ASEAN Short Story Competition 2024.
Terima kasih @prospaceid.
Soli Deo Gloria!
Misteri Tumbal Harta Terpendam
Pagi itu gumpal
kabut tebal menyelimuti lereng Gunung Lawu. Empat sosok pemuda-pemudi tampak
berjalan beriringan, menyusuri jalan setapak yang licin seusai diguyur hujan.
Mereka adalah tim Ekspedisi Harta Terpendam yang dibentuk khusus oleh
Universitas Gajah Mada. Tugas mereka adalah untuk menyelidiki laporan tentang
penemuan artefak kuno di kawasan tersebut.
”Menurut peta kuno, lokasi
terpendamnya harta karun seharusnya tidak jauh lagi,” ujar Ratna, mahasiswa S-2
arkeologi sambil mengamati sebuah peta lusuh di tangannya. Tepat di sampingnya,
tampak Bayu, seorang peneliti Geologi, menganggukkan kepalanya sembari terus
memperhatikan formasi batuan di sekitar mereka.
”Tapi aku masih tidak mengerti
kenapa harus ada dokter forensik dalam tim ini?” keluh Dewi, dokter forensik
muda yang baru belakangan bergabung dengan tim.
Hendrik, sarjana teknik informatika
yang jago programming dan pemetaan
digital berkomentar sambil terkekeh, ”Mungkin saja pihak universitas punya
firasat?”
”Firasat apa?” sergah Dewi.
”Ya, entahlah; buat berjaga-jaga
barangkali,” jawab Hendrik sekenanya.
Mereka berempat terus berjalan
mendaki hingga mencapai sebuah plateau. Di situ, mereka menemukan reruntuhan
bangunan kuno yang tak terpetakan.
Bayu segera mengambil sampel batuan,
sementara Ratna sangat antusias memotret berbagai ukiran yang terpahat di
dinding-dinding kuno yang sudah runtuh.
”Aneh banget,” gumam Hendrik sambil
memperhatikan layar tabletnya., ”GPS di sini tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, koordinatnya terus berubah.” Mimik Hendrik menunjukkan rasa heran.
Keadaan makin gelap, malam pun tiba.
Mereka berempat berkemah di sekitar reruntuhan. Dewi menyiapkan sup instan
untuk makan malam sembari sesekali melirik ke
arah hutan yang gelap. ”Kalian dengar suara itu? Seperti ada gema suara
gamelan ….” nada suaranya agak gemetar, menahan takut.
”Mungkin itu berasal dari desa di
bawah,” sahut Ratna, meskipun dia sendiri tidak yakin akan pendapatnya. Suara
itu terdengar begitu dekat, tetapi tak jelas arahnya.
Keesokan harinya, mereka dikejutkan
dengan keadaan Hendrik yang tergeletak tak bernyawa di depan tenda. Tak ada
tanda-tanda kekerasan di tubuhnya, tetapi wajahnya membeku dalam ekspresi
ketakutan yang mencekam. Entah makhluk apa yang dilihatnya menjelang
kematiannya.
Dewi mulai memeriksa mayat Hendrik.
”Ini tidak masuk akal. Secara medis, dia seperti mati ketakutan. Jantungnya
berhenti mendadak,” ucapnya dengan penuh tanda tanya.
Ratna dengan gemetar berujar, ”Kita
harus segera turun dan melapor ke polisi.”
”Tidak bisa,” sergah Bayu.
”Lihatlah, kabut begitu tebal. Terlalu
berbahaya jika kita turun sekarang; kita telah terjebak di sini.”
Seharian mereka menunggu kabut
menipis. Namun, kabut bukannya kian menipis, melainkan kian tebal. Jarak
pandang tak lebih dari satu meter.
Sementara itu, Dewi mulai melihat hal-hal
yang ganjil: kompas di tangannya berputar liar, baterai peralatan mendadak
habis, dan terdengar suara-suara aneh dari dalam hutan yang membuat bulu kuduk berdiri.
”Oh, celaka!” keluhnya sambil menahan takut.
Malam kedua ….
Ratna
menemukan sesuatu. ”Lihat ukiran ini! Rupanya ini adalah peringatan … ternyata,
tempat ini adalah … ku ... kuburan massal ritual kuno. Harta karun yang kita
cari adalah … tu … tumbal,” ujarnya terbata-bata.
”Tapi kenapa Hendrik yang harus jadi
tumbal?” tanya Dewi penuh frustrasi.
Bayu terdiam sejenak sambil memegang
dahinya sebelum menjawab. ”Karena dia yang pertama kali memecahkan kodenya,”
ujarnya pelan.
