Saturday, May 22, 2021

Penebeng di Malam Kelam

    Cerpen yang berjudul "Penebeng di Malam Kelam" ini terpilih sebagai nominee Juara I dalam lomba cerpen yang diselenggarakan oleh @ruslizaiudin19.
Penulis mencoba menambil genre "suspense thriller" ala Alfred Hitchcock. 
Mudah-mudahan bisa menghibur Anda dan memperkaya khasanah literasi Indonesia.           Soli Deo Gloria!


Penebeng di Malam Kelam

Oleh Budianto Sutrisno 



        Minggu pertama Januari. Hujan deras seperti dicurahkan dari gerbang langit               di malam gelap gulita. Sebagian jalan digenangi air yang meluap dari selokan.            Bunyi guntur bersahutan membelah malam. Sebagian lampu jalan dan rumah        penduduk padam. Mungkin ada gardu listrik yang terendam banjir. Sebuah mobil      berwarna hitam tampak berjalan pelan-pelan di bawah derasnya hujan. Genangan             air terciprat dari kedua sisi mobil.

Sopirnya seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun. Rambutnya sedikit beruban       dan tersisir rapi. Mengenakan kemeja putih, berdasi merah gelap, terlihat rapi.     Tubuhnya samar-samar menguarkan parfum wangi. Tampilannya mirip seorang pengusaha, atau bahkan mungkin seorang artis, yang sedang dalam perjalanan pulang setelah sibuk bekerja. Siapa pun di saat seperti itu, pasti ingin segera tiba di rumah yang penuh kehangatan.

            Sang sopir mengemudikan mobilnya dengan berhati-hati, untuk                  mencegah terjadinya kecelakaan. Tampak sinar lampu mobil menerangi genangan air    yang beriak. Ditingkah dengan suara wiper kaca depan mobil yang bergerak ke kanan    dan ke kiri, serta suara guntur yang memekakkan telinga. Situasi malam itu mirip      dengan adegan latar sebuah film horor yang menegakkan bulu roma.

Di dekat tikungan jalan, di bawah kilat guntur, si sopir melihat seorang            lelaki  berjas hujan sedang melambaikan tangan ke arahnya, memberi tanda ingin  menumpang. Wajahnya menunjukkan tanda bahwa ia sedang terburu-buru.

            Malam gelap dan hujan lebat begini, masih ada orang yang mau menebeng.      Mau ke mana dia, dan ada urusan penting apa, atau mungkin mau pulang ke rumah?       Si sopir bertanya-tanya dalam hati.

            Akhirnya si sopir menghentikan mobilnya, dan mempersilakan penebeng        masuk ke dalam mobil, duduk di sebelahnya.

            Pak sopir memperhatikan si penebeng. Seorang lelaki yang berusia sekitar            25 tahun, bertubuh kekar, berambut lebat dengan sisiran ke belakang, dan bercambang.

            ”Malam yang menyebalkan,” ujar sang sopir membuka pembicaraan.

            ”Ya, sangat menyebalkan. Kalau tak ada Bapak, saya bisa berdiri basah kuyup tersiram hujan sampai pagi,” balas si penebeng dengan nada menggerutu.

            ”Bapak hendak ke mana?” tanya si sopir ramah.                                                                                                                                                                                                                     "Ehr…” gumam si penebeng sambil melepas jas hujan dan memasang hoodie     jaket di kepalanya. Tampilannya mirip Andy Garcia dalam film The Godfather Part III.    ”Antarkan saja saya sampai di perempatan kedua dari sini,” ujarnya dengan suara serak.

            ”Baik. Oh ya, siapa nama Bapak?” tanya sopir dengan sopan.

        ”Franki,” jawab si penebeng dengan gigi gemerutuk sambil sesekali                kepalanya menoleh ke arah belakang yang gelap berselubung jelaga malam, seperti          ada yang dikhawatirkan.

            ”Oke, Pak Franki, tak perlu khawatir, ada saya” sambung sang sopir sambil menyebutkan namanya.

            Franki hanya membalas dengan angggukan kepala.

            ”Apakah Bapak hendak mengunjungi teman atau pulang ke rumah?” tanya             si sopir.

            ”Ehrr….”

            Pak sopir mencoba memaknai jawaban tak jelas dari penumpangnya sambil membenahi letak dasinya yang sedikit melorot.

            Pemuda yang bernama Franki itu menatap wajah si sopir, menelisik pakaian rapi yang dikenakannya, dan melempar tanya, ”Anda pengusaha yang berkantor di sekitar sini?”

