Sunday, July 28, 2024

Menyiangi Lahan Korupsi: Strategi Pemerintah Daerah dalam Menggugurkan Benih-Benih Kecurangan



Sumber Foto: Antara

Fakta menunjukkan bahwa korupsi telah terjadi di setiap sektor kehidupan. Mulai dari jumlah kecil sampai dengan triliunan. Mulai dari cara yang kasar sampai dengan modus yang canggih. Tak pelak, timbul narasi bahwa korupsi sudah merupakan bagian dari budaya bangsa. Korupsi juga dinyatakan sebagai tindak kejahatan luar biasa.

Sebab musabab                                                                                         

Seperti upaya mencegah dan mengobati penyakit, kita perlu melakukan diagnosis, mencari tahu apa yang menjadi sebab musabab terjadinya korupsi. Dengan demikian, kita dapat mengupayakan cara yang efektif dan efisien untuk mendapatkan solusinya.

 Para ahli mengemukakan sejumlah teori mengenai sebab musabab terjadinya korupsi.Teori ekonomi politik menganggap  bahwa sistem ekonomi politik yang tidak seimbang yang menyebabkan terjadinya korupsi. Hal ini memicu individu atau kelompok tertentu menggunakan kekuasaan politik untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Teori kebudayaan menggarisbawahi peranan nilai-nilai sosial dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma-norma sosial yang toleran terhadap korupsi dan kurangnya nilai-nilai kejujuran dalam budaya tertentu, menjadi penyebab terjadinya korupsi.

Sedangkan teori institusional memandang lemahnya lembaga negara dan sistem hukum  dalam mencegah korupsi dan menindak pelakunya, menjadi faktor penyebab terjadinya korupsi.

Pihak pendukung teori psikologi sosial menganggap korupsi sebagai perilaku yang dipengaruhi oleh faktor psikologis individu, seperti keserakahan, kebutuhan akan kekuasaan, atau tekanan sosial.

Sementara itu, pendukung teori pilihan rasional mengasumsikan bahwa kalkulasi manfaat dan risiko merupakan dasar seseorang melakukan korupsi. Ketika manfaat yang diperoleh itu dianggap lebih besar ketimbang risiko hukuman yang harus ditanggung, maka dilakukanlah tindakan korupsi.      

Sejatinya, tak ada satu teori pun yang secara mutlak dapat menjelaskan seluruh aspek penyebab terjadinya korupsi, mengingat fenomena korupsi itu bersifat kompleks dan multifaset.

Menurut hemat penulis, secara umum, fenomena korupsi itu dapat terjadi karena adanya kesempatan, motivasi negatif, dan rasionalisasi. Di tingkat pemerintah daerah, korupsi acapkali terjadi karena lemahnya sistem pengawasan dan rendahnya transparansi dalam pengelolaan anggaran, ditambah lagi dengan timbulnya kolusi antara pejabat pemerintah dan pihak swasta atau individu yang berkepentingan.

Di samping itu, rendahnya kualitas tata kelola pemerintahan—yang mencakup sistem pengadaan logistik untuk publik—ikut memicu terjadinya korupsi.

Pencegahan dan pemberantasan

Jika kita telah mengetahui sebab musababnya, lalu bagaimana cara mencegah dan memberantas korupsi secara efektif?

Penulis berpendapat, bahwa cara yang paling mendasar adalah melalui pendidikan, yang bisa dilaksanakan sejak masa belajar di bangku sekolah sampai setelah menjadi ASN.

Pendidikan merupakan kunci utama untuk membentuk karakter dan nilai nilai moral. Pendidikan antikorupsi yang diberikan sejak dini dapat membentuk generasi yang memiliki integritas dan kesadaran untuk mengharamkan tindakan korupsi.

Untuk itu, pemerintah daerah wajib memasukkan materi tentang karakter antikorupsi ke dalam kurikulum sekolah. Materi ini mengajarkan tentang pentingnya kejujuran dan transparansi. Merekalah yang bakal menjadi pemimpin masa depan yang berintegritas.

