Puisi bertema "Hardiknas" berikut ini merupakan hasil pergumulan dan kontemplasi saya
tentang ironi besar di dunia pendidikan Indonesia, yang mungkin belum diketahui secara luas.
Dilema menghadang. Di satu sisi, guru diminta bekerja keras untuk menyiapkan
generasi muda yang cerdas dan berakhlak tinggi dengan penuh cinta kasih, namun
di sisi lain guru justru terpaksa melakukan hal-hal yang melawan nurani demi
suksesnya program kurikulum dan sekolah.
Puisi ini telah menyabet gelar Juara II dalam lomba cipta puisi yang diselenggarakan
oleh Vio Publisher belum lama berselang.
Masihkah Kita Bisa Bilang Cinta?
Oleh Budianto Sutrisno
Di bawah terik mentari yang
panasnya menyengat sampai ke pori bumi
biduk lapuk itu tampak letih tertatih
terseok dan terapung canggung di
laut ketidakpastian sarat bau anyir
napas tersengal, menanggung beban berat
tiada akhir
Itulah biduk pendidikan Indonesia
yang meringkuk di ujung nasib
petinggi bikin aturan sesuka hati
guru bingung dengan dua kurikulum
maksud hati ingin perbaiki mutu
pengajaran
apa daya nalar terkungkung dan
terpasung
dalam belitan administrasi serta
dokumentasi
ditambah beragam try out yang menguras waktu dan energi
pesta gempita menyambut dewa UN
turun dari Kahyangan Junggringseloka sana
pertemuan sekejap yang bikin guru
dan siswa kalap dalam perangkap
Masihkah kita bisa bilang cinta
pada generasi muda penerus bangsa
jika bertahun kita rampas hak
mereka belajar banyak hal?
masihkah kita berani bilang ’tut wuri handayani’ jika terus begini?
masihkah kita punya hati untuk remaja-pemuda
pembangun bumi pertiwi?
***