Ratna dan Dewi bingung menatap ke
arah Bayu. Pria yang ditatap tersenyum getir.
”Aku sudah menduga sejak awal, peta
ini adalah kode program kuno,” ujar Bayu sambil mengeluarkan peta dari tas Hendrik. ”Kawan kita ini berhasil
memecahkan kodenya tadi malam; tapi sayang, dia tak tahu kalau ada pihak lain yang
tak ingin kode itu dipecahkan.”
”Kau … kau tahu sesuatu?” Dewi
dengan langkah gemetar, beringsut mundur perlahan.
”Tentu saja aku tahu,” jawab Bayu
diselingi tertawa kecil, ”karena aku yang menempatkan kode itu di sini … 300
tahun yang lalu.
Sebelum Ratna dan Dewi memberikan
respons, mendadak kabut tebal datang menyergap, menyelimuti tubuh mereka. Suara
gamelan kembali terdengar, kali ini makin keras. Ketika kabut mulai menipis,
Bayu telah menghilang. Sungguh misterius!
Dua hari kemudian ….
Tim
SAR menemukan Ratna dan Dewi dalam keadaan syok berat di kaki gunung;
kedinginan dan kelaparan. Dengan gemetar, mereka menceritakan kejadian
misterius yang menimpa mereka, tetapi tak ada seorang pun yang mempercayainya. Kedua
perempuan itu dinyatakan telah mengalami halusinasi ketika berada di puncak
gunung. Hendrik dinyatakan meninggal karena serangan jantung, dan Bayu—yang tak
ketahuan rimbanya—dinyatakan hilang dalam kecelakaan di tengah perjalanan pendakian.
Jasad Hendrik pun tak ditemukan.
Dalam laporan resmi universitas, Ekspedisi
Harta Terpendam dinyatakan gagal dan lokasi reruntuhan ditutup guna penelitian
lebih lanjut. Ratna berhenti dari program S-2-nya, sedangkan Dewi pindah mengajar
di luar negeri. Trauma berat, membuat keduanya tidak pernah dan tidak ingin membicarakan
lagi kejadian misterius yang pernah mereka alami. Peristiwa Gunung Lawu telah
terhapus dalam ingatan mereka.
***
Sepuluh tahun kemudian di kafe ”Blue
Light” di Yogyakarta ….
Tampak seorang pemuda duduk
menyendiri di sudut ruangan. Dia tak lain adalah Bayu yang pernah dinyatakan
hilang. Wajahnya masih seperti dulu—satu dekade yang lalu—tidak menunjukkan
tanda-tanda penuaan sedikit pun juga.
Dia tengah menatap layar laptop di hadapannya, yang menampilkan
deretan kode program kuno, yang sama dengan kode yang mengakibatkan Hendrik
terbunuh. Di sampingnya, tergeletak peta kuno yang pernah dibawa oleh Ratna
dalam ekspedisi.
Tak berapa lama kemudian, masuklah
empat mahasiswa muda ke dalam kafe. Mereka membawa perlengkapan pendakian.
Salah satu dari mereka membawa jurnal penelitian tentang artefak misterius di
Gunung Lawu yang tak pernah tuntas diselidiki.
Bayu menatap keempat mahasiswa itu
dengan tatapan tajam. ”Sekarang waktunya untuk memulai lagi,” gumam Bayu pelan.
Seringai seram menghiasi wajahnya.
Bayu bangkit dari kursinya, berjalan
menghampiri kelompok mahasiswa itu. ”Maaf, saya tidak sengaja mendengar percakapan
kalian tentang harta karun Gunung Lawu. Kebetulan saya peneliti yang pernah
melakukan ekspedisi di sana. Mungkin saya bisa membantu,” ujarnya dengan nada
persuasif.
Bayu berhasil meyakinkan, rombongan
mahasiswa itu pun meminta Bayu untuk mendampingi mereka dalam melakukan
penyelidikan..
Rupanya roda takdir kembali
berputar, dan Bayu telah menemukan korban-korban barunya. Setiap sepuluh tahun,
dia membutuhkan tumbal baru untuk mempertahankan keabadiannya. Kode kuno itu tak
lain adalah perangkap yang diatur olehnya. Siapa pun yang berhasil memecahkan misteri
kode tersebut, dia akan menjadi kandidat sempurna bagi tumbal yang
dibutuhkannya. Hendrik adalah korban terakhir dalam rantai panjang tumbal yang
sudah berlangsung selama berabad-abad. Rombongan mahasiswa yang ditemuinya di
kafe itu adalah calon korban berikutnya. Demi tercapainya ambisi keabadian.
****