Wednesday, November 7, 2018

Krisis Akhlak di Kalangan Pemuda Indonesia, Apa Penyebab dan Solusinya?

Materi esai yang penulis beri judul "Krisis Akhlak di Kalangan Pemuda Indonesia, Apa Penyebab dan Soluisinya?" ini telah berhasil menyabet Juara III dalam lomba cipta esai yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Syarif Hidayatullah (Unsyiah).
Lomba cipta esai ini mengambil topik "Peran Pemuda dalam Menghadapi Krisis Moral Generasi Muda Indonesia pada Era Milenial".
Soli Deo Gloria!

Krisis Akhlak di Kalangan Pemuda Indonesia, Apa Penyebab dan Solusinya?

Oleh Budianto Sutrisno


          Tak pelak, krisis akhlak atau dekadensi moral telah merebak di kalangan pemuda Indonesia, bahkan ada pula yang menimpa anak Sekolah Dasar.
        Hampir setiap hari kita dipapar dengan berita-berita miring – tentang tawuran, seks bebas, narkoba, mabuk minuman keras, pemalakan, pornografi, tindak kekerasan terhadap guru, dan lain sebagainya – di berbagai surat kabar maupun media sosial. Yang menakutkan adalah munculnya pendapat yang menyatakan ’bukan pemuda kalau tak terlibat dalam kemerosotan akhlak’. Ini sama saja dengan menggeneralisasikan dan mengidentikkan pemuda dengan kerusakan moral. Benarkah demikian?

Sumber masalah
            Masa remaja dan pemuda merupakan masa yang sangat kritis, karena para kawula muda ini sedang mencari jati diri dan cenderung ingin mencoba sesuatu yang baru, yang belum tentu bersifat positif. Sesuatu yang baru ini terutama terkait dengan tren budaya dan gaya hidup yang bersifat global. Mereka sangat memerlukan tokoh panutan (role model) dalam hidupnya, agar tidak sesat di jalan. Tokoh panutan yang efektif adalah orang tua mereka sendiri, guru atau sosok yang dituakan.
            Celakanya, sejumlah orang tua dan guru justru tak mampu memberikan suri teladan yang positif bagi generasi muda. Belum lama ini, penulis membaca laporan yang cukup mengejutkan yang diliput oleh Tempo Co. Laporan itu menyatakan bahwa 57% guru di sekolah negeri bersifat intoleran terhadap orang yang memeluk agama berbeda.
Bayangkan, lebih dari separuh guru justru memberikan contoh yang tidak terpuji kepada peserta didiknya. Tidak mengherankan, bila akhir-akhir ini perbuatan ekstrem radikal sering terjadi, dan kebanyakan pelakunya adalah para pemuda..
            Beberapa hari yang lalu juga terbetik kabar, seorang guru wanita di sebuah SMP Negeri di Jakarta, secara terang-terangan menebarkan kebencian terhadap Presiden Jokowi kepada peserta didiknya. Menurut hemat penulis, orang dengan perilaku dan kepribadian seperti ini, sama sekali tidak layak menjadi guru.
            Sementara itu, BBC Indonesia edisi 18 Oktober 2018 melaporkan hasil survei yang membuat penulis terperangah. Survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam  dan Masyarakat (PPIM) Universitas Negeri Syarif Hidayatullah ini menyatakan bahwa 6 dari 10 guru Muslim memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Survei ini dilakukan dengan mengambil sampel 2.237 guru Muslim dari 34 provinsi di Indonesia.
            Jadi, kalau kita telusuri sumber masalah utama terjadinya krisis akhlak di kalangan pemuda adalah tidak cukupnya tenaga guru yang sanggup memberikan suri teladan positif kepada peserta didik. Pemberian suri teladan positif ini sangat besar pengaruhnya bagi anak muda sejak mereka duduk di bangku SD sampai SMA.
            Dalam kaitan ini, penulis sangat setuju dengan sistem pendidikan di Jepang yang tidak memberikan ulangan sampai siswa duduk di bangku SD kelas III (usia sekitar 8 tahun). Pendidikan etika sangat dipentingkan untuk anak-anak prausia SD kelas IV. Mereka dididik bagaimana mengantre dengan baik, bagaimana menolong sesama, bagaimana menghormati teman, orang tua, dan guru, bagaimana berdisiplin dalam berlalu lintas, bagaimana menjaga kebersihan diri serta lingkungan, dan lain sebagainya.
            Jadi, etika dan ajaran moral/agama diletakkan lebih dahulu sebagai dasar pendidikan yang kokoh, baru kemudian diajarkan hal-hal yang bersifat kognitif.

