Thursday, January 10, 2019

NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?



NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?
Oleh Budianto Sutrisno


          Adalah Habib Rizieg Syihab, Imam Besar FPI, yang pertama kali menggaungkan gagasan NKRI Bersyariah dari Mekah – tempat yang bersangkutan bermukim setelah terkena kasus skandal obrolan mesum dengan seorang perempuan yang bukan muhrimnya.
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah syariah atau syariat yang berasal dari bahasa Arab bermakna hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis. Alquran adalah sumber pertama dari syariat Islam.
            Masih menurut kamus yang sama – yang menjadi acuan utama dalam berbahasa Indonesia secara baik dan benar – istilah syariah itu merupakan istilah tidak baku dari syariat. Jadi yang benar dan baku sejatinya adalah syariat. Selaku pendidik yang mengampu mata pelajaran bahasa Indonesia, untuk selanjutnya penulis akan menggunakan istilah baku syariat dalam tulisan ini.

NKRI berdasarkan Pancasila
            Sesuai dengan apa yang diperjuangkan oleh para founding fathers dan tokoh-tokoh nasional pada masa kemerdekaan, maka bentuk pemerintahan kita adalah republik, dan bentuk negara kita adalah negara kesatuan. Jadi lengkapnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945.
            Sejak awal telah disepakati bahwa negara kita bukanlah negara yang berdasarkan agama. Masyarakat yang merebut kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan penjajah itu berasal dari berbagai macam etnis, agama, dan golongan. Mereka bersatu padu dalam kebinekaan untuk melawan penjajah. Semua etnis, dari berbagai agama dan golongan ikut berkontribusi. Itu sebabnya, kata-kata ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan dalam pembukaan UUD 1945. Jika tidak, maka Republik Indonesia akan menjadi negara yang berdasarkan agama.
            Dalam tulisannya yang bertajuk sama dengan kupasan esai ini, ”NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?” Denny J.A. mengatakan bahwa Habib Rizieg Syihab masih perlu merinci 2 tahap lagi tentang gagasannya. Tahap pertama adalah mengoperasionalkan apa yang dimaksud dengan NKRI Bersyariat. Tahap kedua adalah: setelah menjadi indeks yang terukur, indeks itu harus diuji dengan melihat dunia berdasarkan data. Dari semua negara yang ada di dunia, diteliti negara mana yang bisa dijadikan referensi sebagai negara bersyariat dengan skor indeks tertinggi. Dan yang mengherankan, negara-negara yang memiliki skor indeks tertinggi adalah negara-negara nonmuslim. Negara-negara muslim justru memperlihatkan skor indeks yang lebih rendah. Sebuah ironi besar!
            Terlepas dari apa yang dilansir oleh Denny J.A. tersebut akurat atau tidak, penulis memiliki sudut pandang yang berbeda.
            Sejak dihapuskannya kata-kata ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari pembukaan UUD 1945, maka secara hakiki NKRI bukanlah negara bersyariat. NKRI adalah negara berdasarkan Pancasila. Bukan berdasarkan salah satu agama mana pun. Titik.
            Di samping itu, mari kita coba tengok ke belakang. Apa yang telah dilakukan Habib Rizieg Syihab terhadap Pancasila? Yang bersangkutan secara terang-terangan telah menghina Pancasila dengan mengatakan, maaf, ”Pancasila ada di pantat”. Video pernyataan ini telah viral di berbagai media sosial. Komentar tak patut ini menyebabkan sang habib harus menghadapi tuntutan penghinaan dari Sukmawati Sukarnoputri. Belum lagi tuntutan ini tuntas penyelesaiannya, yang bersangkutan telah melarikan diri ke Mekah dengan alasan melakukan ibadah Umroh. Sejak saat itu, sang habib tak pernah kembali lagi ke Indonesia. Tokoh agama seharusnya memberikan suri teladan taat hukum, bukan?
            Bagaimana mungkin sang habib dapat mengatakan bahwa NKRI bersyariat itu berdampingan dengan Pancasila, sementara yang bersangkutan juga mengatakan bahwa Pancasila ada di pantat? Sebuah kontradiksi, bukan? Rasanya terdapat agenda tersembunyi di balik kata-katanya yang sebentar hitam dan sebentar putih.