            ”Ya, saya kerja lembur malam ini, tertahan hujan lagi.”

            Mobil terus berjalan menembus genangan air. Perempatan yang dituju Franki,        si penebeng, masih berjarak kira-kira 2 kilometer. Kalau tak mendapat tebengan,          sudah pasti Franki akan basah kuyup, atau dia terlambat sampai ke tempat tujuan        karena hujan seperti tak kenal apa yang disebut berhenti.

            Suasana dalam mobil sunyi sejenak, lalu disusul dengan siaran radio yang menyajikan acara talk show dan laporan cuaca.

            Sambil memegang keningnya, Franki menatap wajah si sopir dan berujar,          ”Tak ada siaran musik? Talk show bikin saya pusing.”

            ”Saya suka talk show yang mengabarkan berita-berita penting dan laporan cuaca, saya bukan penggemar musik,” tukas si sopir.

            ”Saya suka musik; musik itu menenteramkan hati; hati yang gelisah bisa              jadi tenang,” sahut Franki, si penebeng.

            Di tengah percakapan sopir-penebeng, sayup-sayup terdengan suara penyiar      yang memberitakan larinya seorang pasien dari Rumah Sakit Jiwa Panti Waras.        Seorang psikopat yang memiliki riwayat pembunuhan.

            Dengan gerak cepat, tangan Franki meraih tombol radio, dan mengalihkan ke  siaran musik. Sayup terdengar alunan suara sejuk Andy William dalam tembang Walk Away… walk away please go, before you throw your life away….

            ”Saya sama sekali tak suka berita buruk semacam itu, saya sangat suka musik,” cerocos Franki dengan nada jengkel.

Pak sopir menatap wajah Franki dengan penuh tanda tanya.

            ”Jangan takut, saya bukan pembunuh.” Nada suara Franki terdengar ketus.

          Suasana dalam mobil sunyi sejenak seusai dibuai lantunan lagu, sampai        terdengar pertanyaan si sopir, ”Apa pekerjaan Anda, Pak Franki?”

            Hening sesaat, tanpa jawaban. Lalu Franki membuka mulut setengah  berguman, ”Saya seorang penulis. Saya pakai nama Franki Sahetapy untuk novel-novel saya.”

            ”Sebuah profesi yang menarik dan penuh tantangan. Kalau boleh tahu, novel terbaru apakah yang sedang Bapak kerjakan?” Raut wajah si sopir digelayuti rasa         ingin tahu.

            ”Novel tentang pembunuhan berantai.”

          ”Wow, seram! Bapak tampaknya bakal muncul sebagai Alfred Hitchcock Indonesia, ya?” sahut si sopir sambil memperhatikan Franki yang sepertinya tengah           mengatupkan kedua matanya. Entah mengantuk, entah sedang berpikir mencari inspirasi.

            Tangan si sopir bergerak memindahkan kembali gelombang radio ke siaran         talk show. Kali ini penyiar yang bersuara empuk mengumumkan berita sangat penting:

’Mohon perhatian, mohon perhatian! Seorang pasien Rumah Sakit Jiwa  Panti Waras telah melarikan diri. Dokter Satyaningrat yang merawat pasien yang      bersangkutan menginformasikan bahwa pasien tersebut adalah seorang pria bernama Herman Pradipto, usia 40 tahun, suka berpenampilan seperti seorang pengusaha.      Sewaktu kabur, pasien ini mengenakan kemeja putih dan dasi merah. Pasien ini berhasil kabur dengan mengendarai mobil curian berwarna hitam. Dia seorang psikopat yang  sangat berbahaya dan suka melakukan tindakan tak terduga. Harap Anda semua berwaspada dan melaporkan kepada pihak yang berwajib bila menjumpai orang dengan ciri-ciri tersebut.’

            Tiba-tiba mata Franki terbelalak, memandang wajah si sopir, dan tergagap    bertanya, ”Ta… tadi… siapa na… nama Bapak?”

            ”Herman Pradipto,” sahut si sopir sambil menyeringai dan mengayunkan belati tajam berkilau ke leher Franki.

            Jerit kesakitan yang menyayat, menggetarkan seluruh ruangan mobil hitam itu. Namun, suara jeritan tertelan oleh gemuruh deras hujan dan bunyi guntur yang menggelegar bersahut-sahutan.

            Mobil hitam itu terus melaju, menerabas siraman hujan. Entah ke mana.

 

***