Artikel ini merupakan cetusan pergumulan pribadi penulis setiap kali menjelang
pelaksanaan Ujian Negara (UN). Disiapkan dua hari menjelang digelarnya UN 2015
untuk SMP pada 4 - 7 Mei 2015.
Masihkah
UN Diperlukan?
Oleh Budianto Sutrisno
Wajah dunia pendidikan
Indonesia setiap tahun tercoreng arang.
Kebocoran soal UN (Ujian Nasional) terjadi tahun ini. Kali ini menimpa UN untuk
SMA di dua wilayah. Dampaknya besar, karena disebarluaskan melalui jaringan
internet. Siapa saja yang memiliki akses dengan jaringan internet, bisa
mendapatkan bocoran soal UN. Akankah hal ini terulang kembali pada UN untuk SMP
yang digelar pada 4 – 7 Mei ini?
’Tradisi
sakral’
Jawabnya
terpulang kepada kesiapan Kemendikbud dalam mengantisipasi serta kesiapan
sekolah dalam mendidik para siswanya untuk berperilaku jujur. Kendati selalu
terjadi kebocoran, UN tetap dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Meski
materi UN itu sudah dikategorikan sebagai dokumen rahasia negara dan dijaga
ketat oleh aparat kepolisian, kebocoran tetap saja terjadi. Segala bentuk upaya
pencegahan untuk mengantisipasi
kebocoran itu seperti pekerjaan menggantang asap, alias sia-sia belaka.
Jika
hasil UN tidak lagi memberikan pengaruh terhadap kelulusan, lalu mengapa masih
terjadi kebocoran soal? Mari kita coba untuk mengurai jawabannya.
Menurut
hemat penulis, sebab musababnya diawali oleh penyelenggaraan UN yang sudah
menjadi ’tradisi sakral’ sehingga sudah berurat akar sejak berpuluh tahun yang
lalu. Pohon UN sudah tumbuh meraksasa, berdahan
banyak, berdaun rimbun, dan akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah, sehingga
sulit untuk ditumbangkan, kalau tak bisa dikatakan mustahil untuk dirobohkan.
Selama
ini UN dianggap seperti sosok dewa yang turun dari langit, dan harus disambut
dengan ’upacara’ gegap gempita. Itu sebabnya, jam-jam mata pelajaran yang diujikan
di UN itu digenjot habis-habisan. Selama beberapa bulan terakhir di semester
II, misalnya, mata pelajaran non-UN harus mengalah, demi suksesnya pengajaran
mata pelajaran yang diujikan di UN. Boleh dikatakan, semua sekolah melakukan
hal seperti itu. Guru mana yang rela disebut sebagai guru yang tak becus
mendidik karena peserta didiknya gagal di UN? Kepala sekolah negeri mana yang
mau dimutasikan ke daerah kering bila peserta didiknya gagal di UN? Tak ada,
bukan?
Ketelanjuran UN sebagai
’tradisi sakral’ inilah yang membuat pihak sekolah dan para guru berjuang
mati-matian agar anak didiknya dapat lulus dengan baik. Segala macam cara dilakukan
dan terus dilakukan. Mulai dari memberikan
Sementara
itu, di sejumlah sekolah tertentu dibentuk tim sukses yang tugasnya berupaya
agar peserta didik bisa lulus semuanya dengan nilai yang mengharumkan nama
sekolah. Tahun lalu, terdapat tim sukses yang kebablasan dalam menjalankan
tugasnya. Dikabarkan bahwa tim ini ’membegal’ soal UN yang dikirimkan ke tempat
penyimpanan soal. Akal bulus digunakan. Di tengah perjalanan, pengantar soal UN
diajak beristirahat di sebuah tempat makan. Sementara sang pengantar dan
sejumlah guru beristirahat sambil makan-minum, sejumlah guru lain
’menggerayangi’ mobil pengantar dan mengambil sejumlah soal, yang kemudian
jawabannya dibagikan kepada peserta didik. Begitulah modus operandinya. Guru
yang seharusnya mulia dalam menjalankan tugasnya, justru telah beralih rupa
menjadi begal yang hina.
Merampas
hak belajar
Disadari
atau tidak, para guru pengampu mata pelajaran UN itu telah merampas hak peserta
didik untuk mempelajari mata pelajaran yang tak diujikan di UN, seperti
kesenian, sejarah, olahraga, geografi, agama, dan lain-lain. Hal ini sama saja
dengan menganggap bahwa mata pelajaran non-UN itu tidaklah penting, boleh ada
boleh tiada. Dari masa muda, peserta didik sudah dicekoki dengan pemahaman yang
keliru seperti ini.
Sejatinya,
para peserta didik itu memiliki hak untuk mempelajari mata pelajaran non-UN
yang setara dengan mata pelajaran UN. Tak ada ilmu pengetahuan yang boleh
menepuk dada dan merasa dirinya sebagai yang paling penting. Kalau mata pelajaran
non-UN itu tidak penting, lalu mengapa diajarkan kepada para peserta didik?
Belum
lagi tentang bentuk soal pilihan ganda pada UN. Untuk tingkat satuan pendidikan
SMP dibatasi dengan 4 opsi jawaban, sedangkan SMA 5 opsi jawaban. Pembatasan
seperti ini hanyalah menyempitkan wawasan peserta didik yang seharusnya
terbentang luas. Yang lebih gawat lagi, bentuk soal pilihan ganda dapat
mematikan kreativitas.
Mengingat
rawannya UN dengan berbagai kekurangan dan kecurangan, penulis berpendapat
bahwa sudah saatnya UN ditiadakan. Sudah waktunya pihak sekolah diberi wewenang
penuh untuk menentukan kelulusan peserta didik. Pihak sekolah sendirilah yang
paling mengetahui keadaan setiap peserta didik.
Kita perlu mengingat
bahwa para peserta didik yang duduk di bangku sekolah menengah ini kelak akan
menjadi pemimpin bangsa. Tegakah kita merampas hak belajar lengkap yang
seharusnya mereka terima dan mematikan kreativitasnya?
***
No comments:
Post a Comment