Dalam lomba menulis Surat untuk Capres 2014 dengan tema "Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi", surat saya untuk capres 2014 yang berjudul "Bilur-Bilur Diskriminasi" telah
berhasil meraih juara pertama.
Lomba ini diselenggarakan oleh Yayasan Denny J.A.
Jakarta, 24 Juni 2014
Bilur-Bilur
Diskriminasi
Yth. Bapak Calon
Presiden 2014,
Sebelum sapaan ”Yang
terhormat” untuk Bapak berganti menjadi ”Yang Mulia”, saya meluangkan waktu
untuk menulis surat tentang diskrimasi ras ini, agar Bapak sempat memikirkannya
dan mencari solusinya sebelum segunung tugas membebani Bapak sebagai orang
nomor satu di republik ini.
Saya dilahirkan dalam
keluarga keturunan Tionghoa. Kami semua beragama Kristen, yang saya yakini
merupakan anugerah dari Tuhan. Kami adalah WNI yang lahir, dibesarkan,
bersekolah, mencari nafkah, dan bakal meninggal di tanah air tercinta ini. Kami
tidak bisa memilih harus dilahirkan dari keluarga mana atau dari keturunan apa.
Semuanya diberikan oleh Sang Sumber Anugerah yang menciptakan begitu banyak ras
dari berbagai suku bangsa. Ada yang berkulit putih, hitam, kuning, kemerahan,
dan sawo matang. Bahasa dan kebudayaannya pun berbeda-beda. Semuanya sama-sama
ciptaan Tuhan, tidak ada yang lebih tinggi derajatnya dan tidak ada yang lebih
rendah.
Namun, sudah bukan
rahasia lagi jika keturunan Tionghoa – yang selama beberapa dasawarsa terakhir
pernah disebut Cina – mengalami perlakuan yang tidak nyaman dalam banyak hal
oleh kelompok yang menyatakan diri sebagai pribumi.
Secara pribadi, saya tidak
menyukai istilah ”pribumi” dan ”non-pribumi”, karena kedua istilah ini –
disadari atau tidak – telah ikut andil dalam meretakkan dan memecah belah
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Sedangkan mengenai
istilah ”Cina” itu sendiri, bagi saya pribadi setelah dewasa, tidak memberikan
pengaruh apa pun. Akan tetapi, bagi kelompok etnis Tionghoa tertentu, hal ini
bisa menjadi keberatan. Mengapa? Karena istilah ”Cina” acap kali diucapkan
dengan intonasi dan makna yang bernada menghina atau merendahkan. Seolah etnis
tersebut tak ubahnya seperti anjing atau babi. Padahal, anjing atau babi
sekalipun, diciptakan juga oleh Tuhan untuk kebaikan umat manusia, bukan? Tuhan
pasti memiliki maksud tertentu dalam menciptakan segala sesuatu.
Dalam pers dulu, pemberitaan
tentang perbuatan kriminal, misalnya, jika pelakunya adalah etnis Tionghoa,
maka disebutkan bahwa pelakunya adalah X, seorang WNI keturunan Cina. Akan
tetapi, jika berita itu berupa prestasi yang diraih oleh etnis Tionghoa, maka
disebutkan nama pelakunya saja, tanpa embel-embel ”WNI keturunan Cina”.
Hal semacam ini
membuktikan bahwa diskriminasi ras itu semakin menyuburkan perasaan antipati
masyarakat pribumi terhadap etnis Tionghoa. Sangat menyakitkan!
Hegel, seorang filsuf
brilian dari Jerman, mengatakan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang
memiliki sejarah, tetapi manusia tak mau belajar dari sejarah. Sebagai manusia
biasa, saya khawatir apa yang dikatakan oleh Hegel itu menjadi kenyataan. Akan tetapi,
sebagai manusia yang berpengharapan, saya yakin bahwa bangsa Indonesia itu memiliki
tekat untuk tidak mengulang kembali kesalahan dalam sejarah.
