Mulutmu, Harimaumu
Oleh Budianto Sutrisno
Beberapa bulan menjelang Pemilu 2019
ini, telah merebak isu hoaks ke seluruh penjuru tanah air. Cepat menyebar
melalui sejumlah media sosial. Kemudian digoreng, dibumbui dengan aneka imajinasi
untuk menjelekkan dan memfitnah kubu
lawan guna mencapai kemenangan dengan menghalalkan segala cara. Isu hoaks
telah membuat suasana kampanye Pemilu jadi panas, jauh dari santun.
Berita dusta
Isu
yang melibatkan aktivis Ratna Sarumpaet, misalnya, merupakan isu hoaks yang
fenomenal dan bersifat masif. Melibatkan banyak tokoh politik dari pihak
oposisi. Siapa pun paham bahwa isu ini pasti terkait dengan masalah Pemilu
Pilpres 2019 mendatang. Aktivis perempuan ini mula-mula menyatakan dirinya
telah dianiaya oleh sejumlah pemuda di Bandung. Akan tetapi akhirnya – entah
karena alasan apa – yang bersangkutan mengaku bahwa bengkak dan lebam di wajahnya
itu adalah akibat operasi plastik yang dilakukan di salah satu klinik di
Jakarta.
Yang membuat isu ini
semakin panas adalah karena sejumlah elit politik ikut memberikan dukungan
terhadap Ratna Sarumpaet ketika yang bersangkutan melakukan pengakuan palsu.
Setelah Ratna mengakui kebohongannya melalui konferensi pers, para elit politik yang semula mendukungnya
dengan semangat 45, kemudian malah mengutuknya dan memecatnya sebagai juru kampanye.
Dan kini Ratna mendekam dalam penjara. Mulutmu, memang sungguh harimaumu.
Kata-kata yang telah terucap tak bisa ditarik kembali, bukan?
Menghadapi isu hoaks
ini, bagaimana kita harus bersikap?
Menurut hemat penulis,
kita perlu melakukan pengecekan lebih dahulu terhadap berita-berita yang
memiliki potensi membuat suasana nasional menjadi panas. Kita perlu merujuk
kepada sumber-sumber berita yang kredibel.
Berita-berita
sensasional dari sumber yang tak meyakinkan – apalagi yang berasal dari
blog-blog gratis – janganlah dipercaya. Juga berita-berita yang ditulis oleh
akun palsu, jangan disebarkan. Akun palsu di media sosial Facebook, misalnya, ditandai dengan foto palsu, menggunakan gambar
atau tokoh animasi sebagai pengganti identitas diri, atau menggunakan foto
orang lain. Akun bodong itu belum lama dibuat, jumlah temannya sedikit, atau
bahkan nihil.
Melempar
fitnah
Belum
lama ini juga tersebar berita tentang terjadinya korupsi senilai Rp45,6
triliun. Dimuat di sebuah media yang bertajuk tamsh.news.com. Diberitakan bahwa korupsi dalam jumlah yang
naudzubillah besarnya tersebut terjadi pada proyek infrastruktur yang
digalakkan oleh Presiden Jokowi. Konon, megakorupsi ini telah diperiksa oleh
pihak BPK.
Akan
tetapi, ternyata terdapat kejanggalan. Tertulis di situs berita tersebut bahwa
pemberitaan itu terjadi pada Senin, 13 Oktober 2018, padahal tanggal tersebut jatuh pada hari Sabtu. Jelas ini merupakan suatu fitnah yang keji yang dilakukan
secara terburu-buru untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
Untunglah,
akhirnya pihak BPK memberikan bantahan keras tentang terjadinya megakorupsi
tersebut. Berita bantahan ini termuat di situs www.gatra.com dan www.viva.co.id
– nama situs berita yang kredibel.
Di
era demokrasi, kritik terhadap kebijakan pemerintah memang perlu dilakukan,
karena tak ada pemerintah yang sempurna. Akan tetapi, kritik itu berbeda sekali
dengan fitnah. Kritik yang benar itu bersifat membangun, sedangkan fitnah itu
adalah tuduhan palsu yang bertujuan untuk menjatuhkan orang/kelompok tertentu.
Tak pelak, sekarang
kita semua tengah memasuki era disinformasi, era hoaks, era ketidakpastian
berita, dan era pemelintiran berita. Ada pula yang menyebut era sekarang ini
sebagai era pascakebenaran (post-truth era).