Cara kedua untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan menggunakan teknologi blockchain. Transparansi dan keamanan data melalui sistem yang terdesentralisasi dimungkinkan lewat penggunaan teknologi mutakhir ini.                                                                      

Penggunaan blockchain memungkinkan setiap transaksi yang tercatat tidak dapat diubah atau dihapus. Dengan demikian, teknologi ini dapat menciptakan catatan yang permanen dan mudah diverifikasi. Hal ini dapat meningkatkan upaya transparansi dan memungkinkan pengawasan publik yang lebih efektif terhadap setiap transaksi yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Teknologi canggih ini dapat membuat publik mengakses hasil rekaman setiap transaksi keuangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk  memantau penggunaan anggaran secara real-time, sekaligus mengurangi risiko penyelewengan dana. Bukankah ini merupakan cara pencegahan korupsi yang sangat efektif?

Dalam konteks keamanan, blockchain dapat pula digunakan untuk mengamankan data-data penting pemerintah secara akurat, sehingga peristiwa peretasan data penting dari berbagai instansi pemerintah—seperti yang telah terjadi belakangan ini—tidak terulang lagi. Melek perkembangan teknologi  maju, sangat membantu kita dalam menyelesaikan berbagai masalah penyimpanan data secara tuntas.

Cara ketiga, berupa pengaturan sistem pelaporan dan perlindungan yang baik terhadap pelapor pelanggaran (whistleblower). Dapat dikatakan, pelapor pelanggaran adalah kunci dalam mengungkapkan kasus korupsi. Akan tetapi, mereka sering terintimidasi dan terancam keselamatannya. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus menyediakan dan mengatur sistem pelaporan yang aman dan anonim. Untuk keamanan maksimal, dapat digunakan aplikasi pelaporan korupsi dengan enkripsi yang andal, sehingga identitas pelapor dapat terjaga kerahasiaannya.

Kini kita sampai pada cara keempat, yakni menerapkan upaya audit secara rutin. Audit ini dilakukan oleh lembaga independen untuk membantu mengidentifikasi potensi korupsi dan mengevaluasi efektivitas sistem pengawasan yang ada. Dampaknya sangat positif: akuntabilitas dapat ditingkatkan dan peluang terjadinya korupsi dapat dikurangi secara signifikan.

Dalam hal ini, pemerintah daerah dapat menggandeng lembaga audit independen untuk melakukan pemeriksaan keuangan secara berkala. Kemudian, hasil audit tersebut harus dipublikasikan ke publik sebagai jaminan adanya transparansi.

Berikutnya adalah langkah kelima. Langkah ini berupa pemberian sanksi hukuman yang tegas dan konsisten bagi para koruptor. Hal ini akan memberikan efek jera dan mengurangi keinginan untuk melakukan tindakan korupsi. Pedang Dewi Keadilan jangan sampai terjebak dalam diskriminasi: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kepercayaan masyarakat terhadap KPK, Tipikor, dan Kejaksaan harus dapat ditingkatkan lewat penerapan hukum yang berlaku adil dan tanpa pandang bulu.                                                                                       

Penulis hendak mengemukakan sebuah contoh yang sangat ganjil terkait dengan lemahnya pemberian sanksi hukuman bagi koruptor. Seorang terpidana korupsi yang sudah divonis sejak 2013, baru menjalani hukuman pada bulan Juli 2024. Yang bersangkutan terlibat dalam korupsi pengadaan proyek PT Telkom. Selama 11 tahun jadi terpidana, yang bersangkutan menduduki sejumlah jabatan penting di kementerian. Ironisnya, yang bersangkutan ini adalah mantan deputi KemenPANRB. Pihak penertib justru melakukan pelanggaran berat.      

Dalam hal penerapan hukum secara tegas tanpa pandang bulu, pemerintah daerah—lewat kerja sama dengan lembaga peradilan—harus mampu memastikan bahwa setiap kasus korupsi yang terjadi itu ditangani secara serius, dan pelakunya diganjar hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Sekarang kita sampai pada langkah keenam, yakni pembuktian harta kekayaan pejabat secara terbalik. Langkah ini merupakan salah satu langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi yang efektif. Secara konvensional, kesalahan terdakwa dalam praktik korupsi itu harus dibuktikan oleh penuntut hukum. Akan tetapi, lewat pembuktian harta kekayaan secara terbalik, terduga pelaku korupsilah yang harus membuktikan keabsahan aset dan harta kekayaan yang dimilikinya.

