Monday, January 6, 2025

 Cerpen yang berjudul "Misteri Tumbal Harta Terpendam" ini telah terpilih sebagai Juara I dalam
ASEAN Short Story Competition 2024.
Terima kasih @prospaceid.
Soli Deo Gloria!


Misteri Tumbal Harta Terpendam


            Pagi itu gumpal kabut tebal menyelimuti lereng Gunung Lawu. Empat sosok pemuda-pemudi tampak berjalan beriringan, menyusuri jalan setapak yang licin seusai diguyur hujan. Mereka adalah tim Ekspedisi Harta Terpendam yang dibentuk khusus oleh Universitas Gajah Mada. Tugas mereka adalah untuk menyelidiki laporan tentang penemuan artefak kuno di kawasan tersebut.

         ”Menurut peta kuno, lokasi terpendamnya harta karun seharusnya tidak jauh lagi,” ujar Ratna, mahasiswa S-2 arkeologi sambil mengamati sebuah peta lusuh di tangannya. Tepat di sampingnya, tampak Bayu, seorang peneliti Geologi, menganggukkan kepalanya sembari terus memperhatikan formasi batuan di sekitar mereka.

            ”Tapi aku masih tidak mengerti kenapa harus ada dokter forensik dalam tim ini?” keluh Dewi, dokter forensik muda yang baru belakangan bergabung dengan tim.

            Hendrik, sarjana teknik informatika yang jago programming dan pemetaan digital berkomentar sambil terkekeh, ”Mungkin saja pihak universitas punya firasat?”

            ”Firasat apa?” sergah Dewi.

            ”Ya, entahlah; buat berjaga-jaga barangkali,” jawab Hendrik sekenanya.

           Mereka berempat terus berjalan mendaki hingga mencapai sebuah plateau. Di situ, mereka menemukan reruntuhan bangunan kuno yang tak terpetakan.

            Bayu segera mengambil sampel batuan, sementara Ratna sangat antusias memotret berbagai ukiran yang terpahat di dinding-dinding kuno yang sudah runtuh.

            ”Aneh banget,” gumam Hendrik sambil memperhatikan layar tabletnya., ”GPS di sini tidak berfungsi sebagaimana mestinya, koordinatnya terus berubah.” Mimik Hendrik menunjukkan rasa heran.

            Keadaan makin gelap, malam pun tiba. Mereka berempat berkemah di sekitar reruntuhan. Dewi menyiapkan sup instan untuk makan malam sembari sesekali melirik ke  arah hutan yang gelap. ”Kalian dengar suara itu? Seperti ada gema suara gamelan ….” nada suaranya agak gemetar, menahan takut.

            ”Mungkin itu berasal dari desa di bawah,” sahut Ratna, meskipun dia sendiri tidak yakin akan pendapatnya. Suara itu terdengar begitu dekat, tetapi tak jelas arahnya.

            Keesokan harinya, mereka dikejutkan dengan keadaan Hendrik yang tergeletak tak bernyawa di depan tenda. Tak ada tanda-tanda kekerasan di tubuhnya, tetapi wajahnya membeku dalam ekspresi ketakutan yang mencekam. Entah makhluk apa yang dilihatnya menjelang kematiannya.

            Dewi mulai memeriksa mayat Hendrik. ”Ini tidak masuk akal. Secara medis, dia seperti mati ketakutan. Jantungnya berhenti mendadak,” ucapnya dengan penuh tanda tanya.

            Ratna dengan gemetar berujar, ”Kita harus segera turun dan melapor ke polisi.”

            ”Tidak bisa,” sergah Bayu. ”Lihatlah,  kabut begitu tebal. Terlalu berbahaya jika kita turun sekarang; kita telah terjebak di sini.”

            Seharian mereka menunggu kabut menipis. Namun, kabut bukannya kian menipis, melainkan kian tebal. Jarak pandang tak lebih dari satu meter.

            Sementara itu, Dewi mulai melihat hal-hal yang ganjil: kompas di tangannya berputar liar, baterai peralatan mendadak habis, dan terdengar suara-suara aneh dari dalam hutan yang membuat bulu kuduk berdiri. ”Oh, celaka!” keluhnya sambil menahan takut.

            Malam kedua ….

Ratna menemukan sesuatu. ”Lihat ukiran ini! Rupanya ini adalah peringatan … ternyata, tempat ini adalah … ku ... kuburan massal ritual kuno. Harta karun yang kita cari adalah … tu … tumbal,” ujarnya terbata-bata.

            ”Tapi kenapa Hendrik yang harus jadi tumbal?” tanya Dewi penuh frustrasi.

