Tuesday, May 12, 2015

Masihkah Kita Bisa Bilang Cinta?

Puisi bertema "Hardiknas" berikut ini merupakan hasil pergumulan dan kontemplasi saya 
tentang ironi besar di dunia pendidikan Indonesia, yang mungkin belum diketahui secara luas.
Dilema menghadang. Di satu sisi, guru diminta bekerja keras untuk menyiapkan 
generasi muda yang cerdas dan berakhlak tinggi dengan penuh cinta kasih, namun 
di sisi lain guru justru terpaksa melakukan hal-hal yang melawan nurani demi 
suksesnya program kurikulum dan sekolah.
Puisi ini telah menyabet gelar Juara II dalam lomba cipta puisi yang diselenggarakan
oleh Vio Publisher belum lama berselang.


Masihkah Kita Bisa Bilang Cinta?

Oleh Budianto Sutrisno 


Di bawah terik mentari yang panasnya menyengat sampai ke pori bumi
biduk lapuk itu tampak letih tertatih
terseok dan terapung canggung di laut ketidakpastian sarat bau anyir
napas tersengal, menanggung beban berat tiada akhir

Itulah biduk pendidikan Indonesia yang meringkuk di ujung nasib
petinggi bikin aturan sesuka hati
guru bingung dengan dua kurikulum
maksud hati ingin perbaiki mutu pengajaran
apa daya nalar terkungkung dan terpasung
dalam belitan administrasi serta dokumentasi
ditambah beragam try out yang menguras waktu dan energi
pesta gempita menyambut dewa UN turun dari Kahyangan Junggringseloka sana
pertemuan sekejap yang bikin guru dan siswa kalap dalam perangkap

Masihkah kita bisa bilang cinta pada generasi muda penerus bangsa
jika bertahun kita rampas hak mereka belajar banyak hal?
masihkah kita berani bilang ’tut wuri handayani’ jika terus begini?
masihkah kita punya hati untuk remaja-pemuda pembangun bumi pertiwi?


***




Thursday, May 7, 2015

Masihkah UN Diperlukan?

Artikel ini merupakan cetusan pergumulan pribadi penulis setiap kali menjelang 
pelaksanaan Ujian Negara (UN). Disiapkan dua hari menjelang digelarnya UN 2015 
untuk SMP pada 4 - 7 Mei 2015.


Masihkah UN Diperlukan?
Oleh Budianto Sutrisno

         Wajah dunia pendidikan Indonesia setiap tahun tercoreng  arang. Kebocoran soal UN (Ujian Nasional) terjadi tahun ini. Kali ini menimpa UN untuk SMA di dua wilayah. Dampaknya besar, karena disebarluaskan melalui jaringan internet. Siapa saja yang memiliki akses dengan jaringan internet, bisa mendapatkan bocoran soal UN. Akankah hal ini terulang kembali pada UN untuk SMP yang digelar pada 4 – 7 Mei ini?

’Tradisi sakral’
          Jawabnya terpulang kepada kesiapan Kemendikbud dalam mengantisipasi serta kesiapan sekolah dalam mendidik para siswanya untuk berperilaku jujur. Kendati selalu terjadi kebocoran, UN tetap dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Meski materi UN itu sudah dikategorikan sebagai dokumen rahasia negara dan dijaga ketat oleh aparat kepolisian, kebocoran tetap saja terjadi. Segala bentuk upaya pencegahan untuk mengantisipasi  kebocoran itu seperti pekerjaan menggantang asap, alias sia-sia belaka.

