Puisi dengan tema bebas berikut ini berjudul "Ranjang Dewaku Jadi Piatu". Puisi ini
diikutsertakan dalam lomba cipta puisi Umar Art II dan telah terpilih sebagai Juara IV.
Kebajikan dan kemurahan Tuhan selalu menyertai setiap langkahku hingga
penghujung April dan awal Mei ini, bahkan hingga selamanya.
Soli Deo Gloria!
Ranjang Dewaku Jadi Piatu
Oleh Budianto Sutrisno
Dulu di ranjang itu...
suara manjamu acap mendesah, merayap
rayu ke gendang telingaku
kau dan aku bak pasangan arjuna-supraba
terlena di ranjang dewa asmara, dan
ikrarkan janji suci
’tuk sesuka, seduka, secita, dan seluka
sepanjang hayat
masih terbayang dalam ingatan dan masih
melekat di pelupuk
kala kau bercerita tentang masa kecilmu
mandi di kali bening
seluruh pakaianmu hanyut terbawa arus
kaupulang dengan tubuh hanya berbalut helai
daun pisang
kugelakkan tawaku dalam bahak, dan
kautepuk mesra pipiku dalam gemas
tirai dan kelambu ikut bergoyang, larut
dalam canda ria
bahagia mengalir tanpa jeda
Tapi itu semua t’lah menjelma ranting
dan daun layu yang berguguran
kala goresan takdir memisahkan aku dan
kau selamanya, tanpa belas
entak petaka di kelok jalan itu
t’lah membuatmu terlelap selamanya dalam
pelukan maut
hancur berderai butir-butir mutiara
harapan yang lama kuuntai satu per satu
janji seia sekata, senasib
sepenanggungan, dan seiring sejalan itu
buyar sudah ditelan kabut duka yang tak
terseka
meninggalkan siksa dera rindu yang tak
berujung
aku merindui lesung manis pipimu
aku merindui aroma harum napasmu
aku merindui cerita jenaka darimu
aku merindui semua yang ada pada dirimu
setiap tetes air mataku adalah butir
rinduku yang mengalir ke muara entah
Kenangan dua puluh purnama itu mengiris
jiwaku setiap malam tiba
pembaringan dewa itu cengkeramkan
cekaman sepi yang gigilkan jiwa
tiap kali kubaringkan tubuhku di sana,
berjuta duri menusuk seluruh tubuhku
ranjang dewa asmara berubah jadi ranjang
sarat siksa
ku tak kuasa lagi berbaring di atasnya
sungguh, ku tak mengerti mengapa ranjang
dewaku jadi piatu
meski kini ku tak mengerti, suatu saat
pasti kupahami
seiring runtuhnya bukit kepedihan yang
menindih hatiku
***