Sumbangsih Perempuan dalam Pembangunan Indonesia melalui Industri Sigaret Kretek Tangan
Oleh
Budianto Sutrisno
Buruh lintng rokok l Sumber foto: ANTARA.
Engkau tidak akan sekuat sekuat laki-laki,
tapi engkau lebih tabah, tekun, dan teliti ketimbang
mereka.
Dan kekelebihan itulah
yang menjadikan perempuan mampu mengalahkan laki-laki.
(Anonim).
Kata-kata bijak di atas rupanya tepat diterapkan dalam salah satu industri unik di Indonesia yakni sigaret kretek tangan (SKT). Di zaman digital di mana sebagian besar industri telah menggunakan mesin-mesin modern, bahkan robot, industri SKT tetap bereksistensi dengan cara manual. Industri ini tak tergerus oleh putaran roda zaman. Industri SKT secara cerdik telah memanfaatkan sifat ketabahan, ketekunan, dan ketelitian pada perempuan sebagai tenaga kerja yang lebih andal ketimbang pekerja laki-laki.
Pemberdayaan pekerja perempuan
Tak syak lagi, industri SKT itu
menyerap banyak sekali tenaga kerja, terutama para perempuan yang bertugas
melinting rokok. Di satu kota penghasil SKT saja, usaha ini menghidupi ribuan
penduduk. Karena kontribusinya yang tinggi dalam penyerapan tenaga kerja,
pemerintah berkomitmen untuk mendukung keberlangsungan industri SKT.
Peranan pekerja perempuan dalam
industri SKT sangat mendominasi. Di perusahaan rokok Sampoerna, misalnya,
terdapat 85.000 pekerja yang 80% di antaranya adalah ibu-ibu yang bertugas
melinting rokok SKT. (https://merdeka.com/uang/80-persen-buruh-sampoerna-ibu-ibu-pelinting-rokok.html).
Menurut data dari Kementerian Perindustrian, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri rokok
sebanyak 5,98 juta orang, 4,28 juta di antaranya merupakan pekerja di sektor
manufaktur dan distribusi, sedangkan sisanya sebanyak 1,7 juta pekerja di
sektor perkebunan. Seperti
kita ketahui, sektor industri hasil tembakau itu melibatkan banyak industri
turunan, sehingga memiliki efek ganda terhadap perekonomian dalam besaran
jumlah yang sangat signifikan. Fakta menunjukkan bahwa industri tembakau
merupakan sumber mata pencarian bagi jutaan masyarakat Indonesia, termasuk di
dalamnya petani tembakau. Dengan demikian, pengaturan kebijakan yang didasarkan
atas alasan kesehatan, perlu dilakukan secara berhati-hati guna menciptakan
keseimbangan dan kesinambungan industri tembakau yang terkait erat dengan
kesejahteraan hidup masyarakat luas. Dalam merumuskan
kebijakan sektor industri tembakau, pemerintah perlu mempertimbangkan aspek
ekonomi di samping aspek kesehatan, sehingga penyerapan tenaga kerja dan
penerimaan negara dapat dilakukan secara seimbang dan menjamin keberlanjutan
sektor tersebut. Industri
SKT yang berada di tengah permukiman penduduk merupakan suatu hal yang patut
disyukuri. Mengapa? Karena hal ini dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah
besar, terutama kaum perempuan. Diharapkan hal ini mampu meningkatkan perekonomian
keluarga sekaligus mengurangi jumlah pengangguran. Hal ini membuktikan bahwa
perempuan juga mampu untuk mendukung perekonomian keluarga, bukan hanya sekadar
insan yang bisa ”masak, macak, dan manak”
(memasak, berdandan, dan melahirkan). Data
dari CNBC menunjukkan bahwa jumlah pekerja perempuan di industri rokok di Jawa
Timur mencapai 80% dari total pekerja. Sebuah
jumlah yang luar biasa. Rasanya tak ada industri lain yang dominasi pekerja
perempuannya seperti yang terdapat di industri rokok. Dominasi pekerja perempuan dalam industri SKT ini mulai
tampak sejak tahun 1980. Perempuan dianggap lebih tabah, tekun, dan teliti
dibandingkan dengan karyawan pria secara rata-rata. Ini merupakan suatu hal
yang sangat menguntungkan bisnis di sektor SKT. Perusahaan dapat memberdayakan
perempuan sekaligus menyerap banyak tenaga kerja. Berapa penghasilan mereka? Para pelinting rokok ini
menerima upah Rp30.000,00 per 1.000 batang, dan buruh yang mahir dapat
melinting 3.000-6.000 batang dalam sehari. Keberadaan
industri kretek di Indonesia memang merupakan hal yang dilematis. Di satu sisi
terdapat seruan/kampanye antikretek karena alasan kesehatan. Akan tetapi, di
sisi lain industri kretek diharapkan dapat menjadi sumber pembiayaan yang
sangat penting bagi pemerintah, karena faktor pendapatan dari cukai kretek yang
sangat signifikan. Bagi
penulis, perjalanan industri SKT itu merupakan sebuah evolusi industri yang
sangat menarik. Ramuan tembakau dan cengkih yang mula-mula digunakan untuk
pengobatan, berubah menjadi sumber kenikmatan dan gaya hidup. Ramuan tembakau
dan cengkih dalam formula yang pas, membuat penggemar kretek kecanduan. Bahkan,
bagi orang-orang tertentu, rokok kretek adalah teman setia ketika menikmati
secangkir kopi hangat dan pisang goreng. Dalam
perkembangan selanjutnya—sesuai dengan perubahan zaman—muncullah sigaret kretek mesin (SKM) yang berpotensi
”merampas” pasar SKT. Menurut data Kementerian Perindustrian, pasar SKM kini mencapai
sekitar 66%, sedangkan SKT mencapai 26%, sisanya diraih oleh sigaret putih
mesin (SPM) sebesar 6%, dan rokok jenis lain sebesar 1%. (https://thinkway.id/rahasia-sigaret-kretek-lintingan-tangan-wanita/). Dalam hal
ini, pemerintah perlu menjaga keseimbangan nisbah antara SKT dan SKM agar
tercapai proporsi yang pas, sehingga pemberdayaan perempuan dalam industri
rokok kretek tidak terhambat oleh penggunaan mesin-mesin modern.
