Thursday, August 28, 2014

Puisi dengan Tema 'No Palsu'

Dalam sebuah kompetisi tulisan di blog yang diselenggarakan oleh Toyota, puisi dengan tema
'No Palsu' ini telah dinyatakan sebagai tulisan yang masuk dalam '10 Besar Terbaik'.



Palsu Itu Tabu
Oleh Budianto Sutrisno

   
Ada yang bilang…
dunia adalah panggung kehidupan nyata
ada juga yang bilang…
dunia ini panggung sandiwara
kesejatian dan kepalsuan tampil bersama
sosok asli sejati berbaur dengan bayang semu palsu
termasuk juga suku cadang asli Toyota nan ternama
acap kali dipalsukan
dengan suku cadang tiruan demi raup keuntungan sesaat
oleh oknum yang limbung di jalan sesat

Semua tahu hanya produk bermutu yang dipalsu
yang bermutu itu awet dan banyak diburu
suku cadang asli Toyota dipalsu karena sajikan mutu
tapi asli atau palsu bisa ditilik dan ditelisik
terutama di saat mudik
perjalanan jauh membongkar lekang kepalsuan suku cadang
timing belt palsu membuat kendaraan mogok mendadak
klep mesin bisa bengkok dan rusak
filter oli palsu merusak dan mengikis bengis
komponen mesin sampai hancur habis
Anda hanya bisa merutuk kutuk sambil meringis
air bag palsu bisa ciptakan nasib tragis
menyisakan rintih kepedihan dalam tangis
itu hanyalah sebagian dampak pilu
menggunakan suku cadang palsu

Daripada acara mudik yang sakral
berubah menjadi tragedi fatal
gunakan hanya suku cadang asli Toyota
katakan ”No Palsu” tanpa ragu
sejatinya, palsu itu tabu
kar’na hidup bukanlah sembarang melempar dadu


***
Sumber foto:
http://www.toyotamakati.com.ph/parts-and-accessories/anti-counterfeit-campaign.php



Thursday, August 7, 2014

Surat untuk Capres 2014 dengan Tema "Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi"

Dalam lomba menulis Surat untuk Capres 2014 dengan tema "Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi", surat saya untuk capres 2014 yang berjudul "Bilur-Bilur Diskriminasi" telah 
berhasil meraih juara pertama.
Lomba ini diselenggarakan oleh Yayasan Denny J.A.


