NKRI
Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?
Oleh Budianto Sutrisno
Adalah Habib Rizieg Syihab, Imam Besar
FPI, yang pertama kali menggaungkan gagasan NKRI Bersyariah dari Mekah – tempat
yang bersangkutan bermukim setelah terkena kasus skandal obrolan mesum dengan
seorang perempuan yang bukan muhrimnya.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
istilah syariah atau syariat yang berasal dari bahasa Arab bermakna
hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan
Allah Swt., hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan
Alquran dan hadis. Alquran adalah sumber pertama dari syariat Islam.
Masih menurut kamus yang sama – yang
menjadi acuan utama dalam berbahasa Indonesia secara baik dan benar – istilah syariah itu merupakan istilah tidak baku
dari syariat. Jadi yang benar dan
baku sejatinya adalah syariat. Selaku
pendidik yang mengampu mata pelajaran bahasa Indonesia, untuk selanjutnya
penulis akan menggunakan istilah baku syariat
dalam tulisan ini.
NKRI
berdasarkan Pancasila
Sesuai
dengan apa yang diperjuangkan oleh para founding
fathers dan tokoh-tokoh nasional pada masa kemerdekaan, maka bentuk
pemerintahan kita adalah republik, dan bentuk negara kita adalah negara
kesatuan. Jadi lengkapnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dasar
negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945.
Sejak
awal telah disepakati bahwa negara kita bukanlah negara yang berdasarkan agama.
Masyarakat yang merebut kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan penjajah itu
berasal dari berbagai macam etnis, agama, dan golongan. Mereka bersatu padu
dalam kebinekaan untuk melawan penjajah. Semua etnis, dari berbagai agama dan
golongan ikut berkontribusi. Itu sebabnya, kata-kata ”dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan dalam pembukaan
UUD 1945. Jika tidak, maka Republik Indonesia akan menjadi negara yang berdasarkan
agama.
Dalam
tulisannya yang bertajuk sama dengan kupasan esai ini, ”NKRI Bersyariah atau
Ruang Publik yang Manusiawi?” Denny J.A. mengatakan bahwa Habib Rizieg Syihab
masih perlu merinci 2 tahap lagi tentang gagasannya. Tahap pertama adalah mengoperasionalkan
apa yang dimaksud dengan NKRI Bersyariat. Tahap kedua adalah: setelah menjadi indeks yang terukur, indeks itu harus
diuji dengan melihat dunia berdasarkan data. Dari semua negara yang ada di
dunia, diteliti negara mana yang bisa dijadikan referensi sebagai negara
bersyariat dengan skor indeks tertinggi. Dan yang mengherankan, negara-negara
yang memiliki skor indeks tertinggi adalah negara-negara nonmuslim.
Negara-negara muslim justru memperlihatkan skor indeks yang lebih rendah.
Sebuah ironi besar!
Terlepas dari apa yang dilansir oleh Denny J.A. tersebut akurat
atau tidak, penulis memiliki sudut pandang yang berbeda.
Sejak dihapuskannya kata-kata ”dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari pembukaan UUD 1945, maka secara
hakiki NKRI bukanlah negara bersyariat. NKRI adalah negara berdasarkan
Pancasila. Bukan berdasarkan salah satu agama mana pun. Titik.
Di samping itu, mari kita coba tengok ke belakang. Apa
yang telah dilakukan Habib Rizieg Syihab terhadap Pancasila? Yang bersangkutan
secara terang-terangan telah menghina Pancasila dengan mengatakan, maaf,
”Pancasila ada di pantat”. Video pernyataan ini telah viral di berbagai media sosial.
Komentar tak patut ini menyebabkan sang habib harus menghadapi tuntutan
penghinaan dari Sukmawati Sukarnoputri. Belum lagi tuntutan ini tuntas
penyelesaiannya, yang bersangkutan telah melarikan diri ke Mekah dengan alasan
melakukan ibadah Umroh. Sejak saat itu, sang habib tak pernah kembali lagi ke
Indonesia. Tokoh agama seharusnya memberikan suri teladan taat hukum, bukan?