Dalam hal ini, kita dapat mengikuti langkah yang diambil oleh pemerintah Inggris, Australia, dan Italia. Pertanyaan besar yang timbul: jika cara ini efektif, mengapa pemerintah Indonesia tak kunjung menerapkannya?

Penulis menduga, hal ini disebabkan oleh adanya hambatan dari faktor dinamika sosial dan politik. Sudah bukan rahasia lagi, beberapa pejabat—kalau tidak bisa disebutkan berjumlah banyak—diduga terlibat dalam praktik korupsi. Bayangkan saja, untuk menjadi anggota DPR, dikabarkan calon anggota memerlukan biaya miliaran rupiah. Hal inilah yang merupakan pendorong bagi calon anggota DPR atau pejabat lainnya untuk melakukan korupsi, agar setidaknya, bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Sejauh yang penulis ketahui, pemerintah telah mengeluarkan peraturan bagi pejabat negara untuk memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN).  Menurut hemat penulis, langkah ini tidaklah cukup. Mengapa? Karena pejabat dapat melakukan manipulasi dalam pengisiannya.

Selanjutnya kita bahas langkah ketujuh, berupa langkah menaikkan gaji pejabat. Secara teori ekonomi, langkah ini dapat mencegah/mengurangi tindakan korupsi. Peningkatan gaji diharapkan dapat meningkatkan kinerja ASN. Dengan demikian, dedikasi dapat ditingkatkan.

Akan tetapi, teori acapkali berbeda dengan fakta di lapangan. Mengapa? Karena korupsi sudah menjadi bagian dari sebuah sistem. Di samping itu, bukankah keserakahan itu tak mengenal batas?

Langkah kedelapan yang penting, yakni keteladanan dari para pejabat tinggi yang berada di pemerintahan pusat. Fondasi integritas yang kuat dapat terbentuk lewat keteladanan pemerintah pusat. Pemerintah daerah akan mengikuti teladan pemerintah pusat yang bersih. Terkait dengan hal ini, penulis teringat akan ucapan almarhum Prof. Sahetapy, yang mengatakan bahwa bagian ikan yang busuk lebih dahulu adalah kepalanya, lalu tubuhnya ikut menjadi busuk. Jika kepala baik, maka seluruh anggota tubuh akan menjadi baik pula. Namun, sangat disayangkan, justru ketua KPK sendiri  tersandung dalam kasus korupsi/gratifikasi.

Fenomena kontradiksi

Di bagian awal tulisan ini terdapat narasi yang mengatakan bahwa korupsi adalah tindak kejahatan yang luar biasa. Bahkan, dapat disejajarkan dengan tindakan terorisme. Hal ini didukung dengan indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia yang sangat memprihatinkan. Skor Indonesia adalah 34 dari 100 berdasarkan acuan dari Tranparency International. Hal ini membuat negeri kita berada pada peringkat 115 dari 180 negara terkorup di dunia.

IPK yang memprihatinkan ini, menurut hemat penulis, disebabkan oleh maraknya korupsi, bukan saja di pemerintah pusat, melainkan juga di pemerintah daerah. Sebagai contoh, penyelewengan dana desa itu tidak saja melibatkan pejabat seperti lurah, tetapi juga pejabat tingkat RT. Kalau dulu, koruptor itu dikenal dengan sebutan penjahat kerah putih, sekarang ini koruptor tidak memerlukan warna kerah lagi.                                   

Akan tetapi, fakta menunjukkan adanya kesenjangan dalam dunia nyata. Antara realitas sosial dan ketentuan hukum, terdapat jurang yang menganga. Di satu sisi, korupsi itu menggerogoti keadilan, tapi di sisi lain, undang-undang tidak secara eksplisit menyatakan tindakan korupsi sebagai tindak kejahatan yang luar biasa.

Kesenjangan ini terjadi karena dikeluarkannya UU Nomor 1 Tahun 2023—yang  notabene merupakan KUHP baru—yang memiliki implikasi bahwa tindak pidana korupsi itu tidak dikategorikan lagi dalam tindak kejahatan luar biasa, tetapi dinyatakan setara dengan tindak kejahatan seperti pencurian atau penggelapan.

Kesenjangan ini merupakan PR bagi para ahli hukum untuk melakukan pembaruan hukum secara komprehensif.