           UN sudah diselenggarakan selama berpuluh tahun. Akan tetapi, prosesnya tak pernah beres dan mulus. Selalu saja terjadi keluhan, mulai dari keterlambatan pendistribusian lembar soal serta jawaban, mutu lembar jawaban yang buruk sehingga mudah robek, opsi jawaban soal yang bersifat ambigu, sampai pada kebocoran soal. Namun Kemendikbud selaku penyelenggara UN tetap bergeming. UN harus tetap diselenggarakan sebagai standar penilaian yang memengaruhi kelulusan peserta didik kelas IX, dan XII. Itu berlaku selama beberapa tahun yang silam. Sekarang dinyatakan bahwa hasil UN itu tidak memengaruhi kelulusan peserta didik. Kelulusan peserta didik ditentukan sepenuhnya oleh pihak sekolah dengan mempertimbangkan faktor prestasi akademis, akhlak, dan kelakuan.
            Jika hasil UN tidak lagi memberikan pengaruh terhadap kelulusan, lalu mengapa masih terjadi kebocoran soal? Mari kita coba untuk mengurai jawabannya.
         Menurut hemat penulis, sebab musababnya diawali oleh penyelenggaraan UN yang sudah menjadi ’tradisi sakral’ sehingga sudah berurat akar sejak berpuluh tahun yang lalu. Pohon UN sudah tumbuh  meraksasa, berdahan banyak, berdaun rimbun, dan akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah, sehingga sulit untuk ditumbangkan, kalau tak bisa dikatakan mustahil untuk dirobohkan.  
           Selama ini UN dianggap seperti sosok dewa yang turun dari langit, dan harus disambut dengan ’upacara’ gegap gempita. Itu sebabnya, jam-jam mata pelajaran yang diujikan di UN itu digenjot habis-habisan. Selama beberapa bulan terakhir di semester II, misalnya, mata pelajaran non-UN harus mengalah, demi suksesnya pengajaran mata pelajaran yang diujikan di UN. Boleh dikatakan, semua sekolah melakukan hal seperti itu. Guru mana yang rela disebut sebagai guru yang tak becus mendidik karena peserta didiknya gagal di UN? Kepala sekolah negeri mana yang mau dimutasikan ke daerah kering bila peserta didiknya gagal di UN? Tak ada, bukan? 
       Ketelanjuran UN sebagai ’tradisi sakral’ inilah yang membuat pihak sekolah dan para guru berjuang mati-matian agar anak didiknya dapat lulus dengan baik. Segala macam cara dilakukan dan terus dilakukan. Mulai dari memberikan
pelajaran tambahan untuk peserta didik yang akan mengikuti UN sampai membentuk tim sukses. Sekolah dan guru sudah kepalang basah menganggap UN sebagai tolok ukur keberhasilan  dalam mendidik. Hasil rata-rata nilai UN yang baik akan menaikkan peringkat sekolah serta melambungkan prestasi dan prestise guru pengampu mata pelajaran UN. Paradigma berpikir seperti inilah yang terus berlangsung sampai penyelenggaraan UN 2015 ini, kendati hasil UN sudah tak memengaruhi kelulusan peserta didik.
            Sementara itu, di sejumlah sekolah tertentu dibentuk tim sukses yang tugasnya berupaya agar peserta didik bisa lulus semuanya dengan nilai yang mengharumkan nama sekolah. Tahun lalu, terdapat tim sukses yang kebablasan dalam menjalankan tugasnya. Dikabarkan bahwa tim ini ’membegal’ soal UN yang dikirimkan ke tempat penyimpanan soal. Akal bulus digunakan. Di tengah perjalanan, pengantar soal UN diajak beristirahat di sebuah tempat makan. Sementara sang pengantar dan sejumlah guru beristirahat sambil makan-minum, sejumlah guru lain ’menggerayangi’ mobil pengantar dan mengambil sejumlah soal, yang kemudian jawabannya dibagikan kepada peserta didik. Begitulah modus operandinya. Guru yang seharusnya mulia dalam menjalankan tugasnya, justru telah beralih rupa menjadi begal yang hina.

Merampas hak belajar
            Disadari atau tidak, para guru pengampu mata pelajaran UN itu telah merampas hak peserta didik untuk mempelajari mata pelajaran yang tak diujikan di UN, seperti kesenian, sejarah, olahraga, geografi, agama, dan lain-lain. Hal ini sama saja dengan menganggap bahwa mata pelajaran non-UN itu tidaklah penting, boleh ada boleh tiada. Dari masa muda, peserta didik sudah dicekoki dengan pemahaman yang keliru seperti ini.
            Sejatinya, para peserta didik itu memiliki hak untuk mempelajari mata pelajaran non-UN yang setara dengan mata pelajaran UN. Tak ada ilmu pengetahuan yang boleh menepuk dada dan merasa dirinya sebagai yang paling penting. Kalau mata pelajaran non-UN itu tidak penting, lalu mengapa diajarkan kepada para peserta didik?
            Belum lagi tentang bentuk soal pilihan ganda pada UN. Untuk tingkat satuan pendidikan SMP dibatasi dengan 4 opsi jawaban, sedangkan SMA 5 opsi jawaban. Pembatasan seperti ini hanyalah menyempitkan wawasan peserta didik yang seharusnya terbentang luas. Yang lebih gawat lagi, bentuk soal pilihan ganda dapat mematikan kreativitas.
            Mengingat rawannya UN dengan berbagai kekurangan dan kecurangan, penulis berpendapat bahwa sudah saatnya UN ditiadakan. Sudah waktunya pihak sekolah diberi wewenang penuh untuk menentukan kelulusan peserta didik. Pihak sekolah sendirilah yang paling mengetahui keadaan setiap peserta didik. 
         Kita perlu mengingat bahwa para peserta didik yang duduk di bangku sekolah menengah ini kelak akan menjadi pemimpin bangsa. Tegakah kita merampas hak belajar lengkap yang seharusnya mereka terima dan mematikan kreativitasnya?


***