Sunday, July 28, 2024

Menyiangi Lahan Korupsi: Strategi Pemerintah Daerah dalam Menggugurkan Benih-Benih Kecurangan



Sumber Foto: Antara

Fakta menunjukkan bahwa korupsi telah terjadi di setiap sektor kehidupan. Mulai dari jumlah kecil sampai dengan triliunan. Mulai dari cara yang kasar sampai dengan modus yang canggih. Tak pelak, timbul narasi bahwa korupsi sudah merupakan bagian dari budaya bangsa. Korupsi juga dinyatakan sebagai tindak kejahatan luar biasa.

Sebab musabab                                                                                         

Seperti upaya mencegah dan mengobati penyakit, kita perlu melakukan diagnosis, mencari tahu apa yang menjadi sebab musabab terjadinya korupsi. Dengan demikian, kita dapat mengupayakan cara yang efektif dan efisien untuk mendapatkan solusinya.

 Para ahli mengemukakan sejumlah teori mengenai sebab musabab terjadinya korupsi.Teori ekonomi politik menganggap  bahwa sistem ekonomi politik yang tidak seimbang yang menyebabkan terjadinya korupsi. Hal ini memicu individu atau kelompok tertentu menggunakan kekuasaan politik untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Teori kebudayaan menggarisbawahi peranan nilai-nilai sosial dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma-norma sosial yang toleran terhadap korupsi dan kurangnya nilai-nilai kejujuran dalam budaya tertentu, menjadi penyebab terjadinya korupsi.

Sedangkan teori institusional memandang lemahnya lembaga negara dan sistem hukum  dalam mencegah korupsi dan menindak pelakunya, menjadi faktor penyebab terjadinya korupsi.

Pihak pendukung teori psikologi sosial menganggap korupsi sebagai perilaku yang dipengaruhi oleh faktor psikologis individu, seperti keserakahan, kebutuhan akan kekuasaan, atau tekanan sosial.

Sementara itu, pendukung teori pilihan rasional mengasumsikan bahwa kalkulasi manfaat dan risiko merupakan dasar seseorang melakukan korupsi. Ketika manfaat yang diperoleh itu dianggap lebih besar ketimbang risiko hukuman yang harus ditanggung, maka dilakukanlah tindakan korupsi.      

Sejatinya, tak ada satu teori pun yang secara mutlak dapat menjelaskan seluruh aspek penyebab terjadinya korupsi, mengingat fenomena korupsi itu bersifat kompleks dan multifaset.

Menurut hemat penulis, secara umum, fenomena korupsi itu dapat terjadi karena adanya kesempatan, motivasi negatif, dan rasionalisasi. Di tingkat pemerintah daerah, korupsi acapkali terjadi karena lemahnya sistem pengawasan dan rendahnya transparansi dalam pengelolaan anggaran, ditambah lagi dengan timbulnya kolusi antara pejabat pemerintah dan pihak swasta atau individu yang berkepentingan.

Di samping itu, rendahnya kualitas tata kelola pemerintahan—yang mencakup sistem pengadaan logistik untuk publik—ikut memicu terjadinya korupsi.

Pencegahan dan pemberantasan

Jika kita telah mengetahui sebab musababnya, lalu bagaimana cara mencegah dan memberantas korupsi secara efektif?

Penulis berpendapat, bahwa cara yang paling mendasar adalah melalui pendidikan, yang bisa dilaksanakan sejak masa belajar di bangku sekolah sampai setelah menjadi ASN.

Pendidikan merupakan kunci utama untuk membentuk karakter dan nilai nilai moral. Pendidikan antikorupsi yang diberikan sejak dini dapat membentuk generasi yang memiliki integritas dan kesadaran untuk mengharamkan tindakan korupsi.

Untuk itu, pemerintah daerah wajib memasukkan materi tentang karakter antikorupsi ke dalam kurikulum sekolah. Materi ini mengajarkan tentang pentingnya kejujuran dan transparansi. Merekalah yang bakal menjadi pemimpin masa depan yang berintegritas.

