Wednesday, February 13, 2019

Mulutmu, Harimaumu


Mulutmu, Harimaumu

Oleh Budianto Sutrisno


     
            Beberapa bulan menjelang Pemilu 2019 ini, telah merebak isu hoaks ke seluruh penjuru tanah air. Cepat menyebar melalui sejumlah media sosial. Kemudian digoreng, dibumbui dengan aneka imajinasi untuk  menjelekkan dan memfitnah kubu lawan guna mencapai kemenangan dengan menghalalkan segala cara. Isu hoaks telah membuat suasana kampanye Pemilu jadi panas, jauh dari santun.

Berita dusta
           Isu yang melibatkan aktivis Ratna Sarumpaet, misalnya, merupakan isu hoaks yang fenomenal dan bersifat masif. Melibatkan banyak tokoh politik dari pihak oposisi. Siapa pun paham bahwa isu ini pasti terkait dengan masalah Pemilu Pilpres 2019 mendatang. Aktivis perempuan ini mula-mula menyatakan dirinya telah dianiaya oleh sejumlah pemuda di Bandung. Akan tetapi akhirnya – entah karena alasan apa – yang bersangkutan mengaku bahwa bengkak dan lebam di wajahnya itu adalah akibat operasi plastik yang dilakukan di salah satu klinik di Jakarta.   
Yang membuat isu ini semakin panas adalah karena sejumlah elit politik ikut memberikan dukungan terhadap Ratna Sarumpaet ketika yang bersangkutan melakukan pengakuan palsu.
Setelah Ratna mengakui kebohongannya melalui konferensi pers, para elit politik yang semula mendukungnya dengan semangat 45, kemudian malah mengutuknya dan memecatnya sebagai juru kampanye. Dan kini Ratna mendekam dalam penjara. Mulutmu, memang sungguh harimaumu. Kata-kata yang telah terucap tak bisa ditarik kembali, bukan?
Menghadapi isu hoaks ini, bagaimana kita harus bersikap?
Menurut hemat penulis, kita perlu melakukan pengecekan lebih dahulu terhadap berita-berita yang memiliki potensi membuat suasana nasional menjadi panas. Kita perlu merujuk kepada sumber-sumber berita yang kredibel.
            Berita-berita sensasional dari sumber yang tak meyakinkan – apalagi yang berasal dari blog-blog gratis – janganlah dipercaya. Juga berita-berita yang ditulis oleh akun palsu, jangan disebarkan. Akun palsu di media sosial Facebook, misalnya, ditandai dengan foto palsu, menggunakan gambar atau tokoh animasi sebagai pengganti identitas diri, atau menggunakan foto orang lain. Akun bodong itu belum lama dibuat, jumlah temannya sedikit, atau bahkan nihil.

Melempar fitnah
            Belum lama ini juga tersebar berita tentang terjadinya korupsi senilai Rp45,6 triliun. Dimuat di sebuah media yang bertajuk tamsh.news.com. Diberitakan bahwa korupsi dalam jumlah yang naudzubillah besarnya tersebut terjadi pada proyek infrastruktur yang digalakkan oleh Presiden Jokowi. Konon, megakorupsi ini telah diperiksa oleh pihak BPK.
            Akan tetapi, ternyata terdapat kejanggalan. Tertulis di situs berita tersebut bahwa pemberitaan itu terjadi pada Senin, 13 Oktober 2018, padahal tanggal tersebut jatuh pada hari Sabtu. Jelas ini merupakan suatu fitnah yang keji yang dilakukan secara terburu-buru untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
            Untunglah, akhirnya pihak BPK memberikan bantahan keras tentang terjadinya megakorupsi tersebut. Berita bantahan ini termuat di situs www.gatra.com dan www.viva.co.id  nama situs berita yang kredibel.
            Di era demokrasi, kritik terhadap kebijakan pemerintah memang perlu dilakukan, karena tak ada pemerintah yang sempurna. Akan tetapi, kritik itu berbeda sekali dengan fitnah. Kritik yang benar itu bersifat membangun, sedangkan fitnah itu adalah tuduhan palsu yang bertujuan untuk menjatuhkan orang/kelompok tertentu.
Tak pelak, sekarang kita semua tengah memasuki era disinformasi, era hoaks, era ketidakpastian berita, dan era pemelintiran berita. Ada pula yang menyebut era sekarang ini sebagai era pascakebenaran (post-truth era). Dalam mencerna berita, kita seperti hendak menjaring kabut yang tersimpan dalam sebuah kotak yang tertutup rapat.