Akhir kata, penulis percaya bahwa melalui penerapan kedelapan cara yang telah disebutkan di atas, dan kerja sama yang baik dengan semua pihak, penyiangan lahan korupsi secara berkelanjutan—di pemerintah pusat maupun daerah—mampu menggugurkan benih-benih kecurangan, sehingga korupsi tak berkesempatan tumbuh subur.

 Daftar Pustaka

Johnson, L. K., & Brown, P. (2021). Effective Anti-Corruption Programs in Local Governance. Washington, DC: World Bank Group.       

kumparancom. (2024, Juli). ”Terpidana Korupsi sejak 2013, Baru Dieksekusi Juli 2024”. [Video]. https://www.instagram.com/reel/C9rL0foSVs0/?igsh=YjNqOHBtNWN1ODdt.

Pengadilan Negeri Gunung Sitoli (2024, Juli 22). “Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)”. https://www.pn-gunungsitoli.go.id/laporan-harta-kekayaan-penyelenggara-negara.

Pusat Edukasi Antikorupsi. (2023, Februari 9). ”Ini Alasan Mengapa Korupsi Disebut Kejahatan Luar Biasa”. https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230209-ini-alasan-mengapa-korupsi-disebut-kejahatan-luar-biasa.

Transparency International. (2020). ”The Anti-Corruption Blockchain: Enhancing Transparency and Accountability in Public Sector Governance”. https://www.transparency.org/en/publications/the-anti-corruption-blockchain-enhancing-transparency-and-accountability.

Wright, A., & De Filippi, P. (2015). Decentralized Blockchain Technology and the Rise of Lex Cryptographia. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.2580664.

 

Friday, July 5, 2024

 Menerapkan Demokrasi Digital: Peluang dan Ancaman di Indonesia

Oleh Budianto Sutrisno

Sumber gambar: depokpos.com

Di tengah denyut nadi era digital, konsep demokrasi sedang mengalami metamorfosis yang mendalam. Tradisi demokrasi yang telah lama dihormati, yang dulunya dipegang teguh di dunia nyata berupa pertemuan fisik dan wacana manusia secara langsung, kini berpadu satu dengan dunia maya yang tak terbatas. Perpaduan ini memunculkan paradigma baru dalam keterlibatan politik dan pemerintahan. Bagi saya, demokrasi di dunia digital bukan hanya tentang mentransplantasikan prinsip-prinsip demokrasi yang sudah mapan ke dalam domain digital; ini adalah tentang evolusi dan kalibrasi ulang prinsip-prinsip tersebut agar dapat beresonansi dan secara efektif menjawab tantangan-tantangan baru dan khas yang diberikan oleh teknologi digital.

Mercusuar harapan

Dunia digital telah mendemokratisasi penyebaran informasi, memungkinkan tingkat partisipasi dan pengawasan warga negara yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam proses politik. Hal ini telah memberdayakan individu untuk menyuarakan pendapat mereka, memobilisasi untuk tujuan-tujuan tertentu, dan meminta pertanggungjawaban pihak berwenang melalui platform yang melampaui batas-batas geografis dan sosio-ekonomis.

Namun demikian, demokrasi digital ini juga menimbulkan pertanyaan kritis tentang privasi data, penyebaran informasi yang salah atau hoaks, dan kesenjangan digital yang dapat mengecualikan sebagian besar populasi untuk berpartisipasi dalam ruang demokrasi yang bersifat baru dan kekinian.

Dalam gelaran demokrasi digital yang rumit ini, saya melihat secercah harapan untuk model tata kelola pemerintahan yang lebih inklusif dan responsif. Ini adalah sebuah visi di mana teknologi berfungsi sebagai katalisator untuk melibatkan warga negara, mendorong dialog yang transparan antara pemerintah dan warganya. Akan tetapi, ini juga merupakan seruan untuk bersikap waspada, sebuah pengingat bahwa kita harus menjaga integritas forum digital kita dari manipulasi dan memastikan akses yang adil untuk mencegah terciptanya kelas baru warga negara yang kehilangan haknya.