Penyebab-penyebab lain
            Jika ditelusuri lebih dalam, penyebab kedua krisis akhlak di kalangan pemuda adalah kaburnya penerapan nilai-nilai agama secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
            Pelajaran agama cenderung hanya bersifat tempelan, menghafal ayat-ayat suci tanpa menggali substansi relevansinya dengan situasi di zaman milenial ini. Di samping itu, sejumlah tokoh agama justru memberikan contoh yang tidak baik kepada generasi muda, karena mereka melakukan korupsi dan penyelewengan seksual. Atribut agama sering kali hanya digunakan untuk menutupi perbuatan yang tidak terpuji. Ujung-ujungnya para pemuda mengikuti jejak mereka. ’Yang senior boleh, mengapa kami tidak?’, mungkin begitu pola pikir para pemuda. Oleh karenanya, para pemuda perlu membangun kesadaran diri untuk tidak ikut-ikutan dalam arus yang keliru serta giat menerapkan ajaran agama secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
            Penyebab ketiga adalah pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi, terutama yang terkait dengan budaya dan gaya hidup. Globalisasi memiliki 2 sisi mata uang. Di satu sisi dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan hubungan antarnegara, tetapi di sisi lain globalisasi dapat mengakibatkan terjadinya krisis akhlak di kalangan anak muda.
            Film-film produksi luar negeri (terutama dari negara Barat) sering kali menyajikan adegan yang kurang pantas, atau malah dapat dikategorikan ke dalam pornografi. Selain itu, siaran berbagai stasiun televisi – baik dari dalam maupun luar negeri – sudah menyerbu ke segala pelosok tempat. Banyak programnya yang mengandung adegan kekerasan, seks bebas, dan gaya hidup hedonistis. Belum lagi pengaruh negatif internet yang sudah mengglobal. Dari internet, siapa saja yang memiliki akses, dapat menonton berbagai film porno. Meskipun pemerintah telah melakukan pembatasan/pemblokiran terhadap situs-situs tertentu, tetapi kemajuan teknologi tetap memungkinkan para pemuda untuk menonton film-film atau acara di sejumlah situs porno yang sudah diblokir. Situs-situs porno ini sangat merusak akhlak para pemuda dan merampas waktu belajar mereka. Tugas belajar mereka menjadi terbengkalai.
Terkait dengan maraknya peredaran film-film porno, perkembangan selama 10 tahun terakhir ini menunjukkan tren yang berbeda. Kalau dulu para pemuda itu cenderung menjadi korban, sekarang mereka justru menjadi pelaku. Sejumlah pelajar melakukan adegan mesum yang direkam dengan video, lalu disebarluaskan ke masyarakat. Bahkan, hal tak senonoh itu dilakukan oleh 2 oknum mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi beragama. Sanksi hukuman apa yang bisa membuat mereka jera? Rasa malu sepertinya sudah raib dari kepribadian mereka. Para pemuda tidak perlu menyebarkan berita-berita miring itu – termasuk juga berita hoaks – ke media sosial, apalagi berperan sebagai pelaku.
Yang lebih mengerikan, cara merakit bom pun dapat dipelajari serta ditiru lewat internet. Sungguh sangat berbahaya! Inilah efek samping kemajuan teknologi yang berpotensi membuat kekacauan di mana-mana.
Para pemuda perlu menyadari bahwa tugas utama mereka adalah untuk belajar, mempersiapkan diri menjadi pemimpin bangsa, sehingga tak perlu menyia-nyiakan waktu untuk hal yang tak berguna.
Penyebab keempat adalah salah pergaulan. Manusia memang merupakan makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan manusia lain. Masalahnya, manusia itu memiliki watak dan perilaku yang bisa bersifat positif maupun negatif.
Karenanya, para pemuda perlu memperoleh bimbingan dan pengarahan – dari orang tua maupun guru – dalam hal pergaulan. Pemuda itu sendiri harus membangun semacam ’filter’ yang menyaring mana pergaulan yang positif dan mana yang negatif. Bukankah ada pemeo yang mengatakan ’Bergaul dengan tukang arang, akan ikut tercoreng warna hitam, bergaul dengan penjual parfum, akan ikut beraroma harum’?

