Cerpen berjudul "Hujan, Kopi, dan Penghuni Surga" berikut ini telah menyabet Juara I dalam
lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh Inspirator Academy Purwoketo.
Cerpen yang bersifat satire ini diilhami oleh kejadian-kejadian yang berlangsung
di tanah air kita tercinta.
Cerpen ini telah dibukukan dalam sebuah buku antologi cerpen bersama bertajuk
"Hujan, Kopi & Cinta" bersama-sama dengan karya Juara 2, 3, dan
27 karya nominee lainnya.
Soli Deo Gloria!
Hujan, Kopi, dan Penghuni Surga
Oleh
Budianto Sutrisno
Pada suatu masa, surga penuh sesak
dengan penghuni. Sudah barang tentu, seluruh penghuninya adalah orang-orang
yang berkualifikasi baik, memenuhi seluruh standar persyaratan yang ditentukan
oleh Panglima Malaikat Surga.
Suasana penuh sesak ini memerlukan
solusi agar kenyamanan di tempat abadi ini tetap terjaga. Panglima Malaikat
Surga memerintahkan Malaikat Penjaga untuk menjalankan tugas baru, yakni
melakukan investigasi intensif terhadap orang yang hendak memasuki surga.
Seleksi ketat akan diberlakukan. Calon penghuni harus ditanya bagaimana mereka
meninggal. Jika kisah meninggalnya itu mengerikan atau mengenaskan, maka yang
bersangkutan dipersilakan masuk surga. Bila tidak, mereka harus dijebloskan ke
dalam neraka.
Alkisah, seorang pria setengah baya,
datang menghampiri Malaikat Penjaga gerbang surga yang rajin menyeruput kopi
hangat untuk mencegah kantuk. Maklum dia harus berjaga 24 jam sehari sepanjang
tahun. Sang Malaikat meletakkan cangkir kopinya dan membuka pembicaraan,
”Engkau Fitenah dari Indonesia, bukan? Engkau memiliki seorang istri dan
puluhan perempuan simpanan. Kau juga punya ribuan sapi impor Ngaku, nggak?”
Fitenah mengangguk penuh kegentaran.
”Benar, Mas… eh Pak… eh salah… Yang Mulia Malaikat. Istri saya memang hanya
satu, tetapi dayang-dayang manis simpanan saya sebenarnya berjumlah 145, bukan
45, karena yang 100 masih belum terendus oleh pers. Sedangkan sapi impor saya
jumlah tepatnya adalah 2.445 ekor, 15 ekor di antaranya jantan, sedangkan
sisanya betina. Saya hanya sekadar mengikuti jejak nikmat sapi jantan saya.
Saya bicara sejujurnya, Yang Mulia.”
”Hush… jangan cerita tentang koleksi
dayang dan sapi,” sergah Malaikat Penjaga,
”jawab sesuai pertanyaan, tahu?”
”Mengerti, Yang Mulia,” suara
Fitenah terdengar gemetar.
”Sekarang jawab pertanyaanku.
Bagaimana cara meninggalmu? Jika jawabanmu memang bisa membuat hatiku tergerak
atau bulu romaku berdiri, maka kau berhak masuk surga. Tapi bila tidak, neraka
adalah bagianmu.”
”Baik, Yang Mulia. Seperti Yang
Mulia ketahui, saya memiliki banyak cem-ceman,
sehingga istri saya cemburu berat. Saya mencurigainya, bahwa dia ingin membalas
dendam atas perbuatan saya.” Sekilas, roman muka Fitenah menunjukkan rasa
bangga atas keberhasilannya merebut hati banyak perempuan untuk jatuh cinta
dalam pelukannya.
”Apa itu cem-ceman? Kalau tempe dan tahu bacem, saya tahu. Jangan
sembarangan bicara kamu!” bentak Malaikat.
”Am… ampun Yang Mulia. Maksud…
maksud saya cem-ceman itu adalah wanita simpanan, bukan istri sah saya, Yang
Mulia,” suara Fitenah makin bergetar karena cekaman rasa takut.