Cara kedua untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan menggunakan teknologi blockchain. Transparansi dan keamanan data melalui sistem yang terdesentralisasi dimungkinkan lewat penggunaan teknologi mutakhir ini.                                                                      

Penggunaan blockchain memungkinkan setiap transaksi yang tercatat tidak dapat diubah atau dihapus. Dengan demikian, teknologi ini dapat menciptakan catatan yang permanen dan mudah diverifikasi. Hal ini dapat meningkatkan upaya transparansi dan memungkinkan pengawasan publik yang lebih efektif terhadap setiap transaksi yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

Teknologi canggih ini dapat membuat publik mengakses hasil rekaman setiap transaksi keuangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk  memantau penggunaan anggaran secara real-time, sekaligus mengurangi risiko penyelewengan dana. Bukankah ini merupakan cara pencegahan korupsi yang sangat efektif?

Dalam konteks keamanan, blockchain dapat pula digunakan untuk mengamankan data-data penting pemerintah secara akurat, sehingga peristiwa peretasan data penting dari berbagai instansi pemerintah—seperti yang telah terjadi belakangan ini—tidak terulang lagi. Melek perkembangan teknologi  maju, sangat membantu kita dalam menyelesaikan berbagai masalah penyimpanan data secara tuntas.

Cara ketiga, berupa pengaturan sistem pelaporan dan perlindungan yang baik terhadap pelapor pelanggaran (whistleblower). Dapat dikatakan, pelapor pelanggaran adalah kunci dalam mengungkapkan kasus korupsi. Akan tetapi, mereka sering terintimidasi dan terancam keselamatannya. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus menyediakan dan mengatur sistem pelaporan yang aman dan anonim. Untuk keamanan maksimal, dapat digunakan aplikasi pelaporan korupsi dengan enkripsi yang andal, sehingga identitas pelapor dapat terjaga kerahasiaannya.

Kini kita sampai pada cara keempat, yakni menerapkan upaya audit secara rutin. Audit ini dilakukan oleh lembaga independen untuk membantu mengidentifikasi potensi korupsi dan mengevaluasi efektivitas sistem pengawasan yang ada. Dampaknya sangat positif: akuntabilitas dapat ditingkatkan dan peluang terjadinya korupsi dapat dikurangi secara signifikan.

Dalam hal ini, pemerintah daerah dapat menggandeng lembaga audit independen untuk melakukan pemeriksaan keuangan secara berkala. Kemudian, hasil audit tersebut harus dipublikasikan ke publik sebagai jaminan adanya transparansi.

Berikutnya adalah langkah kelima. Langkah ini berupa pemberian sanksi hukuman yang tegas dan konsisten bagi para koruptor. Hal ini akan memberikan efek jera dan mengurangi keinginan untuk melakukan tindakan korupsi. Pedang Dewi Keadilan jangan sampai terjebak dalam diskriminasi: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kepercayaan masyarakat terhadap KPK, Tipikor, dan Kejaksaan harus dapat ditingkatkan lewat penerapan hukum yang berlaku adil dan tanpa pandang bulu.                                                                                       

Penulis hendak mengemukakan sebuah contoh yang sangat ganjil terkait dengan lemahnya pemberian sanksi hukuman bagi koruptor. Seorang terpidana korupsi yang sudah divonis sejak 2013, baru menjalani hukuman pada bulan Juli 2024. Yang bersangkutan terlibat dalam korupsi pengadaan proyek PT Telkom. Selama 11 tahun jadi terpidana, yang bersangkutan menduduki sejumlah jabatan penting di kementerian. Ironisnya, yang bersangkutan ini adalah mantan deputi KemenPANRB. Pihak penertib justru melakukan pelanggaran berat.      