Bagaimana mungkin sang habib dapat mengatakan bahwa NKRI
bersyariat itu berdampingan dengan Pancasila, sementara yang bersangkutan juga
mengatakan bahwa Pancasila ada di pantat? Sebuah kontradiksi, bukan? Rasanya
terdapat agenda tersembunyi di balik kata-katanya yang sebentar hitam dan
sebentar putih.
Kesenjangan menganga lebar
Pada butir kedua dari gagasan Habib Rizieg Syihab
tercantum kata-kata ”Menjamin semua umat
beragama untuk menjalankan ibadah dan
syariat agama masing-masing”. Kata-kata ini sungguh enak didengar, tetapi
sama sekali tak sesuai dengan kenyataan.
Betapa tidak! Kelompok Habib Rizieg terus menggaungkan julukan kafir terhadap kaum
nonmuslim. Apakah itu menandakan adanya persatuan? Penulis tak pernah lupa pada
apa yang terjadi menjelang Basuki Tjahaja Purnama dilengserkan dari jabatan Gubernur
DKI. Kata-kata hujatan seperti ”kafir”, ”Cina”, ”bunuh Ahok” membahana di
mana-mana. Apakah itu adil dan benar? Mengapa sang habib membiarkan hal yang
bertentangan dengan isi gagasannya terjadi?
Sementara itu, butir kelima konsep NKRI Bersyariat ala
Habib Rizieg Syihab berbunyi: ”Menjadikan
pribumi sebagai tuan di negeri sendiri”.
Astaga! Tidak tahukah seorang ulama besar tentang pelarangan
penggunaan istilah ”pribumi” dan ”keturunan” melalui UU N0. 40 tahun 2008?
Bukankah pada hakikatnya seluruh bangsa Indonesia ini merupakan imigran? Apakah
Habib Rizieg Syihab sendiri menganggap diriya keturunan Homo Soloensis?
Rekam jejak Habib Rizieg Syihab sendiri – yang jauh dari
etika moral, hukum, dan sopan santun – sama sekali tidak sesuai dengan gagasan
mulia yang diajukannya. Antara gagasan dan fakta yang dilakukan itu terdapat kesenjangan
yang menganga lebar. Mungkinkah masyarkat luas benar-benar bisa menaruh kepercayaan
pada gagasannya? Keputusan final yang bijak
Masih menurut pendapat Denny J.A. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah membentuk
sebuah lembaga Sustainable Development
Solution Network (SDSN) yang bertugas mengukur World Happiness Index untuk menguji kemajuan suatu bangsa.
Indikator negara maju adalah bila negara tersebut bisa membuat warganya merasa
bahagia.
Untuk bahagia, rakyat bukan sekadar harus tercukupi
kebutuhan dasar, kebutuhan ekonomi, dan pendidikannya, melainkan harus pula
terdapat ruang sosial di mana terdapat rasa saling percaya dan tolong-menolong
dengan pihak pemerintah yang bersih dan kompeten.
Ternyata hasil World
Happiness Index itu tak banyak berbeda dengan Islamicity Index yang dibuat oleh sebuah lembaga bernama Yayasan
Islamicity Index yang anggotanya terdiri dari para pakar ekonomi, keuangan, dan
Alquran tingkat dunia.
Kesimpulannya: nilai-nilai terbaik dalam agama Islam –
sebagaimana yang diajarkan dalam agama-agama lain, memiliki nilai-nilai
manusiawi. Itulah yang disebut sebagai ruang publik yang bisa dinikmati oleh
semua manusia, tanpa memandang agamanya.
Dengan demikian, keputusan para founding fathers kita dalam membentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia itu sudah merupakan keputusan final yang bijak, karena bangsa kita
adalah bangsa yang majemuk. Menerapkan prinsip berdasarkan pada satu agama
saja, bisa merusak tatanan toleransi dan persatuan serta kesatuan bangsa.
Dengan kata lain, founding
fathers kita telah menyediakan ruang publik yang manusiawi untuk setiap
warganya, tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan. Mari kita lestarikan!
***