Kesenjangan menganga lebar
            Pada butir kedua dari gagasan Habib Rizieg Syihab tercantum kata-kata ”Menjamin semua umat beragama untuk menjalankan ibadah  dan syariat agama masing-masing”. Kata-kata ini sungguh enak didengar, tetapi sama sekali tak sesuai dengan kenyataan.
            Betapa tidak! Kelompok Habib Rizieg  terus menggaungkan julukan kafir terhadap kaum nonmuslim. Apakah itu menandakan adanya persatuan? Penulis tak pernah lupa pada apa yang terjadi menjelang Basuki Tjahaja Purnama dilengserkan dari jabatan Gubernur DKI. Kata-kata hujatan seperti ”kafir”, ”Cina”, ”bunuh Ahok” membahana di mana-mana. Apakah itu adil dan benar? Mengapa sang habib membiarkan hal yang bertentangan dengan isi gagasannya terjadi?
            Sementara itu, butir kelima konsep NKRI Bersyariat ala Habib Rizieg Syihab berbunyi: ”Menjadikan pribumi sebagai tuan di negeri sendiri”.
            Astaga! Tidak tahukah seorang ulama besar tentang pelarangan penggunaan istilah ”pribumi” dan ”keturunan” melalui UU N0. 40 tahun 2008? Bukankah pada hakikatnya seluruh bangsa Indonesia ini merupakan imigran? Apakah Habib Rizieg Syihab sendiri menganggap diriya keturunan Homo Soloensis?
            Rekam jejak Habib Rizieg Syihab sendiri – yang jauh dari etika moral, hukum, dan sopan santun – sama sekali tidak sesuai dengan gagasan mulia yang diajukannya. Antara gagasan dan fakta yang dilakukan itu terdapat kesenjangan yang menganga lebar. Mungkinkah masyarkat luas benar-benar bisa menaruh kepercayaan pada gagasannya?                                                                                                                                                                          Keputusan final yang bijak
            Masih menurut pendapat Denny J.A.  Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah membentuk sebuah lembaga Sustainable Development Solution Network (SDSN) yang bertugas mengukur World Happiness Index untuk menguji kemajuan suatu bangsa. Indikator negara maju adalah bila negara tersebut bisa membuat warganya merasa bahagia.
            Untuk bahagia, rakyat bukan sekadar harus tercukupi kebutuhan dasar, kebutuhan ekonomi, dan pendidikannya, melainkan harus pula terdapat ruang sosial di mana terdapat rasa saling percaya dan tolong-menolong dengan pihak pemerintah yang bersih dan kompeten.  
            Ternyata hasil World Happiness Index itu tak banyak berbeda dengan Islamicity Index yang dibuat oleh sebuah lembaga bernama Yayasan Islamicity Index yang anggotanya terdiri dari para pakar ekonomi, keuangan, dan Alquran tingkat dunia.
            Kesimpulannya: nilai-nilai terbaik dalam agama Islam – sebagaimana yang diajarkan dalam agama-agama lain, memiliki nilai-nilai manusiawi. Itulah yang disebut sebagai ruang publik yang bisa dinikmati oleh semua manusia, tanpa memandang agamanya.
            Dengan demikian, keputusan para founding fathers kita dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sudah merupakan keputusan final yang bijak, karena bangsa kita adalah bangsa yang majemuk. Menerapkan prinsip berdasarkan pada satu agama saja, bisa merusak tatanan toleransi dan persatuan serta kesatuan bangsa.
            Dengan kata lain, founding fathers kita telah menyediakan ruang publik yang manusiawi untuk setiap warganya, tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongan. Mari kita lestarikan!

***