Dalam hal penerapan hukum secara tegas tanpa pandang bulu, pemerintah daerah—lewat kerja sama dengan lembaga peradilan—harus mampu memastikan bahwa setiap kasus korupsi yang terjadi itu ditangani secara serius, dan pelakunya diganjar hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Sekarang kita sampai pada langkah keenam, yakni pembuktian harta kekayaan pejabat secara terbalik. Langkah ini merupakan salah satu langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi yang efektif. Secara konvensional, kesalahan terdakwa dalam praktik korupsi itu harus dibuktikan oleh penuntut hukum. Akan tetapi, lewat pembuktian harta kekayaan secara terbalik, terduga pelaku korupsilah yang harus membuktikan keabsahan aset dan harta kekayaan yang dimilikinya.

Dalam hal ini, kita dapat mengikuti langkah yang diambil oleh pemerintah Inggris, Australia, dan Italia. Pertanyaan besar yang timbul: jika cara ini efektif, mengapa pemerintah Indonesia tak kunjung menerapkannya?

Penulis menduga, hal ini disebabkan oleh adanya hambatan dari faktor dinamika sosial dan politik. Sudah bukan rahasia lagi, beberapa pejabat—kalau tidak bisa disebutkan berjumlah banyak—diduga terlibat dalam praktik korupsi. Bayangkan saja, untuk menjadi anggota DPR, dikabarkan calon anggota memerlukan biaya miliaran rupiah. Hal inilah yang merupakan pendorong bagi calon anggota DPR atau pejabat lainnya untuk melakukan korupsi, agar setidaknya, bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Sejauh yang penulis ketahui, pemerintah telah mengeluarkan peraturan bagi pejabat negara untuk memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (LHKASN).  Menurut hemat penulis, langkah ini tidaklah cukup. Mengapa? Karena pejabat dapat melakukan manipulasi dalam pengisiannya.

Selanjutnya kita bahas langkah ketujuh, berupa langkah menaikkan gaji pejabat. Secara teori ekonomi, langkah ini dapat mencegah/mengurangi tindakan korupsi. Peningkatan gaji diharapkan dapat meningkatkan kinerja ASN. Dengan demikian, dedikasi dapat ditingkatkan.

Akan tetapi, teori acapkali berbeda dengan fakta di lapangan. Mengapa? Karena korupsi sudah menjadi bagian dari sebuah sistem. Di samping itu, bukankah keserakahan itu tak mengenal batas?

Langkah kedelapan yang penting, yakni keteladanan dari para pejabat tinggi yang berada di pemerintahan pusat. Fondasi integritas yang kuat dapat terbentuk lewat keteladanan pemerintah pusat. Pemerintah daerah akan mengikuti teladan pemerintah pusat yang bersih. Terkait dengan hal ini, penulis teringat akan ucapan almarhum Prof. Sahetapy, yang mengatakan bahwa bagian ikan yang busuk lebih dahulu adalah kepalanya, lalu tubuhnya ikut menjadi busuk. Jika kepala baik, maka seluruh anggota tubuh akan menjadi baik pula. Namun, sangat disayangkan, justru ketua KPK sendiri  tersandung dalam kasus korupsi/gratifikasi.

Fenomena kontradiksi

Di bagian awal tulisan ini terdapat narasi yang mengatakan bahwa korupsi adalah tindak kejahatan yang luar biasa. Bahkan, dapat disejajarkan dengan tindakan terorisme. Hal ini didukung dengan indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia yang sangat memprihatinkan. Skor Indonesia adalah 34 dari 100 berdasarkan acuan dari Tranparency International. Hal ini membuat negeri kita berada pada peringkat 115 dari 180 negara terkorup di dunia.

IPK yang memprihatinkan ini, menurut hemat penulis, disebabkan oleh maraknya korupsi, bukan saja di pemerintah pusat, melainkan juga di pemerintah daerah. Sebagai contoh, penyelewengan dana desa itu tidak saja melibatkan pejabat seperti lurah, tetapi juga pejabat tingkat RT. Kalau dulu, koruptor itu dikenal dengan sebutan penjahat kerah putih, sekarang ini koruptor tidak memerlukan warna kerah lagi.                                   