”Oh, begitu. Kamu bilang istrimu
ingin membalas dendam kepadamu? Caranya?” Malaikat menggelengkan kepala, tak
habis mengerti tentang bahasa dan pikiran manusia yang penuh liku.
”Dia memelihara pria simpanan
sebagai kekasihnya. Saya, tentu saja, juga terbakar api cemburu, karena saya
cinta dia,” wajah Fitenah memerah menahan malu dan marah.
”Oh, begitu. Lalu?” sahut Malaikat
sambil menganggukkan kepalanya.
”Saya curiga bahwa istri saya telah
membohongi saya ketika saya tanya tentang pria simpanannya. Sebagai istri, dia
tidak boleh membohongi saya. Sedangkan saya, sebagai suami, boleh membohongi
dia, bahkan saya bebas melakukan fitnah, sesuai dengan nama saya. Ini sudah saya tetapkan sejak kami menikah,”
jelas Fitenah tanpa malu.
”Lalu?” Malaikat Penjaga kembali
bertanya sambil pasang senyum tipis dan sinis.
”Hari itu hujan lebat dan udara
dingin. Saya sengaja pulang kantor lebih cepat di waktu tak terduga. Saya
berniat untuk menangkap basah istri saya yang tengah bermain cinta dengan pacar
gelapnya di apartemen saya,” wajah Fitenah memerah dibakar api cemburu.
”Kamu berhasil menangkap basah
mereka?”
”Di kamar, di lantai 15 di tengah
suara derai hujan, saya dapati istri saya tanpa busana meringkuk di atas
ranjang, tetapi saya tak mendapati selingkuhannya.”
”Lalu?” nada suara Malaikat
meninggi, penuh rasa ingin tahu.
”Lalu, saya lari ke arah balkon,
saya lihat tangan seorang pria bercelana pendek dan telanjang dada sedang bergantungan
di terali pagar balkon. Tubuhnya basah kuyup terguyur hujan. Langsung saya
pukul tangan pria selingkuhan istri saya itu tiga kali dengan martil sampai
remuk; dan dia terjatuh di halaman depan apartemen,” seru Fitenah bersemangat.
”Dia mati?” nada suara Malaikat
meninggi.
”Ternyata dia belum mati. Tubuh
lelaki jahanam itu tersangkut di semak-semak. Ini membuat saya penasaran, Yang
Mulia,” suara Fitenah menunjukkan kekesalan hatinya.
”Apa yang kemudian kau lakukan?”
”Saya dorong lemari pakaian saya ke
arah balkon, lalu saya jatuhkan lemari itu ke tubuh lelaki selingkuhan istri
saya. Tapi saat lemari pakaian menimpa makhluk yang tak tahu diri itu, saya
terkena serangan jantung, lalu meninggal dengan tubuh menggigil kedinginan.”
”Wah… ceritamu sangat mengerikan,
silakan kamu masuk ke dalam sana.”
***
Beberapa saat kemudian… Muncullah
pria kedua menghampiri Malaikat Penjaga yang berdiri angker di gerbang surga.
Malaikat melemparkan pertanyaan yang sama seperti yang dilakukannya terhadap
Fitenah.
”Waktu itu saya sedang berolahraga
di balkon apartemen saya di lantai 16. Saya terlalu bersemangat dalam bersalto,
sehingga tubuh saya terpelanting ke luar balkon, sementara diluar hujan lebat”
celoteh pria yang bernama Inosensius itu.
”Kau jatuh ke halaman apartemen?”
tanya Malaikat dengan pandangan mata menusuk, lalu menyeruput kopi hangatnya.
”Tidak, Yang Mulia. Saya beruntung,
tangan kanan saya masih sempat memegang erat pagar terali balkon lantai 15.
Saya begelantungan di balkon. Licin sekali.”
”Loh,
jadi kamu tak jadi mati, tetapi mengapa kamu berada di sini?” nada suara
Malaikat dipenuhi rasa heran.
”Yang Mulia, cerita saya belum
selesai. Lalu… lalu… seorang pria dengan martil besar memukul tangan saya tiga kali sampai remuk. Saya jatuh terkapar
dan untungnya, tubuh saya tertahan di atas semak rimbun,” Inosensius terisak
menahan tangis.
