Wednesday, November 8, 2023

Sumbangsih Perempuan dalam Pembangunan Indonesia melalui Industri Sigaret Kretek Tangan

 

                               Sumbangsih Perempuan dalam Pembangunan Indonesia                                  melalui Industri Sigaret Kretek Tangan

Oleh Budianto Sutrisno

Buruh lintng rokok l Sumber foto: ANTARA.


Engkau tidak akan sekuat sekuat laki-laki,

tapi engkau lebih tabah, tekun, dan teliti ketimbang mereka.

Dan kekelebihan itulah

yang menjadikan perempuan mampu mengalahkan laki-laki.

(Anonim).


      Kata-kata bijak di atas rupanya tepat diterapkan dalam salah satu industri unik di Indonesia yakni sigaret kretek tangan (SKT).                                                                                                                                            Di zaman digital di mana sebagian besar industri telah menggunakan mesin-mesin modern, bahkan robot, industri SKT tetap bereksistensi dengan cara manual. Industri ini tak tergerus oleh putaran roda zaman. Industri SKT secara cerdik telah memanfaatkan sifat ketabahan, ketekunan, dan ketelitian pada perempuan sebagai tenaga kerja yang lebih andal ketimbang pekerja laki-laki.

 Pemberdayaan pekerja perempuan

            Tak syak lagi, industri SKT itu menyerap banyak sekali tenaga kerja, terutama para perempuan yang bertugas melinting rokok. Di satu kota penghasil SKT saja, usaha ini menghidupi ribuan penduduk. Karena kontribusinya yang tinggi dalam penyerapan tenaga kerja, pemerintah berkomitmen untuk mendukung keberlangsungan industri SKT.

            Peranan pekerja perempuan dalam industri SKT sangat mendominasi. Di perusahaan rokok Sampoerna, misalnya, terdapat 85.000 pekerja yang 80% di antaranya adalah ibu-ibu yang bertugas melinting  rokok SKT. (https://merdeka.com/uang/80-persen-buruh-sampoerna-ibu-ibu-pelinting-rokok.html).

    Menurut data dari Kementerian Perindustrian, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri rokok sebanyak 5,98 juta orang, 4,28 juta di antaranya merupakan pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, sedangkan sisanya sebanyak 1,7 juta pekerja di sektor perkebunan. Seperti kita ketahui, sektor industri hasil tembakau itu melibatkan banyak industri turunan, sehingga memiliki efek ganda terhadap perekonomian dalam besaran jumlah yang sangat signifikan. Fakta menunjukkan bahwa industri tembakau merupakan sumber mata pencarian bagi jutaan masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya petani tembakau. Dengan demikian, pengaturan kebijakan yang didasarkan atas alasan kesehatan, perlu dilakukan secara berhati-hati guna menciptakan keseimbangan dan kesinambungan industri tembakau yang terkait erat dengan kesejahteraan hidup masyarakat luas.                                                                                                                             Dalam merumuskan kebijakan sektor industri tembakau, pemerintah perlu mempertimbangkan aspek ekonomi di samping aspek kesehatan, sehingga penyerapan tenaga kerja dan penerimaan negara dapat dilakukan secara seimbang dan menjamin keberlanjutan sektor tersebut.                                                                            Industri SKT yang berada di tengah permukiman penduduk merupakan suatu hal yang patut disyukuri. Mengapa? Karena hal ini dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, terutama kaum perempuan. Diharapkan hal ini mampu meningkatkan perekonomian keluarga sekaligus mengurangi jumlah pengangguran. Hal ini membuktikan bahwa perempuan juga mampu untuk mendukung perekonomian keluarga, bukan hanya sekadar insan yang bisa ”masak, macak, dan manak” (memasak, berdandan, dan melahirkan).                                                                                                                                                        Data dari CNBC menunjukkan bahwa jumlah pekerja perempuan di industri rokok di Jawa Timur mencapai  80% dari total pekerja. Sebuah jumlah yang luar biasa. Rasanya tak ada industri lain yang dominasi pekerja perempuannya seperti yang terdapat di industri rokok.                                                                            Dominasi pekerja perempuan dalam industri SKT ini mulai tampak sejak tahun 1980. Perempuan dianggap lebih tabah, tekun, dan teliti dibandingkan dengan karyawan pria secara rata-rata. Ini merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan bisnis di sektor SKT. Perusahaan dapat memberdayakan perempuan sekaligus menyerap banyak tenaga kerja.                                                                                                                           Berapa penghasilan mereka? Para pelinting rokok ini menerima upah Rp30.000,00 per 1.000 batang, dan buruh yang mahir dapat melinting 3.000-6.000 batang dalam sehari. Keberadaan industri kretek di Indonesia memang merupakan hal yang dilematis. Di satu sisi terdapat seruan/kampanye antikretek karena alasan kesehatan. Akan tetapi, di sisi lain industri kretek diharapkan dapat menjadi sumber pembiayaan yang sangat penting bagi pemerintah, karena faktor pendapatan dari cukai kretek yang sangat signifikan.                         Bagi penulis, perjalanan industri SKT itu merupakan sebuah evolusi industri yang sangat menarik. Ramuan tembakau dan cengkih yang mula-mula digunakan untuk pengobatan, berubah menjadi sumber kenikmatan dan gaya hidup. Ramuan tembakau dan cengkih dalam formula yang pas, membuat penggemar kretek kecanduan. Bahkan, bagi orang-orang tertentu, rokok kretek adalah teman setia ketika menikmati secangkir kopi hangat dan pisang goreng.  Dalam perkembangan selanjutnya—sesuai dengan perubahan zaman—muncullah  sigaret kretek mesin (SKM) yang berpotensi ”merampas” pasar SKT. Menurut data Kementerian Perindustrian, pasar SKM kini mencapai sekitar 66%, sedangkan SKT mencapai 26%, sisanya diraih oleh sigaret putih mesin (SPM) sebesar 6%, dan rokok jenis lain sebesar 1%. (https://thinkway.id/rahasia-sigaret-kretek-lintingan-tangan-wanita/). Dalam hal ini, pemerintah perlu menjaga keseimbangan nisbah antara SKT dan SKM agar tercapai proporsi yang pas, sehingga pemberdayaan perempuan dalam industri rokok kretek tidak terhambat oleh penggunaan mesin-mesin modern.