Jakarta, 24 Juni 2014

Bilur-Bilur Diskriminasi
  
Yth. Bapak Calon Presiden 2014,
Sebelum sapaan ”Yang terhormat” untuk Bapak berganti menjadi ”Yang Mulia”, saya meluangkan waktu untuk menulis surat tentang diskrimasi ras ini, agar Bapak sempat memikirkannya dan mencari solusinya sebelum segunung tugas membebani Bapak sebagai orang nomor satu di republik ini.
Saya dilahirkan dalam keluarga keturunan Tionghoa. Kami semua beragama Kristen, yang saya yakini merupakan anugerah dari Tuhan. Kami adalah WNI yang lahir, dibesarkan, bersekolah, mencari nafkah, dan bakal meninggal di tanah air tercinta ini. Kami tidak bisa memilih harus dilahirkan dari keluarga mana atau dari keturunan apa. Semuanya diberikan oleh Sang Sumber Anugerah yang menciptakan begitu banyak ras dari berbagai suku bangsa. Ada yang berkulit putih, hitam, kuning, kemerahan, dan sawo matang. Bahasa dan kebudayaannya pun berbeda-beda. Semuanya sama-sama ciptaan Tuhan, tidak ada yang lebih tinggi derajatnya dan tidak ada yang lebih rendah.
Namun, sudah bukan rahasia lagi jika keturunan Tionghoa – yang selama beberapa dasawarsa terakhir pernah disebut Cina – mengalami perlakuan yang tidak nyaman dalam banyak hal oleh kelompok yang menyatakan diri sebagai pribumi.
Secara pribadi, saya tidak menyukai istilah ”pribumi” dan ”non-pribumi”, karena kedua istilah ini – disadari atau tidak – telah ikut andil dalam meretakkan dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Sedangkan mengenai istilah ”Cina” itu sendiri, bagi saya pribadi setelah dewasa, tidak memberikan pengaruh apa pun. Akan tetapi, bagi kelompok etnis Tionghoa tertentu, hal ini bisa menjadi keberatan. Mengapa? Karena istilah ”Cina” acap kali diucapkan dengan intonasi dan makna yang bernada menghina atau merendahkan. Seolah etnis tersebut tak ubahnya seperti anjing atau babi. Padahal, anjing atau babi sekalipun, diciptakan juga oleh Tuhan untuk kebaikan umat manusia, bukan? Tuhan pasti memiliki maksud tertentu dalam menciptakan segala sesuatu.
Dalam pers dulu, pemberitaan tentang perbuatan kriminal, misalnya, jika pelakunya adalah etnis Tionghoa, maka disebutkan bahwa pelakunya adalah X, seorang WNI keturunan Cina. Akan tetapi, jika berita itu berupa prestasi yang diraih oleh etnis Tionghoa, maka disebutkan nama pelakunya saja, tanpa embel-embel ”WNI keturunan Cina”.
Hal semacam ini membuktikan bahwa diskriminasi ras itu semakin menyuburkan perasaan antipati masyarakat pribumi terhadap etnis Tionghoa. Sangat menyakitkan!
Hegel, seorang filsuf brilian dari Jerman, mengatakan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki sejarah, tetapi manusia tak mau belajar dari sejarah. Sebagai manusia biasa, saya khawatir apa yang dikatakan oleh Hegel itu menjadi kenyataan. Akan tetapi, sebagai manusia yang berpengharapan, saya yakin bahwa bangsa Indonesia itu memiliki tekat untuk tidak mengulang kembali kesalahan dalam sejarah.
Yang terhormat Bapak Capres,
Sewaktu saya berumur kira-kira 5 tahun, terjadilah sebuah pengalaman yang ’aneh’ dalam kaitan dengan diskriminasi ras. Waktu itu, saya sedang bermain di luar rumah, dan kemudian ada serombongan anak pribumi (maaf, saya terpaksa menggunakan istilah yang tak saya sukai) lewat. Tanpa alasan yang jelas, mereka berkata keras kepada saya, ”Cina, Cina!” dengan nada dan mimik yang merendahkan.
Sebagai anak yang masih polos, saya menginterpretasikan bahwa anak pribumi tersebut menganggap saya sebagai anak jahat, sehingga memaki saya dengan istilah ”Cina”. Kata ”Cina” merupakan istilah yang pertama kali saya dengar pada waktu itu. Dalam benak saya, ”Cina” itu adalah istilah yang mengacu kepada orang jahat.
Kisahnya tak berhenti di situ. Suatu hari saya dijadikan objek bulan-bulanan oleh kakak saya. Saya merasa jengkel, lalu saya meneriakkan, ”Kamu Cina!” dengan nada marah dan melecehkan.
Kakak saya mendadak tertawa terbahak-bahak setelah saya maki. Saya bingung, tak habis mengerti. Lalu kakak saya menyahut, ”Kamu sendiri juga Cina.”
Saya langsung mengadukan hal ini kepada ibu saya. Sejak saat itu, saya mulai mengerti apa yang disebut sebagai diskriminasi ras. Sebelumnya, saya merasa semua orang itu sama meski warna kulit berbeda.
Yang terhormat Bapak Capres,
Cerita saya ini kiranya dapat menggugah hati Bapak untuk membenahi pendidikan karakter mengenai kebangsaan dan persatuan sejak usia dini. Mohon supaya sebelum Bapak disapa dengan sebutan ”Yang Mulia”, Bapak sudah mampu menyusun strategi yang tepat untuk mencegah terjadinya diskriminasi ras. Bukankah semua ras itu sama mulianya? Nilai diri seseorang bukanlah bergantung pada suku bangsanya, tetapi terletak pada apa yang dikontribusikan orang tersebut kepada tanah air dan bangsa.