”Jadi kau selamat?” tanya Malaikat
penuh rasa heran, ”kalau kamu selamat, mengapa sekarang kamu berada di sini?”
”Waktu itu saya masih belum mati,”
sahut Inosensius getir, ”tapi kemudian, ’gedubrak’, sebuah lemari pakaian jatuh
menimpa saya di tengah hujan lebat, langsung nyawa saya terbang meninggalkan
raga.”
”Wow… ceritamu sangat menyentuh
hati. Silakan kamu masuk, luka-luka dan duka laramu akan dihapus di dalam sana.
***
Keesokan harinya…
Seorang pemuda gagah bernama Arjuna
Asmarawan, berjalan menghampiri Malaikat Penjaga yang setia menunggu di gerbang
surga, ditemani bercangkir-cangkir kopi hangat.
”Hei, Nak. Kau masih muda, mengapa
terburu-buru datang ke sini?” sapanya.
”Sebenarnya… sebenarnya saya, Juna,
tak bermaksud ke sini…, tetapi …”
”Tetapi apa?” sergah Sang Malaikat.
”Waktu itu, terus terang saja… saya
lagi bercinta dengan istri seorang pejabat di kamarnya, di sebuah apartemen di
lantai 15.”
”Masih muda sudah pandai
berselingkuh dan mengumbar hawa nafsu. Tak heran, kau menyandang nama Arjuna
Asmarawan,” ujar Malaikat sambil menggelengkan kepala.
”Yah, bagaimana lagi, Yang Mulia?
Ini demi menyambung hidup, karena saya pengangguran. Lagi pula, melalui ini
kebutuhan biologis saya bisa tersalurkan.”
”Hush… jangan macam-macam, kau
Juna!” bentak Malaikat.
”Ampun, yang Mulia,” jawab Juna
dengan hati kebat-kebit, ”saya hanya mencoba untuk berbicara jujur.”
”Lalu apa yang terjadi?” nada
Malaikat terdengar penuh selidik.
”Ketika kami sedang bercinta,
tiba-tiba si Tante – selingkuhan saya – mendengar suara langkah kaki di luar
kamar. Tak terduga, di tengah hujan lebat, suaminya pulang cepat. Saya tak
sempat berpakaian, lalu buru-buru bersembunyi di dalam lemari pakaian. Saya
takut ketahuan,” ujar Juna dengan gemetar.
”Lalu, kau mati karena kehabisan
oksigen di dalam lemari?” Malaikat mencoba untuk menduga penyebab kematian sang
pemuda tampan.
”Bukan, Yang Mulia,” jelas Juna,
”tiba-tiba saja, saya mendengar lemari pakaian tempat saya bersembunyi itu
diseret ke arah balkon, dan tahu-tahu saya ditemukan mati kedinginan di lantai
dasar apartemen yang disiram hujan lebat.”
”Lalu, siapa yang menjatuhkan lemari
pakaian itu ke lantai dasar apartemen?”
”Saya… saya tidak tahu…Yang Mulia,
karena keadaan di dalam lemari gelap sekali.”
”Kalau kamu tahu siapa yang
menjatuhkan lemari pakaian itu, apa yang akan kau lakukan?” selidik Sang
Malaikat.
”Saya akan cekik lehernya… saya
tidak rela, karena saya mati penasaran dalam keadaan telanjang dan kedinginan.
Saya akan membalas dendam dengan cara saya sendiri,” berapi-api Juna dalam
melampiaskan amarahnya.
”Sudahlah, Nak! Ceritamu sangat
menyentuh hatiku. Silakan masuk ke dalam sana. Segala dendam dan sakit hatimu
akan diubah menjadi cinta kasih.”
Sejak saat itu, surga bukannya
bertambah nyaman, tetapi justru semakin penuh sesak dengan penghuni baru. Dan
anehnya, nama-nama warga Indonesia semakin berkibar dan dominan di sana, karena
semakin banyak WNI yang mati secara tragis dan kisahnya menjadi berita sensasi.