Indonesia, sebagai negeri yang terdiri dari beribu pulau,
dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling
kaya di dunia. Berkat Tuhan begitu melimpah pada tanah air kita tercinta. Namun
demikian, sadarkah kita bahwa keberadaan sejumlah spesies puspa dan satwa endemik
Indonesia kini nasibnya seperti telur di ujung tanduk?
Tulisan ini merupakan respons penulis terhadap lomba menulis dari Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan
KEHATI dan National Geographic Indonesia.
Di ambang kepunahan
Terjadinya pemanasan global, perubahan iklim secara
ekstrem, kerusakan habitat, dan aktivitas manusia yang melakukan pembalakan
liar, dan membakar hutan untuk membuka lahan perkebunan, telah mengancam
kelestarian puspa dan satwa langka di negeri ini.
Sebut saja bunga bangkai (Amorphophallus titanum) dan Rafflesia
arnoldii—dua bunga raksasa endemik Sumatra—kini terancam kelestariannya
akibat pembalakan liar dan perubahan habitat. Perlu diketahui bahwa siklus kedua
tanaman ini untuk berbunga itu memerlukan waktu 2-3 tahun sekali. Dengan
demikian, regenerasi kedua bunga langka ini makin sulit terjadi di alam liar.
Jikalau punah, kisah keberadaan bunga raksasa ini hanya tinggal sejarah bagi
anak cucu kita. Sesuatu yang sangat disayangkan!
Sementara itu, anggrek hitam (Coelogyne pandurata)—yang menjadi maskot Provinsi Kalimantan
Timur—juga menghadapi ancaman bahaya besar. Eksploitasi besar-besaran untuk
kepentingan komersial, telah menyebabkan flora langka ini berada di ambang
kepunahan. Anggrek langka ini dikenal dengan keindahan mahkota bunganya yang
berwarna hijau dengan bibir hitam mengilap. Keeksotisannya sering kali menjadi
bahan buruan para kolektor. Perburuan secara liar yang tak terkendali, menyebabkan bunga
langka ini terancam punah.
Di lain pihak, kantong semar (Nepenthes)—tumbuhan karnivora asli Indonesia—mengalami nasib yang serupa. Bayangkan betapa kayanya negeri kita! Dari sekitar 100 spesies yang ada di dunia, 64 spesies kantong semar tumbuh di Indonesia. Namun sungguh amat disayangkan, konversi lahan dan perubahan iklim ekstrem telah menghancurkan habitat utama alaminya, yakni kawasan hutan di dataran rendah. Dari dunia puspa, kita beralih ke dunia satwa. Dari kawasan Banten, muncul tanda peringatan SOS untuk badak jawa (Rhinoceros sondaicus). Badak bercula satu ini merupakan salah satu satwa langka di dunia. Diperkirakan populasinya hanya tersisa 74 ekor di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Culanya menjadi bahan buruan para pemburu liar yang hanya mementingkan keuntungan sesaat. Perburuan liar ini menjadi masalah utama yang mengancam keberlangsungan hidup spesies yang sangat langka ini.
Bendera SOS juga dikibarkan di Sulawesi. Babirusa (Babyrousa babyrussa)—hewan endemik
Sulawesi—menghadapi ancaman kepunahan yang serius. Ancaman kepunahan ini
berasal dari perburuan liar dan fragmentasi
yang membuat habitat asli babirusa makin sempit dan terisolasi satu sama
lain. Fragmentasi habitat ini terjadi karena pembukaan lahan untuk pertanian
atau permukiman. di samping itu, pembuatan infrastruktur jalan, bendungan,
konversi hutan menjadi area komersial, ikut memperparah ancaman kepunahan.