Efek bola salju

Menurut Dr. Ratna Saptari—ahli masalah gender dan buruh, penyabet gelar Ph.d di bidang riset dari Universitas Amsterdam sekaligus pengajar di Universitas Leiden—mayoritas perempuan yang bekerja sebagai buruh dalam industri rokok adalah perempuan yang menjadi sumber penghasilan utama bagi keluarga. Pada hakikatnya, mereka inilah tulang punggung keluarga. (https://ugm.ac.id/berita/11153-dinamika-gender-dalam-industri-rokok-di-indonesia/).

Menurut beliau, buruh perempuan yang dipekerjakan di perusahaan rokok Sampoerna, yang berlokasi di Surabaya dan Jombang, perempuan lebih banyak dipekerjakan ketimbang laki-laki. Penyebabnya, pekerja laki-laki lebih banyak terlibat dalam aktivitas serikat buruh dan sering kali melakukan aksi mogok kerja, sehingga menghambat proses produksi. Keberlangsungan perusahaan itu ditentukan oleh aktivitas produksi, bukan? Dengan kata lain, pekerja perempuan itu lebih produktif dan menguntungkan bagi perusahaan rokok ketimbang pekerja laki-laki.

Buruh perempuan yang dipekerjakan di pabrik rokok ini mayoritas berasal dari kawasan sekitar pabrik. Namun, ada juga yang merantau dari daerah yang cukup jauh. Salah satu alasan para perantau itu di samping untuk memperoleh penghasilan sendiri, di antara mereka ada juga yang berusaha membebaskan dirinya dari kawin paksa di usia muda.

Menurut hemat penulis, keberadaan pabrik rokok dengaan ribuan buruh ini memilki efek bola salju yang menggelinding ke usaha lain. Para buruh pasti membutuhkan makan dan minum Mereka yang berasal dari jauh juga membutuhkan pondokan/tempat kost. Dengan demikian, perusahaan rokok ikut menghidupkan usaha warung sederhana dan tempat-tempat pondokan. Warung-warung membutuhkan pasar untuk transaksi bahan makanan. Ekonomi kawasan sekitar pabrik ikut terbangun. Warung dan tempat pondokan juga membutuhkan tenaga kerja. Dinamika ekonomi kawasan berjalan dengan penuh gairah.

Menurut data dari Kementerian Perindustrian pada 2019, total tenaga kerja yang diserap oleh industri rokok adalah sebanyak 5,98 juta orang. Mereka terdiri dari 4,28 juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, sedangkan sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan. (https://kemenperin.go.id).

Sementara itu, laporan pengendali HMSP Philip Morris International, menunjukkan bahwa total pasar rokok di Indonesia pada semester pertama mencapai 141,1 miliar batang. Di pihak lain, Kementerian Keuangan mencatat bahwa realisasi penerimaan cukai dari hasil tembakau itu mencapai 198,02 triliun rupiah. Angka ini diperoleh sejak 1 Januari sampai dengan 14 Desember 2022. Belum lagi pajak yang dihasilkan, yang lebih besar jumlahnya ketimbang cukai. Boleh dibilang hampir 10% APBN kita didanai oleh industri hasil tembakau. (https://pasardana.id/news/2020/3/27/didominasi-tenaga-kerja-perempuan-pelaku-industri-hasil-tembakau-harapkan-perlindungan-pemerintah/)

Bayangkan, angka sebesar ini antara lain diperoleh dari industri SKT yang sebagian besar karyawannya adalah perempuan. Srikandi Indonesia memang berperan sangat penting dalam perjalanan industri SKT. Jadi, jangan bilang lagi bahwa perempuan Indonesia itu makhluk lemah. Mereka Srikandi yang perkasa.

 

*****