Dalam mencerna berita, kita seperti hendak menjaring kabut yang tersimpan dalam
sebuah kotak yang tertutup rapat.
Sejumlah
upaya
Sesuai
dengan kemajuan zaman, perkembangan teknologi di bidang digital sekarang ini,
memungkinkan hoaks tentang isu Pemilu itu didukung oleh foto-foto hasil
suntingan yang tampak meyakinkan. Masyarakat awam semakin sulit membedakan
antara berita yang benar dan berita yang palsu.
Menghadapi
situasi semacam ini, setidaknya, kita tak ikut menyebarkannya. Di samping itu,
masyarakat – terutama generasi milenial – juga harus mampu menjadi suri teladan
(role model) untuk menyebarluaskan
berita-berita yang cerdas, mendidik, dan berkontribusi dalam pembangunan
bangsa. Orientasinya harus terfokus pada kebenaran semata.
Ada sejumlah hal yang
perlu kita perhatikan agar kita bisa bersikap bijak dalam menghadapi terpaan isu
hoaks.
Pertama, kita perlu
mewaspadai judul-judul berita yang sensasional dan provokatif. Berita hoaks itu
sering memiliki judul yang sangat sensasional dan provokatif. Isinya langsung
menuding pihak tertentu yang hendak dipojokkan. Beritanya bisa saja mengutip
sebagian berita resmi, tetapi kemudian dipelintir sedemikian rupa untuk mencapai
tujuan tertentu.
Bila Anda menjumpai
berita dengan judul provokatif, segera cari berita pembanding dari situs yang
resmi. Bandingkan isinya, sama atau berbeda. Dengan demikan, setidaknya, Anda
bisa mengambil kesimpulan yang seimbang.
Yang kedua. Kita perlu
mencermati nama dan alamat situs. Bila berita yang Anda baca itu berasal dari url yang belum terverifikasi, misalnya
menggunakan domain blog, maka isi beritanya boleh dibilang sangat diragukan
kebenarannya.
Menurut catatan Dewan
Pers, terdapat 43.000 situs di Indonesia yang menyatakan diri sebagai portal
berita. Dari jumlah tersebut, yang telah terverifikasi resmi tak sampai 300
portal. Ini berarti terdapat puluhan ribu situs yang berpotensi untuk
menyebarkan hoaks. Sungguh mengerikan!
Yang ketiga. Kita perlu
memeriksa fakta. Bila Anda membaca berita sensasional, perhatikanlah dari mana
sumber berita tersebut berasal. Apakah berasal dari institusi resmi seperti
KPK, Polri atau bukan.
Bila sumber informasi
itu berasal dari penggiat politik, ormas atau pengamat, jangan cepat percaya.
Yang keempat. Yang tak
kurang pentingnya adalah mengecek keaslian foto yang ada dalam berita. Di zaman
digital ini, bukan hanya berita yang dapat dipalsukan, foto pun bisa disunting
sesuka hati.
Pengecekan foto dapat
dilakukan dengan menggunakan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop foto ke kolom pencarian Google images. Hasil pencarian akan
menyajikan foto-foto serupa di internet, sehingga pembaca dapat melakukan
perbandingan secara saksama.
Kelima, yang terakhir.
Kita dapat berpartisipasi aktif dalam diskusi antihoaks. Di media sosial
seperti Facebook, misalnya, terdapat Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoaks, Fanpage
& Group Indonesia Hoax Buster,
dan lain-lain. Di tempat ini, Anda dapat menanyakan apakah sebuah berita itu
hoaks atau bukan, sekaligus mendapat klarifikasi dari pihak yang kredibel.
Di
era disinformasi yang kritis ini, kita juga perlu memberikan dukungan kepada cyber-army dalam memerangi isu hoaks,
terutama yang terkait dengan masalah Pemilu, agar Pemilu boleh berlangsung
dengan cara-cara yang berkualitas dan bermartabat. Bila ada suatu berita yang
berpotensi untuk memecah belah persatuan bangsa, misalnya, janganlah ragu-ragu
untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Dan sudah saatnya pula,
undang-undang cyber-crime perlu
diperketat dan dipertegas. Sanksi hukuman untuk para pembuat dan penyebar
berita hoaks, perlu diperberat, agar mereka menjadi jera.
Semoga
pembuat isu hoaks sadar dan mengingat kearifan ”mulutmu, harimaumu”. Karena mulut,
Anda bisa binasa.
***