Saturday, June 22, 2024

Menyoal Integritas Jurnalisme: MenaklukkanTantangan Disinformasi di Era Digital 

Oleh Budianto Sutrisno

Sumber Foto: Kementerian Komunikasi dan Informatika

Jurnalis mengatakan sesuatu yang mereka tahu tidak benar, dengan harapan bahwa jika terus mengatakannya cukup lama, itu akan menjadi kenyataan. (Arnold Bennett).

Apa yang dikatakan oleh Arnold Bennett—seorang novelis, penulis naskah drama, kritikus berkebangsaan Inggris (1867-1931)—tampaknya masih berlaku sampai abad ke-21 ini, dan mungkin juga seterusnya.

Tiga pilar utama                                                                                                                                          Ternyata berita dusta/hoaks atau disinformasi telah terjadi sejak bertahun lalu. Celakanya, jika berita yang tidak benar ini disebarkan terus-menerus dalam jangka panjang, khalayak dapat menganggapnya sebagai kebenaran. Ini merupakan  petaka besar di era digital, di mana penyebaran informasi berlangsung begitu cepat dan masif.                                                  

Untuk mencegah berkembangnya masalah disinformasi, kegiatan jurnalisme memerlukan apa yang disebut sebagai kepercayaan, pilar utama dan pertama yang merupakan keniscayaan mutlak. Kepercayaan itu menciptakan hubungan yang solid dan tahan lama antara media dan khalayaknya.                                            

Menurut studi yang dilakukan oleh Pew Research Center di Amerika Serikat, kepercayaan publik terhadap media sangat dipengaruhi oleh persepsi transparansi dan independensi media tersebut.                               

Dalam konteks Indonesia, kasus surat kaleng yang melibatkan Metro TV pada tahun 2017 dapat dijadikan pelajaran berharga. Isi surat kaleng yang mengandung tuduhan serius pada salah satu kandidat dalam Pilkada DKI dimuat sebagai berita.  Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana kurangnya verifikasi fakta dapat mengikis kepercayaan publik. Di sinilah pentingnya penerapan standar etika yang ketat dan mekanisme verifikasi yang kuat dalam jurnalisme untuk memastikan bahwa informasi yang disajikan adalah benar, akurat, dan dapat dipercaya.                                                                                                                                       

Sementara itu, menurut teori kepercayaan sosial yang dikemukakan oleh Fukuyama pada tahun1995, kepercayaan merupakan buah dari ekspektasi kolektif bahwa suatu institusi akan bertindak secara konsisten, adil, dan selaras dengan norma-norma yang berlaku. Hal ini menegaskan bahwa integritas jurnalisme bukan hanya tentang menyampaikan fakta, melainkan juga tentang membangun dan menjaga hubungan kepercayaan dengan masyarakat. Jika kepercayaan itu sampai hilang, hilang pula integritas jurnalisme. Berita kebenaran macam apa pun yang disajikan, tak akan digubris oleh khalayak.                                                                      

Kepercayaan publik adalah aset berharga yang harus dipelihara oleh media. Publik cenderung mengandalkan media yang memiliki rekam jejak dalam menyajikan informasi yang tidak hanya akurat tetapi juga imperatif dan etis. Oleh karena itu, integritas jurnalisme harus diperkuat melalui penerapan standar etika yang tinggi dan transparansi dalam proses peliputan serta penyajian berita.                                                                         

Untuk membangun jurnalisme yang bertanggung jawab, diperlukan juga pilar utama kedua, yakni keamanan. Pilar keamanan bukan hanya sekadar isu, melainkan sebuah prasyarat mutlak dalam menjaga kebebasan pers dan demokrasi. Di Indonesia, bayang-bayang ancaman terhadap jurnalis terus menjadi sorotan yang memprihatinkan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Committee to Protect Journalists (CPJ), tercatat bahwa Indonesia masih terbelenggu dalam catatan kelam perlindungan jurnalis, dengan sejumlah kasus kekerasan dan pembunuhan yang menggantung tanpa penyelesaian.                                                                                   

Salah satu kasus yang paling miris adalah pembunuhan terhadap jurnalis Radar Bali, A.A. Gde Bagus Narendra Prabangsa, pada tahun 2009. Kasus ini menjadi simbol dari risiko besar yang harus dihadapi jurnalis dalam mencari dan menyampaikan kebenaran. Ironisnya, tragedi ini juga menjadi pengingat bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan banyak pihak demi menciptakan lingkungan yang aman bagi para jurnalis.                                                                                                                                                  