Fragmentasi habitat
menyebabkan habitat asli babirusa makin sempit dan membuat satwa ini terisolasi
satu sama lain. Ketika fragmentasi habitat terjadi, area babirusa untuk mencari
makanan dan berkembang biak menjadi makin berkurang. Terbatasnya ruang gerak
antarpopulasi menyebabkan terjadinya perkawinan sedarah, yang mengakibatkan
kualitas keturunan merosot. Lebih jauh, fragmentasi habitat dapat menyebabkan
terjadinya kerentanan terhadap predator dan pemburu, karena area perburuan
makin terbuka.
Nasib yang sama dialami oleh anoa (Bubalus spp.) yang juga merupakan satwa endemik Sulawesi. Menurut
International Union for Conservation of Nature (IUCN), anoa termasuk dalam
daftar merah sebagai spesies yang terancam punah. Perburuan dan konversi hutan
menjadi lahan pertanian dan pemukiman, mengakibatkan populasinya makin
menyusut.
Kini kita berjalan ke arah timur, yakni ke tanah Papua.
Di sini, unggas simbol keindahan Papua—burung cendrawasih (Paradisaea)—juga tak luput dari kondisi kritis. Sebagian besar dari
39 spesies yang ada terancam punah karena perburuan liar. Keindahan
bulu-bulunya telah memikat para pemburu untuk menangkap satwa cantik ini.
Ancaman kepunahannya diperparah dengan maraknya pembalakan liar. Pesona
keindahan unggas yang spektakuler ini mungkin akan tinggal kenangan jika
pmrintah tak mengusahakan upaya serius untuk melestarikannya.
Perubahan iklim dan pemanasan global
Perubahan iklim ekstrem dan pemanasan
global sungguh membuat pukulan telak bagi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Kedua fenomena tersebut telah mengakibatkan dampak negatif yang serius.
Tak pelak, siklus musim hujan dan kemarau yang tak
teratur dan tak dapat diprediksi, ikut memengaruhi siklus reproduksi aneka puspa
dan satwa. Proses pembentukan bunga, penyerbukan, dan pembuahan pada
tumbuh-tumbuhan, mengalami gangguan. Sementara, pada hewan, terjadi kesulitan
dalam penyesuaian waktu untuk berkembang biak.
Fenomena naiknya permukaan air laut—yang disebabkan oleh
mencairnya es di Kutub—juga memberikan dampak negatif. Hal ini telah mengancam
ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi habitat bagi
sejumlah spesies endemik. Kalau habitat tenggelam, bagaimana mungkin spesies
ini dapat bertahan hidup? Di samping itu, intrusi air laut juga memegang andil dalam
merusak kesuburan tanah di kawasan pesisir. Terkait dengan hal ini, penulis
sangat mendukung rencana pemerintah untuk membangun giant sea wall di sepanjang pantai utara Pulau Jawa.
Terjadinya perubahan suhu dan kelembapan telah mengubah
karakteristik habitat alami sejumlah spesies. Degradasi habitat ini memaksa
sejumlah spesies untuk beradaptasi atau melakukan migrasi. Masalahnya, terdapat
sejumlah spesies yang tak mampu beradaptasi, sehingga terancam punah.
Perubahan iklim ekstrem ini mengakibatkan gangguan keseimbangan
rantai makanan. Gangguan ini berujung pada kurangnya pasokan makanan, sehingga menjadi
ancaman bagi keberlangsungan hidup berbagai jenis spesies.
Upaya pelestarian
Ancaman kepunahan sejumlah puspa dan satwa
langka sudah berada di depan mata. Untuk menghadapi ancaman bahaya yang serius
dan masif ini, diperlukan berbagai upaya pelestarian yang sangat mendesak untuk
dilakukan.
Menurut hemat penulis, terdapat sejumlah langkah penting
yang perlu dilakukan secara sistematis. Langkah pertama, berupa penguatan
regulasi dan penegakan hukum. Pemerintah perlu memperketat upaya pengawasan dan
pemberian sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan. Tindak kejahatan
lingkungan ini terutama terkait dengan perburuan liar dan perdagangan ilegal
puspa dan satwa langka.