Kepada anak-anak Indonesia perlu diajarkan tentang ”Bhinneka Tunggal Ika” sejak usia dini. Anak-anak tak boleh diracuni dan disesatkan oleh tindakan atau ucapan yang mengacu kepada diskriminasi ras. Semua warga negara Indonesia harus semakin disadarkan betapa berlimpahnya anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia melalui aneka perbedaan yang tersebar di seantero Nusantara.
Yang terhormat Bapak Capres,
Sewaktu saya berada di bangku SD kelas V, saya memperoleh pelajaran Sejarah. Di sini kami mendapat pengetahuan yang menegaskan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia itu berasal dari Provinsi Yunan. Lalu kami diajak melihat peta dunia, dan kepada kami ditunjukkan lokasi Provinsi Yunan. Ternyata tempat tersebut berada di Tiongkok Selatan.
Jadi, sebenarnya nenek moyang bangsa Indonesia itu berasal dari Tiongkok, yang penduduknya dikenal sebagai orang Cina, eh… Tionghoa. Nah, loh!
Dengan demikian, orang pribumi yang sedang mengolok WNI keturunan Tionghoa dengan sebutan ”Cina” itu sebenarnya sedang mengolok nenek moyang mereka sendiri. Betapa besar dosa mereka itu!
Yang terhormat Bapak Capres,
Sebenarnya siapa sih yang layak disebut sebagai ”pribumi” yang benar-benar penduduk asli Indonesia? Orang seperti Bapak Amien Rais-kah? Jelas raut wajah beliau itu menunjukkan bahwa beliau adalah keturunan Arab. Orang seperti Prof. Sahetapy yang tegas itukah pribumi asli? Saya tidak tahu. Yang jelas, beliau itu berasal dari Indonesia bagian timur. Penduduk Papua-kah? Atau penduduk Jawa yang merupakan etnis mayoritas? Saya tak tahu pasti.
Sesungguhnya bangsa Indonesia itu merupakan bangsa pendatang dari Provinsi Yunan. Lalu, mungkin, mereka berasimilasi dengan penduduk asli yang sudah menghuni lebih dahulu pulau-pulau di Indonesia. Jika demikian, di manakah penduduk asli itu? Ya, mereka ini sudah hilang melebur, karena sudah berasimilasi total dengan bangsa pendatang. Yang tinggal adalah hasil asimilasi antara bangsa pendatang dan penduduk asli.
Yang terhormat Bapak Capres,
Benar-tidaknya hasil analisis saya ini perlu pembuktian sejarah. Namun setidaknya, pemaparan saya ini cukup masuk akal sehat. Intinya adalah bahwa diskriminasi ras itu sangat menjijikkan dan sebenarnya pelakunya telah menghujat nenek moyangnya sendiri.
Apakah pengacara besar, seperti almarhum Tjiam Djoe Khiam, Yap Thiam Hien, dan para veteran keturunan Tionghoa itu tidak mencintai tanah tumpah darah Indonesia? Menurut hemat saya, mereka ini jauh lebih mencintai Indonesia ketimbang orang-orang seperti Angelina Sondakh, Akil Muchtar, Anas Urbaningrum dll. – yang notabene mengaku pribumi – yang senang menjadi opportunis yang menggerogoti uang rakyat.
Yang terhormat Bapak Capres,
Saya pikir Bapak juga sudah mafhum bahwa WNI keturunan Tionghoa itu sering dipersulit ketika mengurus KTP atau perizinan tertentu. Yang berkuasa di kantor kelurahan dan imigrasi, misalnya, menganggap setiap enis Tionghoa itu kaum berada, sehingga perlu   ’donasi’ ekstra dari etnis ini untuk sang penguasa. Jika diberi, melanggar hati nurani; jika tidak diberi, rencana bisa gagal. Ini benar-benar buah simalakama yang harus dihadapi oleh etnis Tionghoa di Indonesia.  Mengapa kita tidak belajar dari negara tetangga seperti Singapura, misalnya. Sejauh yang saya tahu, tidak ada diskriminasi dalam pengurusan surat maupun perizinan untuk segala etnis di negara ini.
Yang terhormat Bapak Capres,
Sebagai penutup, izinkan saya hendak mengutip alinea pertama mukadimah Undang-Undang Dasar 1945: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sejalan dengan semangat mukadimah tersebut, maka diskriminasi ras juga harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan, karena penindasan oleh bangsa sendiri itu jauh lebih meninggalkan luka mendalam ketimbang penindasan oleh bangsa asing.
Kini, walau luka-luka itu telah sembuh, bekas bilur-bilur yang ditinggalkannya masih ada. Biarlah bilur-bilur ini menjadi peringatan bagi kita semua agar kita lebih berwaspada, dan lebih arif dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dan biarlah bilur-bilur akibat diskriminasi ras itu menjadi bilur-bilur yang terakhir. Tak terulang lagi untuk selamanya.
Demikianlah surat kami, Bapak Capres. Terima kasih saya ucapkan atas kesabaran Bapak membaca surat saya ini. Kiranya apa yang saya harapkan, dan juga yang diharapkan banyak orang dari berbagai etnis, bisa menjadi kenyataan ketika Bapak menjadi Yang Mulia Presiden Republik Indonesia.

Salam cinta Indonesia,

Budianto Sutrisno