Akan tetapi, fakta menunjukkan adanya kesenjangan dalam dunia nyata. Antara realitas sosial dan ketentuan hukum, terdapat jurang yang menganga. Di satu sisi, korupsi itu menggerogoti keadilan, tapi di sisi lain, undang-undang tidak secara eksplisit menyatakan tindakan korupsi sebagai tindak kejahatan yang luar biasa.

Kesenjangan ini terjadi karena dikeluarkannya UU Nomor 1 Tahun 2023—yang  notabene merupakan KUHP baru—yang memiliki implikasi bahwa tindak pidana korupsi itu tidak dikategorikan lagi dalam tindak kejahatan luar biasa, tetapi dinyatakan setara dengan tindak kejahatan seperti pencurian atau penggelapan.

Kesenjangan ini merupakan PR bagi para ahli hukum untuk melakukan pembaruan hukum secara komprehensif.

Akhir kata, penulis percaya bahwa melalui penerapan kedelapan cara yang telah disebutkan di atas, dan kerja sama yang baik dengan semua pihak, penyiangan lahan korupsi secara berkelanjutan—di pemerintah pusat maupun daerah—mampu menggugurkan benih-benih kecurangan, sehingga korupsi tak berkesempatan tumbuh subur.

 Daftar Pustaka

Johnson, L. K., & Brown, P. (2021). Effective Anti-Corruption Programs in Local Governance. Washington, DC: World Bank Group.       

kumparancom. (2024, Juli). ”Terpidana Korupsi sejak 2013, Baru Dieksekusi Juli 2024”. [Video]. https://www.instagram.com/reel/C9rL0foSVs0/?igsh=YjNqOHBtNWN1ODdt.

Pengadilan Negeri Gunung Sitoli (2024, Juli 22). “Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)”. https://www.pn-gunungsitoli.go.id/laporan-harta-kekayaan-penyelenggara-negara.

Pusat Edukasi Antikorupsi. (2023, Februari 9). ”Ini Alasan Mengapa Korupsi Disebut Kejahatan Luar Biasa”. https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230209-ini-alasan-mengapa-korupsi-disebut-kejahatan-luar-biasa.

Transparency International. (2020). ”The Anti-Corruption Blockchain: Enhancing Transparency and Accountability in Public Sector Governance”. https://www.transparency.org/en/publications/the-anti-corruption-blockchain-enhancing-transparency-and-accountability.

Wright, A., & De Filippi, P. (2015). Decentralized Blockchain Technology and the Rise of Lex Cryptographia. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.2580664.

 

Friday, July 5, 2024

 Menerapkan Demokrasi Digital: Peluang dan Ancaman di Indonesia

Oleh Budianto Sutrisno

Sumber gambar: depokpos.com

Di tengah denyut nadi era digital, konsep demokrasi sedang mengalami metamorfosis yang mendalam. Tradisi demokrasi yang telah lama dihormati, yang dulunya dipegang teguh di dunia nyata berupa pertemuan fisik dan wacana manusia secara langsung, kini berpadu satu dengan dunia maya yang tak terbatas. Perpaduan ini memunculkan paradigma baru dalam keterlibatan politik dan pemerintahan. Bagi saya, demokrasi di dunia digital bukan hanya tentang mentransplantasikan prinsip-prinsip demokrasi yang sudah mapan ke dalam domain digital; ini adalah tentang evolusi dan kalibrasi ulang prinsip-prinsip tersebut agar dapat beresonansi dan secara efektif menjawab tantangan-tantangan baru dan khas yang diberikan oleh teknologi digital.

Mercusuar harapan

Dunia digital telah mendemokratisasi penyebaran informasi, memungkinkan tingkat partisipasi dan pengawasan warga negara yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam proses politik. Hal ini telah memberdayakan individu untuk menyuarakan pendapat mereka, memobilisasi untuk tujuan-tujuan tertentu, dan meminta pertanggungjawaban pihak berwenang melalui platform yang melampaui batas-batas geografis dan sosio-ekonomis.