Sejumlah upaya
            Sesuai dengan kemajuan zaman, perkembangan teknologi di bidang digital sekarang ini, memungkinkan hoaks tentang isu Pemilu itu didukung oleh foto-foto hasil suntingan yang tampak meyakinkan. Masyarakat awam semakin sulit membedakan antara berita yang benar dan berita yang palsu.
            Menghadapi situasi semacam ini, setidaknya, kita tak ikut menyebarkannya. Di samping itu, masyarakat – terutama generasi milenial – juga harus mampu menjadi suri teladan (role model) untuk menyebarluaskan berita-berita yang cerdas, mendidik, dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Orientasinya harus terfokus pada kebenaran semata.
Ada sejumlah hal yang perlu kita perhatikan agar kita bisa bersikap bijak dalam menghadapi terpaan isu hoaks.
Pertama, kita perlu mewaspadai judul-judul berita yang sensasional dan provokatif. Berita hoaks itu sering memiliki judul yang sangat sensasional dan provokatif. Isinya langsung menuding pihak tertentu yang hendak dipojokkan. Beritanya bisa saja mengutip sebagian berita resmi, tetapi kemudian dipelintir sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu.
Bila Anda menjumpai berita dengan judul provokatif, segera cari berita pembanding dari situs yang resmi. Bandingkan isinya, sama atau berbeda. Dengan demikan, setidaknya, Anda bisa mengambil kesimpulan yang seimbang.
Yang kedua. Kita perlu mencermati nama dan alamat situs. Bila berita yang Anda baca itu berasal dari url yang belum terverifikasi, misalnya menggunakan domain blog, maka isi beritanya boleh dibilang sangat diragukan kebenarannya.
Menurut catatan Dewan Pers, terdapat 43.000 situs di Indonesia yang menyatakan diri sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang telah terverifikasi resmi tak sampai 300 portal. Ini berarti terdapat puluhan ribu situs yang berpotensi untuk menyebarkan hoaks. Sungguh mengerikan!
Yang ketiga. Kita perlu memeriksa fakta. Bila Anda membaca berita sensasional, perhatikanlah dari mana sumber berita tersebut berasal. Apakah berasal dari institusi resmi seperti KPK, Polri atau bukan.
Bila sumber informasi itu berasal dari penggiat politik, ormas atau pengamat, jangan cepat percaya.
Yang keempat. Yang tak kurang pentingnya adalah mengecek keaslian foto yang ada dalam berita. Di zaman digital ini, bukan hanya berita yang dapat dipalsukan, foto pun bisa disunting sesuka hati.
Pengecekan foto dapat dilakukan dengan menggunakan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop foto ke kolom pencarian Google images. Hasil pencarian akan menyajikan foto-foto serupa di internet, sehingga pembaca dapat melakukan perbandingan secara saksama.
Kelima, yang terakhir. Kita dapat berpartisipasi aktif dalam diskusi antihoaks. Di media sosial seperti Facebook, misalnya, terdapat Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoaks, Fanpage & Group  Indonesia Hoax Buster, dan lain-lain. Di tempat ini, Anda dapat menanyakan apakah sebuah berita itu hoaks atau bukan, sekaligus mendapat klarifikasi dari pihak yang kredibel.
            Di era disinformasi yang kritis ini, kita juga perlu memberikan dukungan kepada cyber-army dalam memerangi isu hoaks, terutama yang terkait dengan masalah Pemilu, agar Pemilu boleh berlangsung dengan cara-cara yang berkualitas dan bermartabat. Bila ada suatu berita yang berpotensi untuk memecah belah persatuan bangsa, misalnya, janganlah ragu-ragu untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Dan sudah saatnya pula, undang-undang cyber-crime perlu diperketat dan dipertegas. Sanksi hukuman untuk para pembuat dan penyebar berita hoaks, perlu diperberat, agar mereka menjadi jera.
            Semoga pembuat isu hoaks sadar dan mengingat kearifan ”mulutmu, harimaumu”. Karena mulut, Anda bisa binasa.

***