siapa bisa jadi pengobat luka hati ini?

Tiba-tiba aku terkesiap…
bentang langit dipenuhi pendar-pendar aneka warna
paduan warna-warni pelangi menari di angkasa
lidahku kelu, bibirku terkatup karena penuh takjub
mungkinkah diriku menjadi aurora
sarat pikat pesona bagimu?
agar bumi salju hatimu
luluh oleh kehangatan aneka warna
yang terpancar dari lubuk cintaku
aku tengah terhanyut dalam mimpi bulan Juni
mungkinkah mimpiku menjadi nyata?
sungguh, aku tak tahu


***