            Bayu terdiam sejenak sambil memegang dahinya sebelum menjawab. ”Karena dia yang pertama kali memecahkan kodenya,” ujarnya pelan.

            Ratna dan Dewi bingung menatap ke arah Bayu. Pria yang ditatap tersenyum getir.

            ”Aku sudah menduga sejak awal, peta ini adalah kode program kuno,” ujar Bayu  sambil mengeluarkan peta dari tas Hendrik. ”Kawan kita ini berhasil memecahkan kodenya tadi malam; tapi sayang, dia tak tahu kalau ada pihak lain yang tak ingin kode itu dipecahkan.”

            ”Kau … kau tahu sesuatu?” Dewi dengan langkah gemetar, beringsut mundur perlahan.

            ”Tentu saja aku tahu,” jawab Bayu diselingi tertawa kecil, ”karena aku yang menempatkan kode itu di sini … 300 tahun yang lalu.

            Sebelum Ratna dan Dewi memberikan respons, mendadak kabut tebal datang menyergap, menyelimuti tubuh mereka. Suara gamelan kembali terdengar, kali ini makin keras. Ketika kabut mulai menipis, Bayu telah menghilang. Sungguh misterius!

            Dua hari kemudian ….

Tim SAR menemukan Ratna dan Dewi dalam keadaan syok berat di kaki gunung; kedinginan dan kelaparan. Dengan gemetar, mereka menceritakan kejadian misterius yang menimpa mereka, tetapi tak ada seorang pun yang mempercayainya. Kedua perempuan itu dinyatakan telah mengalami halusinasi ketika berada di puncak gunung. Hendrik dinyatakan meninggal karena serangan jantung, dan Bayu—yang tak ketahuan rimbanya—dinyatakan hilang dalam kecelakaan di tengah perjalanan pendakian. Jasad Hendrik pun tak ditemukan.

            Dalam laporan resmi universitas, Ekspedisi Harta Terpendam dinyatakan gagal dan lokasi reruntuhan ditutup guna penelitian lebih lanjut. Ratna berhenti dari program S-2-nya, sedangkan Dewi pindah mengajar di luar negeri. Trauma berat, membuat keduanya tidak pernah dan tidak ingin membicarakan lagi kejadian misterius yang pernah mereka alami. Peristiwa Gunung Lawu telah terhapus dalam ingatan mereka.

 

***

            Sepuluh tahun kemudian di kafe ”Blue Light” di Yogyakarta ….

            Tampak seorang pemuda duduk menyendiri di sudut ruangan. Dia tak lain adalah Bayu yang pernah dinyatakan hilang. Wajahnya masih seperti dulu—satu dekade yang lalu—tidak menunjukkan tanda-tanda penuaan sedikit pun juga.

            Dia tengah menatap layar laptop di hadapannya, yang menampilkan deretan kode program kuno, yang sama dengan kode yang mengakibatkan Hendrik terbunuh. Di sampingnya, tergeletak peta kuno yang pernah dibawa oleh Ratna dalam ekspedisi.

            Tak berapa lama kemudian, masuklah empat mahasiswa muda ke dalam kafe. Mereka membawa perlengkapan pendakian. Salah satu dari mereka membawa jurnal penelitian tentang artefak misterius di Gunung Lawu yang tak pernah tuntas diselidiki.

            Bayu menatap keempat mahasiswa itu dengan tatapan tajam. ”Sekarang waktunya untuk memulai lagi,” gumam Bayu pelan. Seringai seram menghiasi wajahnya.

            Bayu bangkit dari kursinya, berjalan menghampiri kelompok mahasiswa itu. ”Maaf, saya tidak sengaja mendengar percakapan kalian tentang harta karun Gunung Lawu. Kebetulan saya peneliti yang pernah melakukan ekspedisi di sana. Mungkin saya bisa membantu,” ujarnya dengan nada persuasif.

            Bayu berhasil meyakinkan, rombongan mahasiswa itu pun meminta Bayu untuk mendampingi mereka dalam melakukan penyelidikan..

            Rupanya roda takdir kembali berputar, dan Bayu telah menemukan korban-korban barunya. Setiap sepuluh tahun, dia membutuhkan tumbal baru untuk mempertahankan keabadiannya. Kode kuno itu tak lain adalah perangkap yang diatur olehnya. Siapa pun yang berhasil memecahkan misteri kode tersebut, dia akan menjadi kandidat sempurna bagi tumbal yang dibutuhkannya. Hendrik adalah korban terakhir dalam rantai panjang tumbal yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Rombongan mahasiswa yang ditemuinya di kafe itu adalah calon korban berikutnya. Demi tercapainya ambisi keabadian.


****