Yang terhormat Bapak
Capres,
Sewaktu saya berumur
kira-kira 5 tahun, terjadilah sebuah pengalaman yang ’aneh’ dalam kaitan dengan
diskriminasi ras. Waktu itu, saya sedang bermain di luar rumah, dan kemudian
ada serombongan anak pribumi (maaf, saya terpaksa menggunakan istilah yang tak
saya sukai) lewat. Tanpa alasan yang jelas, mereka berkata keras kepada saya,
”Cina, Cina!” dengan nada dan mimik yang merendahkan.
Sebagai anak yang masih
polos, saya menginterpretasikan bahwa anak pribumi tersebut menganggap saya
sebagai anak jahat, sehingga memaki saya dengan istilah ”Cina”. Kata ”Cina”
merupakan istilah yang pertama kali saya dengar pada waktu itu. Dalam benak
saya, ”Cina” itu adalah istilah yang mengacu kepada orang jahat.
Kisahnya tak berhenti
di situ. Suatu hari saya dijadikan objek bulan-bulanan oleh kakak saya. Saya merasa
jengkel, lalu saya meneriakkan, ”Kamu Cina!” dengan nada marah dan melecehkan.
Kakak saya mendadak
tertawa terbahak-bahak setelah saya maki. Saya bingung, tak habis mengerti. Lalu
kakak saya menyahut, ”Kamu sendiri juga Cina.”
Saya langsung mengadukan
hal ini kepada ibu saya. Sejak saat itu, saya mulai mengerti apa yang disebut
sebagai diskriminasi ras. Sebelumnya, saya merasa semua orang itu sama meski
warna kulit berbeda.
Yang terhormat Bapak
Capres,
Cerita saya ini kiranya
dapat menggugah hati Bapak untuk membenahi pendidikan karakter mengenai
kebangsaan dan persatuan sejak usia dini. Mohon supaya sebelum Bapak disapa
dengan sebutan ”Yang Mulia”, Bapak sudah mampu menyusun strategi yang tepat
untuk mencegah terjadinya diskriminasi ras. Bukankah semua ras itu sama
mulianya? Nilai diri seseorang bukanlah bergantung pada suku bangsanya, tetapi
terletak pada apa yang dikontribusikan orang tersebut kepada tanah air dan
bangsa.
Kepada anak-anak
Indonesia perlu diajarkan tentang ”Bhinneka Tunggal Ika” sejak usia dini.
Anak-anak tak boleh diracuni dan disesatkan oleh tindakan atau ucapan yang
mengacu kepada diskriminasi ras. Semua warga negara Indonesia harus semakin
disadarkan betapa berlimpahnya anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia melalui
aneka perbedaan yang tersebar di seantero Nusantara.
Yang terhormat Bapak
Capres,
Sewaktu saya berada di
bangku SD kelas V, saya memperoleh pelajaran Sejarah. Di sini kami mendapat
pengetahuan yang menegaskan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia itu berasal
dari Provinsi Yunan. Lalu kami diajak melihat peta dunia, dan kepada kami
ditunjukkan lokasi Provinsi Yunan. Ternyata tempat tersebut berada di Tiongkok
Selatan.
Jadi, sebenarnya nenek
moyang bangsa Indonesia itu berasal dari Tiongkok, yang penduduknya dikenal
sebagai orang Cina, eh… Tionghoa. Nah, loh!
Dengan demikian, orang
pribumi yang sedang mengolok WNI keturunan Tionghoa dengan sebutan ”Cina” itu sebenarnya
sedang mengolok nenek moyang mereka sendiri. Betapa besar dosa mereka itu!
Yang terhormat Bapak
Capres,
Sebenarnya siapa sih yang layak disebut sebagai ”pribumi”
yang benar-benar penduduk asli Indonesia? Orang seperti Bapak Amien Rais-kah?