Efek
bola salju
Menurut
Dr. Ratna Saptari—ahli masalah gender dan buruh, penyabet gelar Ph.d di bidang
riset dari Universitas Amsterdam sekaligus pengajar di Universitas Leiden—mayoritas
perempuan yang bekerja sebagai buruh dalam industri rokok adalah perempuan yang
menjadi sumber penghasilan utama bagi keluarga. Pada hakikatnya, mereka inilah tulang punggung keluarga. (https://ugm.ac.id/berita/11153-dinamika-gender-dalam-industri-rokok-di-indonesia/).
Menurut
beliau, buruh perempuan yang dipekerjakan di perusahaan rokok Sampoerna, yang
berlokasi di Surabaya dan Jombang, perempuan lebih banyak dipekerjakan
ketimbang laki-laki. Penyebabnya, pekerja laki-laki lebih banyak terlibat dalam
aktivitas serikat buruh dan sering kali melakukan aksi mogok kerja, sehingga
menghambat proses produksi. Keberlangsungan perusahaan itu ditentukan oleh
aktivitas produksi, bukan? Dengan kata lain, pekerja perempuan itu lebih
produktif dan menguntungkan bagi perusahaan rokok ketimbang pekerja laki-laki.
Buruh
perempuan yang dipekerjakan di pabrik rokok ini mayoritas berasal dari kawasan
sekitar pabrik. Namun, ada juga yang merantau dari daerah yang cukup jauh.
Salah satu alasan para perantau itu di samping untuk memperoleh penghasilan
sendiri, di antara mereka ada juga yang berusaha membebaskan dirinya dari kawin
paksa di usia muda.
Menurut
hemat penulis, keberadaan pabrik rokok dengaan ribuan buruh ini memilki efek
bola salju yang menggelinding ke usaha lain. Para buruh pasti membutuhkan makan
dan minum Mereka yang berasal dari jauh juga membutuhkan pondokan/tempat kost.
Dengan demikian, perusahaan rokok ikut menghidupkan usaha warung sederhana dan
tempat-tempat pondokan. Warung-warung membutuhkan pasar untuk transaksi bahan
makanan. Ekonomi kawasan sekitar pabrik ikut terbangun. Warung dan tempat
pondokan juga membutuhkan tenaga kerja. Dinamika ekonomi kawasan berjalan
dengan penuh gairah.
Menurut
data dari Kementerian Perindustrian pada 2019, total tenaga kerja yang diserap
oleh industri rokok adalah sebanyak 5,98 juta orang. Mereka terdiri dari 4,28
juta pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, sedangkan sisanya 1,7 juta
bekerja di sektor perkebunan. (https://kemenperin.go.id).
Sementara
itu, laporan pengendali HMSP Philip Morris International, menunjukkan bahwa
total pasar rokok di Indonesia pada semester pertama mencapai 141,1 miliar
batang. Di pihak lain, Kementerian Keuangan mencatat bahwa realisasi penerimaan
cukai dari hasil tembakau itu mencapai 198,02 triliun rupiah. Angka ini
diperoleh sejak 1 Januari sampai dengan 14 Desember 2022. Belum lagi pajak yang
dihasilkan, yang lebih besar jumlahnya ketimbang cukai. Boleh dibilang hampir
10% APBN kita didanai oleh industri hasil tembakau. (https://pasardana.id/news/2020/3/27/didominasi-tenaga-kerja-perempuan-pelaku-industri-hasil-tembakau-harapkan-perlindungan-pemerintah/)
Bayangkan,
angka sebesar ini antara lain diperoleh dari industri SKT yang sebagian besar
karyawannya adalah perempuan. Srikandi Indonesia memang berperan sangat penting
dalam perjalanan industri SKT. Jadi, jangan bilang lagi bahwa perempuan
Indonesia itu makhluk lemah. Mereka Srikandi yang perkasa.
*****