Namun demikian, demokrasi digital ini juga menimbulkan pertanyaan kritis tentang privasi data, penyebaran informasi yang salah atau hoaks, dan kesenjangan digital yang dapat mengecualikan sebagian besar populasi untuk berpartisipasi dalam ruang demokrasi yang bersifat baru dan kekinian.

Dalam gelaran demokrasi digital yang rumit ini, saya melihat secercah harapan untuk model tata kelola pemerintahan yang lebih inklusif dan responsif. Ini adalah sebuah visi di mana teknologi berfungsi sebagai katalisator untuk melibatkan warga negara, mendorong dialog yang transparan antara pemerintah dan warganya. Akan tetapi, ini juga merupakan seruan untuk bersikap waspada, sebuah pengingat bahwa kita harus menjaga integritas forum digital kita dari manipulasi dan memastikan akses yang adil untuk mencegah terciptanya kelas baru warga negara yang kehilangan haknya.

Bagi saya, demokrasi di dunia digital berarti merangkul potensi masyarakat yang lebih terhubung dan partisipatif sembari dengan tekun menepis jebakan-jebakan yang dapat melemahkan fundamen cita-cita demokrasi. Pada akhirnya, esensi demokrasi di dunia digital bergantung pada keseimbangan yang rumit. Ini adalah tentang memanfaatkan kekuatan teknologi untuk meningkatkan partisipasi dan inovasi demokratis, sekaligus menghadapi dan mengurangi risiko yang dapat mengikis kepercayaan publik.

Dalam masyarakat modern kita, terdapat kekuatan transformatif dari internet—sebuah peranti yang telah mendefinisikan ulang esensi demokrasi. Ranah digital menawarkan peluang yang tak tertandingi untuk meningkatkan aksesibilitas dan partisipasi aktif. Ini semua menandai era baru di mana informasi tidak hanya dikonsumsi tetapi juga dibagikan, diperdebatkan, dan digunakan sebagai katalisator perubahan.

Pencipta dan penonton

Indonesia—sebuah negara di mana revolusi digital dengan cepat menjembatani jurang pemisah baik  antara warga perkotaan dan warga pedesaan maupun antara kalangan berada dan kalangan yang kurang beruntung. Di sini, konektivitas internet bukan hanya sekadar kemudahan, tetapi juga jalur kehidupan yang menghubungkan suara-suara yang berbeda di seluruh Nusantara; menjalinnya ke dalam gelaran demokrasi. Seiring dengan meroketnya penetrasi internet, hal ini dapat memperkuat suara-suara yang dulunya berada di pinggiran dan mengintegrasikannya ke dalam dialog bagi kepentingan masa depan bangsa.

Di dunia yang saling terhubung ini, setiap individu memiliki potensi untuk menjadi konsumen dan pencipta konten, penonton dan peserta dalam proses demokrasi. Lanskap digital merupakan lahan subur bagi gerakan akar rumput, memungkinkan warga negara untuk memobilisasi dan mengadvokasi proses perubahan. Hal ini merupakan bukti bahwa ketika diberikan alat untuk saling terhubung, masyarakat dapat memiliki kemampuan untuk meneroka jalan menuju demokrasi yang lebih partisipatif dan responsif.

Dalam menerapkan demokrasi digital ini, kita harus tetap waspada untuk memastikan bahwa internet tetap menjadi kekuatan untuk kebaikan, sebuah platform yang menjunjung tinggi nilai-nilai dialog terbuka dan saling menghormati. Adalah kewajiban kita untuk memanfaatkan teknologi ini guna memberdayakan setiap warga negara. Ini karena di era yang saling terhubung, kekuatan demokrasi kita tidak hanya diukur dari suara-suara yang didengar, tetapi juga dari tindakan yang mengikutinya.