Menghadapi realitas yang keras, tuntutan akan kebijakan yang lebih tegas dan perlindungan hukum yang lebih kuat untuk jurnalis merupakan suara yang tidak bisa diabaikan, apalagi dibungkam. Kita harus mengakui bahwa tanpa keamanan yang memadai, jurnalis akan terus berada dalam bayang-bayang ketakutan yang menghambat mereka untuk bekerja secara bebas dan profesional.                                                                          

Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan semua pihak yang terlibat harus bersinergi dalam merumuskan dan menerapkan langkah-langkah konkret. Ini termasuk peningkatan standar keamanan di lapangan, pelatihan keselamatan bagi jurnalis, serta mekanisme perlindungan hukum yang dapat diandalkan. Kita harus bergerak dari retorika ke aksi nyata, dari janji ke implementasi yang efektif.                                                               

Pilar keamanan harus dapat memastikan jurnalis dapat bekerja dalam kondisi yang aman untuk dapat mengungkap kebenaran tanpa dibayangi rasa takut akan ancaman atau intimidasi. Keamanan ini mencakup perlindungan fisik, psikologis, dan digital. Negara dan lembaga media harus berkomitmen untuk melindungi jurnalis dari segala bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.                                                       

Kini kita tiba pada pembahasan pilar utama ketiga, yakni faktualitas, yang merupakan fondasi dari setiap laporan jurnalisme yang berkualitas. Tanpa adanya fakta yang akurat dan terverifikasi, jurnalisme kehilangan esensinya sebagai penyedia informasi yang dapat diandalkan. Untuk mencapai faktualitas, jurnalis harus melakukan penelitian yang mendalam, menggali berbagai sumber, dan tidak terburu-buru dalam penerbitan berita demi mengejar sensasi. Faktualitas juga berarti jurnalis harus siap untuk mengoreksi kesalahan dan memberikan klarifikasi ketika diperlukan, sehingga integritas dan kredibilitas mereka dapat dipertahankan di mata publik.                                                                                                                                                    

Dalam mengarungi lautan informasi di era digital, faktualitas adalah mercusuar yang menuntun kita menuju kebenaran. Kita, sebagai konsumen informasi, harus proaktif dalam mencari sumber berita yang dapat dipercaya dan mendukung jurnalisme yang bertanggung jawab. Di sisi lain, para profesional media harus terus mengasah integritas dan keterampilan mereka dalam menghadapi banjir informasi yang sering kali menyesatkan. Hanya dengan sinergi antara masyarakat dan media, kita dapat memastikan bahwa kebenaran tidak tenggelam dalam arus informasi yang tak terbendung.

Kebebasan pers                                                                                                                                        Pers tanpa kebebasan bersuara tak ubahnya seperti orang berada dalam pasungan dan dibungkam. Tak dapat menyatakan suara hati, apalagi menuntut keadilan.                                                                                         

Menurut hemat penulis, kebebasan pers itu terkait erat dengan pilar keamanan; dua hal yang tak dapat dipisahkan. Kebebasan pers adalah salah satu pilar demokrasi yang harus terus dipupuk dan dilindungi. Jurnalis memiliki peran penting dalam menginformasikan berita kepada publik, mengkritisi kebijakan, dan mengungkap kebenaran. Oleh karena itu, membangun ekosistem yang mendukung kebebasan pers dengan menjamin keamanan jurnalis adalah tanggung jawab kita bersama.                                                                                   

Kita perlu bergandengan tangan melakukan upaya advokasi untuk perubahan yang signifikan dalam kebijakan dan praktik yang menjamin keamanan jurnalis. Setiap ancaman, intimidasi, atau tindak kekerasan terhadap jurnalis, harus ditanggapi dengan serius dan ditindaklanjuti dengan proses hukum yang adil dan transparan. Hanya dengan demikian, jurnalis dapat menjalankan tugas mereka tanpa rasa takut dan dengan integritas yang tak tergoyahkan.                                                                                                                                       

Untuk  menjaga nyala api demokrasi yang sehat, keamanan jurnalis bukanlah opsi, melainkan keharusan. Seluruh pihak yang terkait perlu memperjuangkan keamanan jurnalis sebagai bagian dari upaya kita untuk memperkuat demokrasi. Karena pada akhirnya, kebebasan pers dan keamanan jurnalis adalah cermin dari nilai-nilai demokrasi yang kita junjung tinggi. Cermin bening atau buram, itulah kondisi demokrasi kita.