Bagi saya, demokrasi di dunia digital berarti merangkul potensi masyarakat yang lebih terhubung dan partisipatif sembari dengan tekun menepis jebakan-jebakan yang dapat melemahkan fundamen cita-cita demokrasi. Pada akhirnya, esensi demokrasi di dunia digital bergantung pada keseimbangan yang rumit. Ini adalah tentang memanfaatkan kekuatan teknologi untuk meningkatkan partisipasi dan inovasi demokratis, sekaligus menghadapi dan mengurangi risiko yang dapat mengikis kepercayaan publik.

Dalam masyarakat modern kita, terdapat kekuatan transformatif dari internet—sebuah peranti yang telah mendefinisikan ulang esensi demokrasi. Ranah digital menawarkan peluang yang tak tertandingi untuk meningkatkan aksesibilitas dan partisipasi aktif. Ini semua menandai era baru di mana informasi tidak hanya dikonsumsi tetapi juga dibagikan, diperdebatkan, dan digunakan sebagai katalisator perubahan.

Pencipta dan penonton

Indonesia—sebuah negara di mana revolusi digital dengan cepat menjembatani jurang pemisah baik  antara warga perkotaan dan warga pedesaan maupun antara kalangan berada dan kalangan yang kurang beruntung. Di sini, konektivitas internet bukan hanya sekadar kemudahan, tetapi juga jalur kehidupan yang menghubungkan suara-suara yang berbeda di seluruh Nusantara; menjalinnya ke dalam gelaran demokrasi. Seiring dengan meroketnya penetrasi internet, hal ini dapat memperkuat suara-suara yang dulunya berada di pinggiran dan mengintegrasikannya ke dalam dialog bagi kepentingan masa depan bangsa.

Di dunia yang saling terhubung ini, setiap individu memiliki potensi untuk menjadi konsumen dan pencipta konten, penonton dan peserta dalam proses demokrasi. Lanskap digital merupakan lahan subur bagi gerakan akar rumput, memungkinkan warga negara untuk memobilisasi dan mengadvokasi proses perubahan. Hal ini merupakan bukti bahwa ketika diberikan alat untuk saling terhubung, masyarakat dapat memiliki kemampuan untuk meneroka jalan menuju demokrasi yang lebih partisipatif dan responsif.

Dalam menerapkan demokrasi digital ini, kita harus tetap waspada untuk memastikan bahwa internet tetap menjadi kekuatan untuk kebaikan, sebuah platform yang menjunjung tinggi nilai-nilai dialog terbuka dan saling menghormati. Adalah kewajiban kita untuk memanfaatkan teknologi ini guna memberdayakan setiap warga negara. Ini karena di era yang saling terhubung, kekuatan demokrasi kita tidak hanya diukur dari suara-suara yang didengar, tetapi juga dari tindakan yang mengikutinya.

Distorsi realitas

Di dunia digital yang terbentang luas, informasi bergerak dengan kecepatan cahaya, begitu pula dengan kebohongan. Fenomena misinformasi telah meningkat ke tahap yang mengkhawatirkan, dengan potensi untuk memengaruhi opini publik dan memengaruhi hasil pemilu. Perjuangan Indonesia dalam menghadapi proliferasi berita palsu adalah pengingat yang jelas tentang kekuatan berbahaya dari misinformasi. Ini bukan hanya masalah sejumlah fakta yang disalahartikan; ini adalah masalah sistemik yang dapat merusak prinsip-prinsip yang sangat mendasar dari pengambilan keputusan yang terinformasi dan praktik permainan yang adil dalam demokrasi. Suka atau tidak suka, misinformasi telah membuat terjadinya distorsi realitas yang menyesatkan.

Kita semua menyadari bahwa kemunculan platform digital telah menjadi anugerah bagi masyarakat sipil Indonesia. Media sosial, khususnya, telah muncul sebagai alat yang ampuh untuk gerakan akar rumput dan aktivitas sosial, yang mendemokratisasi ruang publik dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekuatan platform-platform ini tampak jelas sekali ketika mereka menjadi instrumen dalam menggalang opini publik dan mengorganisikan protes massa terhadap undang-undang serta kebijakan pemerintah yang kontroversial.

Tak pelak, demokrasi Indonesia di dunia digital merupakan pedang tajam bermata dua. Selain menawarkan peluang untuk berpartisipasi, hal ini juga mengancam fondasi masyarakat demokratis. Memang, perjalanan Indonesia menuju demokrasi digital yang bersifat dewasa masih terus berlangsung. Sampai tujuan ideal tercapai. 

***