Jelas raut wajah beliau itu menunjukkan bahwa beliau adalah keturunan Arab.
Orang seperti Prof. Sahetapy yang tegas itukah pribumi asli? Saya tidak tahu.
Yang jelas, beliau itu berasal dari Indonesia bagian timur. Penduduk Papua-kah?
Atau penduduk Jawa yang merupakan etnis mayoritas? Saya tak tahu pasti.
Sesungguhnya bangsa
Indonesia itu merupakan bangsa pendatang dari Provinsi Yunan. Lalu, mungkin,
mereka berasimilasi dengan penduduk asli yang sudah menghuni lebih dahulu pulau-pulau
di Indonesia. Jika demikian, di manakah penduduk asli itu? Ya, mereka ini sudah
hilang melebur, karena sudah berasimilasi total dengan bangsa pendatang. Yang
tinggal adalah hasil asimilasi antara bangsa pendatang dan penduduk asli.
Yang terhormat Bapak Capres,
Benar-tidaknya hasil
analisis saya ini perlu pembuktian sejarah. Namun setidaknya, pemaparan saya
ini cukup masuk akal sehat. Intinya adalah bahwa diskriminasi ras itu sangat
menjijikkan dan sebenarnya pelakunya telah menghujat nenek moyangnya sendiri.
Apakah pengacara besar,
seperti almarhum Tjiam Djoe Khiam, Yap Thiam Hien, dan para veteran keturunan
Tionghoa itu tidak mencintai tanah tumpah darah Indonesia? Menurut hemat saya,
mereka ini jauh lebih mencintai Indonesia ketimbang orang-orang seperti
Angelina Sondakh, Akil Muchtar, Anas Urbaningrum dll. – yang notabene mengaku pribumi – yang senang menjadi
opportunis yang menggerogoti uang rakyat.
Yang terhormat Bapak
Capres,
Saya pikir Bapak juga
sudah mafhum bahwa WNI keturunan Tionghoa itu sering dipersulit ketika mengurus
KTP atau perizinan tertentu. Yang berkuasa di kantor kelurahan dan imigrasi,
misalnya, menganggap setiap enis Tionghoa itu kaum berada, sehingga perlu ’donasi’ ekstra dari etnis ini untuk sang
penguasa. Jika diberi, melanggar hati nurani; jika tidak diberi, rencana bisa gagal.
Ini benar-benar buah simalakama yang harus dihadapi oleh etnis Tionghoa di
Indonesia. Mengapa kita tidak belajar
dari negara tetangga seperti Singapura, misalnya. Sejauh yang saya tahu, tidak
ada diskriminasi dalam pengurusan surat maupun perizinan untuk segala etnis di
negara ini.
Yang terhormat Bapak
Capres,
Sebagai penutup, izinkan
saya hendak mengutip alinea pertama mukadimah Undang-Undang Dasar 1945: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sejalan dengan semangat
mukadimah tersebut, maka diskriminasi ras juga harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan, karena penindasan oleh bangsa
sendiri itu jauh lebih meninggalkan luka mendalam ketimbang penindasan oleh
bangsa asing.
Kini, walau luka-luka
itu telah sembuh, bekas bilur-bilur yang ditinggalkannya masih ada. Biarlah
bilur-bilur ini menjadi peringatan bagi kita semua agar kita lebih berwaspada,
dan lebih arif dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dan biarlah
bilur-bilur akibat diskriminasi ras itu menjadi bilur-bilur yang terakhir. Tak
terulang lagi untuk selamanya.
Demikianlah surat kami,
Bapak Capres. Terima kasih saya ucapkan atas kesabaran Bapak membaca surat saya
ini. Kiranya apa yang saya harapkan, dan juga yang diharapkan banyak orang dari
berbagai etnis, bisa menjadi kenyataan ketika Bapak menjadi Yang Mulia Presiden
Republik Indonesia.
Salam cinta Indonesia,
Budianto Sutrisno