Peran media sosial                                                                                                                               Di tengah gempuran era digital, di mana informasi mengalir tanpa henti dan tanpa filter, integritas faktual menjadi semakin krusial. Media sosial, dengan kecepatan dan jangkauannya yang luas, acapkali menjadi kanvas bagi penyebaran berita yang tidak akurat atau bahkan sengaja dipalsukan.                                                             

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nielsen dan Graves pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa media sosial sering menjadi katalis utama dalam penyebaran berita palsu. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kancah global, tetapi juga sangat nyata di Indonesia. Misalnya, sepanjang pandemi COVID-19, kita menyaksikan bagaimana berita palsu tentang virus dan metode pengobatannya menyebar dengan cepat, menciptakan kebingungan serta erosi kepercayaan di kalangan masyarakat.                                                                 

Kendati dapat memperkaya diskusi publik, media sosial sering menciptakan ruang gema (echo chambers) di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang memperkuat keyakinan mereka sendiri. Hal ini dapat mengarah pada polarisasi yang tajam dan mengurangi kemungkinan dialog yang konstruktif. Contoh nyata adalah penyebaran narasi-narasi politik yang memecah belah selama pemilihan umum di Indonesia. Penggunaan istilah ’cebong’, ’kampret’, dan ’kadrun’ merupakan bukti nyata adanya polarisasi yang tajam.                        

Di samping itu, media sosial juga dapat menjadi alat untuk mengintimidasi dan menyerang jurnalis yang melaporkan isu-isu kontroversial. Hal ini mengancam kebebasan pers dan menghalangi jurnalis dalam melaksanakan tugas mereka secara efektif. Kasus-kasus seperti pelecehan daring terhadap jurnalis di Indonesia adalah contoh nyata dari dampak negatif ini.                                                                                     

Dampak negatif lain adalah adanya persekusi digital. Di balik kemudahan akses dan pertukaran pikiran yang cepat melalui media sosial, tersembunyi potensi kelam yang disebut persekusi digital.                                                                                                                                                            

Persekusi ini merupakan serangan sistematis dan terkoordinasi terhadap individu atau kelompok tertentu melalui platform digital, terutama media sosial. Tindakan ini, antara lain dapat mencakup pelecehan, penyebaran informasi palsu, dan pembunuhan karakter yang bertujuan untuk mengintimidasi atau merusak reputasi individu atau kelompok yang bersangkutan.                                                                                                                  

Sungguh tidak adil rasanya jika penulis hanya mengemukakan dampak negatif media sosial, karena faktanya, media ini juga memiliki dampak positif dalam kaitan dengan integritas jurnalisme.                                       Media sosial mampu menyajikan hal-hal penting secara real-time. Hal ini sangat krusial dalam situasi darurat, di mana kecepatan informasi bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati. Sebagai contoh, ketika gempa bumi mengguncang Lombok pada tahun 2018, media sosial berperan penting dalam penyebaran informasi dan peringatan dini secara cepat, sehingga dapat menyelamatkan banyak jiwa.                                                                                                                                                                    Selain itu, media sosial memberikan platform bagi kelompok-kelompok yang kurang terwakili untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal ini membantu menciptakan jurnalisme yang lebih inklusif dan beragam. Sebagai contoh, gerakan #KamiTidakTakut yang muncul sebagai respons terhadap serangan terorisme di Jakarta pada tahun 2016. Gerakan ini memperlihatkan timbulnya solidaritas dan ketahanan warga yang signifikan melalui media sosial.               

Dalam menghadapi era digital yang terus berkembang, penting bagi jurnalisme untuk beradaptasi dan memanfaatkan media sosial dengan bijak, memastikan bahwa mereka tetap setia pada prinsip-prinsip akurasi, keadilan, dan tanggung jawab. Dengan demikian, media sosial dapat menjadi kekuatan untuk kebaikan, memperkuat integritas jurnalisme dan melayani masyarakat dengan informasi yang dapat dipercaya dan adil.