Langkah kedua, berupa upaya konservasi secara in-situ dan ex-situ. Program konservasi ex-situ—pembiakan
dalam penangkaran—perlu digalakkan sembari tetap mempertahankan dan merestorasi
habitat alami (in-situ) sejumlah
spesies langka yang terancam punah. Salah satu usaha penangkaran yang berhasil adalah
upaya pelestarian jalak bali. Selain itu, sejumlah pusat rehabilitasi dan
penangkaran orangutan di Sumatra dan Kalimantan juga telah berhasil
mengembalikan sejumlah satwa ini ke habitat aslinya. Upaya seperti ini patut
diapresiasi dan ditularkan kepada masyarakat luas.
Dalam kaitan dengan upaya konservasi ini, izinkanlah
penulis mengutip presentasi Rheza Maulana, S.T., M.Si. yang bertajuk
”Keanekaragaman Hayati Indonesia: Tantangan dan Upaya Pelestarian”. Di sini
Rheza menyatakan, ”Puspa dan satwa yang
beraneka ragam adalah kesatuan komponen alam dengan peran ekologis. Menyayangi
mereka adalah dengan cara membiarkan mereka menjalankan perannya di alam.” Memang,
kalau bukan kita sendiri yang peduli terhadap pelestarian puspa dan satwa langka
Indonesia, lantas siapa?
Langkah ketiga, merupakan langkah yang diimplementasikan
dalam bentuk pemberian edukasi dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah, melalui
Kementerian Lingkungan Hidup, perlu memberikan pendidikan lingkungan dan
pemberdayaan masyarakat lokal. Upaya ini merupakan upaya yang sangat penting
untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar dapat ikut berperan serta dalam
pelestarian lingkungan.
Wujud edukasi ini dapat diterapkan dalam kampanye untuk
menggerakkan masyarakat agar berperan aktif memelihara kelestarian lingkungan
atau memberikan donasi kepada organisasi pelestarian lingkungan. Di samping
itu, perlu dibangun pula kesadaran masyarakat untuk menurunkan emisi gas rumah
kaca dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Upaya mengembangkan energi
terbarukan juga merupakan langkah yang tepat untuk menunjang pelestarian
lingkungan.
Di samping itu, masyarakat dapat berperan dalam memilih
gaya hidup yang bijak, yakni tidak mengonsumsi produk yang berasal dari spesies
yang terancam punah. Kesadaran semacam ini dapat disebarluaskan melalui
berbagai media massa. Tak kurang pentingnya adalah mengajak masyarakat untuk
berpartisipasi dalam menanam pohon dan melakukan restorasi habitat.
Kesimpulan
Ancaman kepunahan keanekaragaman hayati
Indonesia adalah fakta nyata. Ancaman ini bukanlah sekadar perihal masalah lingkungan,
melainkan juga terkait dengan warisan budaya dan identitas bangsa. Jika spesies-spesies
puspa dan satwa langka kita punah, tak terhitung lagi besarnya kerugian bagi
Indonesia dan bagi dunia. Kekayaan puspa dan satwa langka ini tak tergantikan
oleh apa pun juga.
Untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati Indonesia,
diperlukan komitmen dan tindakan nyata dari semua pihak yang
terkait—pemerintah, organisasi lingkungan hidup, sektor swasta, dan masyarakat
umum. Waktu sudah makin mendesak seiring dengan terjadinya perubahan iklim
ekstrem dan pemanasan global, sehingga setiap upaya pelestarian yang kita
lakukan hari ini, akan menentukan nasib generasi Indonesia mendatang.
Sebelum terlambat dan menjadikan puspa dan satwa langka
Indonesia hanya kepingan catatan sejarah, mari kita bersama-sama menjaga
warisan kekayaan alam yang tak ternilai ini. Masa depan keanekaragaman hayati
Indonesia berada di tangan kita semua. Sekali lagi, bertindaklah sekarang juga sebelum
semuanya terlambat!
*****