Solusi yang tepat                                                                                                                   
         Solusi yang pertama dan utama adalah penyediaan tenaga guru yang mumpuni di bidang pembelajaran moral, baik secara teori maupun praktik. Rekrutmen guru perlu diperketat dengan tes psikologi yang kredibel untuk mendudukkan orang yang tepat sebagai pendidik yang bermoral tinggi dan bertanggung jawab serta mampu menjadi panutan.
            Berkaca pada banyaknya guru yang intoleran terhadap orang yang memeluk agama lain, pemerintah – dalam hal ini Kemendikbud – perlu memperhatikan segi heterogenitas lingkungan guru dan siswa dalam proses belajar mengajar, terutama lingkungan guru. Heterogenitas ini terutama mencakup segi agama dan ras. Homogenitas pergaulan guru dalam sekolah cenderung menghasilkan orang-orang berwawasan sempit dan bertindak radikal. Pada 10-20 tahun yang lalu, situasi lingkungan pergaulan guru jauh lebih heterogen dibandingkan dengan situasi sekarang ini. Itu sebabnya, calon siswa dan orang tua siswa perlu memastikan bahwa lingkungan guru di sekolah itu bersifat heterogen sebelum menjatuhkan pilihan hendak bersekolah di mana.
            Solusi kedua adalah perbaikan kurikulum. Pelajaran tentang menghormati perbedaan atau kebinekaan perlu dimasukkan ke dalam kurikulum. Baik guru maupun peserta didik harus menyediakan waktu yang cukup untuk memperluas wawasan kebangsaan Indonesia yang memang ditakdirkan beragam. Para pemuda bisa mempelajari wawasan kebangsaan ini lewat buku-buku sejarah serta biografi tokoh-tokoh dunia yang berpengaruh.
Beragam suku bangsa, bahasa, budaya, agama, dan adat istiadat adalah sesuatu yang niscaya. Tidak ada seorang pun yang boleh merasa dirinya lebih hebat daripada yang lain.
            Di samping itu, pelajaran olahraga dan tugas-tugas kelompok bisa melatih para peserta didik untuk memahami orang lain yang berbeda. Pelajaran kesenian perlu diintensifkan, karena kesenian cenderung memiliki kekuatan untuk memperhalus etika dan perilaku. Demikian juga perlu digalakkan mata pelajaran budi pekerti untuk mengasah moral para pelajar. Satu hal lagi yang tak kurang pentingnya, mata pelajaran tentang HAM juga perlu dicantumkan di dalam kurikulum yang baru. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum.
            Solusi ketiga adalah pemuda perlu membentengi diri dengan iman yang kuat, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Di sini, peranan guru agama sangat penting. Guru agama harus mampu memberikan contoh nyata bentuk cinta kasih, kebaikan, dan kedamaian dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bukankah setiap agama itu pada hakikatnya mengajarkan cinta kasih, kebaikan, dan kedamaian?
Adalah mustahil bagi kita untuk meniadakan sama sekali pengaruh buruk globalisasi dan kemajuan teknologi. Para pemuda perlu menanamkan rasa takut akan Tuhan dalam hati mereka. Hal ini akan menghindarkan mereka dari pengaruh negatif globalisasi, kemajuan teknologi, dan salah pergaulan.

Kesimpulan
            Dari apa yang telah penulis paparkan di atas, maka solusi terhadap krisis moral para pemuda itu memerlukan peran serta dari berbagai pihak. Kita tak bisa bertindak sendiri-sendiri, karena masalahnya begitu kompleks. Diperlukan kerja sama yang baik di antara para pemuda, orang tua, guru, rohaniwan, tokoh-tokoh panutan, dan masyarakat luas.
            Menurut hemat penulis, guru dan orang tua siswa merupakan sosok yang berdiri di garda depan dalam mencegah dan menanggulangi masalah krisis moral para pemuda. Dan pencegahan selalu lebih baik ketimbang penanggulangan.
            Salah satu solusi pencegahan yang efektif adalah lewat menciptakan proses belajar mengajar dengan lingkugan guru dan siswa yang heterogen, sehinga para guru dan siswa dapat mengenal perbedaan sejak dini, dan tidak membenci orang lain yang berbeda. Kurikulum yang sekarang ini memang sudah selayaknya diganti dengan kandungan yang lebih relevan dengan situasi dan kondisi di zaman milenial ini.
            Semoga penggantian kurikulum bukan sekadar menjadi wacana dari tahun ke tahun tanpa realitas. Keterlambatan hanya akan merugikan kita sendiri sebagai bangsa yang besar. Dan kita perlu mengingat bahwa para pemuda inilah yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa.
            Sudah siapkah para pemuda untuk menjadi generasi yang bermoral baik dan memiliki intelektualitas tinggi?

***