Kesimpulan                                                                                                                                          Untuk menjaga integritas jurnalisme, setiap pilar—kepercayaan, keamanan, dan faktualitas—harus diperkuat melalui komitmen yang tak tergoyahkan dari para profesional media. Hal ini tidak hanya penting bagi keberlangsungan industri media itu sendiri, tetapi juga bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Jurnalisme yang integritasnya terjaga adalah jurnalisme yang mampu menjadi pilar kekuatan masyarakat dalam mencari kebenaran dan keadilan.                                                                                                                                  

Dalam konteks yang lebih luas, integritas jurnalisme adalah tentang menjaga keseimbangan yang harmonis antara kepercayaan, keamanan, dan faktualitas. Setiap pilar saling mendukung dan tidak dapat berdiri sendiri. Media massa yang berintegritas adalah media yang mampu menjaga keseimbangan ini dengan baik, sehingga dapat terus menjadi sumber informasi yang dapat diandalkan dan bertanggung jawab bagi masyarakat.              

Tak syak lagi! Integritas jurnalisme merupakan fondasi yang tidak tergoyahkan dalam menopang demokrasi yang sehat dan dinamis. Kepercayaan publik, keamanan jurnalistik, dan ketepatan faktual adalah tritunggal yang saling menguatkan dalam arsitektur jurnalisme yang berintegritas tinggi. Di Indonesia, integritas jurnalisme masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang bersifat kompleks, mulai dari tekanan politik yang berat, ancaman fisik yang nyata, hingga gelombang berita palsu yang mengancam fondasi kebenaran.                                                                                                                                                 

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan sinergi yang kuat antara berbagai pihak. Pemerintah harus berperan aktif dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi kebebasan pers dengan menyediakan perlindungan hukum yang kuat bagi para jurnalis. Hal ini tidak hanya melindungi mereka dari ancaman fisik, tetapi juga memberikan keberanian untuk melaporkan fakta secara objektif dan tanpa rasa takut.                                           

Kolaborasi antara pemerintah, organisasi media, dan masyarakat adalah kunci untuk menciptakan ekosistem jurnalisme yang tidak hanya informatif dan akurat, tetapi juga aman dan tepercaya. Mari kita bersama-sama membangun jurnalisme yang berkualitas demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih cerah.

Daftar Pustaka

Committee to Protect Journalists. (2020). Getting away with murder. https://cpj.org/reports/2020/10/getting-away-with-murder/

Fukuyama, F. (1995). Trust: The social virtues and the creation of prosperity. Free Press               

Hudson, B.J. (2017). Arnold Bennett and the Pursuit of Knowledge. Journal of English Studies. 10.1080/0013838X.2016.1230315     

 

Ihsanuddin, Sabrina Asril. (Januari 24, 2019). Mengingat Lagi Kasus Pembunuhan Wartawan Radar Bali AA Narendra Prabangsa. https://nasional.kompas.com/read/2019/01/24/07570831/mengingat-lagi-kasus-pembunuhan-wartawan-radar-bali-aa-narendra-prabangsa?page=all

 

Keele University. (n.d.). Arnold Bennett. Keele University Library. https://www.keele.ac.uk/library/specialcollections/arnoldbennett/

Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2007). The elements of journalism: What newspeople should know and the public should expect. Three Rivers Press

Lewandowsky, S., Ecker, U. K. H., & Seifert, C. M. (2012). Misinformation and its correction: Continued influence and successful debiasing. Psychological Science in the Public Interest, 13(3), 106-131. https://doi.org/10.1177/1529100612451018

Nielsen, R. K., & Graves, L. (2017). News you don't believe: Audience perspectives on fake news. Reuters Institute for the Study of Journalism. https://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/our-research/news-you-dont-believe-audience-perspectives-fake-news

Pew Research Center. (2021). Public trust in government: 1958-2021. https://www.pewresearch.org/politics/2021/05/17/public-trust-in-government-1958-2021/

Sebastian, Leonard C. (April 14, 2017). Commentary: Why it doesn’t matter who wins Jakarta come April 19. https://www.channelnewsasia.com/commentary/ahok-anies-jakarta-governor-election-2050711

Ward, S. J. A. (2011). Ethics and the media: An introduction. Cambridge University Press

Yulianto, Hanif Sri. (November 23, 2023). 28 Kata-kata Bijak Jurnalis dan Kebebasan Pers. https://www.bola.com/ragam/read/5459891/28-kata-kata-bijak-jurnalis-dan-kebebasan-pers