Distorsi realitas

Di dunia digital yang terbentang luas, informasi bergerak dengan kecepatan cahaya, begitu pula dengan kebohongan. Fenomena misinformasi telah meningkat ke tahap yang mengkhawatirkan, dengan potensi untuk memengaruhi opini publik dan memengaruhi hasil pemilu. Perjuangan Indonesia dalam menghadapi proliferasi berita palsu adalah pengingat yang jelas tentang kekuatan berbahaya dari misinformasi. Ini bukan hanya masalah sejumlah fakta yang disalahartikan; ini adalah masalah sistemik yang dapat merusak prinsip-prinsip yang sangat mendasar dari pengambilan keputusan yang terinformasi dan praktik permainan yang adil dalam demokrasi. Suka atau tidak suka, misinformasi telah membuat terjadinya distorsi realitas yang menyesatkan.

Kita semua menyadari bahwa kemunculan platform digital telah menjadi anugerah bagi masyarakat sipil Indonesia. Media sosial, khususnya, telah muncul sebagai alat yang ampuh untuk gerakan akar rumput dan aktivitas sosial, yang mendemokratisasi ruang publik dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekuatan platform-platform ini tampak jelas sekali ketika mereka menjadi instrumen dalam menggalang opini publik dan mengorganisikan protes massa terhadap undang-undang serta kebijakan pemerintah yang kontroversial.

Tak pelak, demokrasi Indonesia di dunia digital merupakan pedang tajam bermata dua. Selain menawarkan peluang untuk berpartisipasi, hal ini juga mengancam fondasi masyarakat demokratis. Memang, perjalanan Indonesia menuju demokrasi digital yang bersifat dewasa masih terus berlangsung. Sampai tujuan ideal tercapai. 

***

 

Saturday, June 22, 2024

Menyoal Integritas Jurnalisme: MenaklukkanTantangan Disinformasi di Era Digital 

Oleh Budianto Sutrisno

Sumber Foto: Kementerian Komunikasi dan Informatika

Jurnalis mengatakan sesuatu yang mereka tahu tidak benar, dengan harapan bahwa jika terus mengatakannya cukup lama, itu akan menjadi kenyataan. (Arnold Bennett).

Apa yang dikatakan oleh Arnold Bennett—seorang novelis, penulis naskah drama, kritikus berkebangsaan Inggris (1867-1931)—tampaknya masih berlaku sampai abad ke-21 ini, dan mungkin juga seterusnya.

Tiga pilar utama                                                                                                                                          Ternyata berita dusta/hoaks atau disinformasi telah terjadi sejak bertahun lalu. Celakanya, jika berita yang tidak benar ini disebarkan terus-menerus dalam jangka panjang, khalayak dapat menganggapnya sebagai kebenaran. Ini merupakan  petaka besar di era digital, di mana penyebaran informasi berlangsung begitu cepat dan masif.                                                  

Untuk mencegah berkembangnya masalah disinformasi, kegiatan jurnalisme memerlukan apa yang disebut sebagai kepercayaan, pilar utama dan pertama yang merupakan keniscayaan mutlak. Kepercayaan itu menciptakan hubungan yang solid dan tahan lama antara media dan khalayaknya.                                            

Menurut studi yang dilakukan oleh Pew Research Center di Amerika Serikat, kepercayaan publik terhadap media sangat dipengaruhi oleh persepsi transparansi dan independensi media tersebut.                               

Dalam konteks Indonesia, kasus surat kaleng yang melibatkan Metro TV pada tahun 2017 dapat dijadikan pelajaran berharga. Isi surat kaleng yang mengandung tuduhan serius pada salah satu kandidat dalam Pilkada DKI dimuat sebagai berita.  Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana kurangnya verifikasi fakta dapat mengikis kepercayaan publik. Di sinilah pentingnya penerapan standar etika yang ketat dan mekanisme verifikasi yang kuat dalam jurnalisme untuk memastikan bahwa informasi yang disajikan adalah benar, akurat, dan dapat dipercaya.                                                                                                                                       

Sementara itu, menurut teori kepercayaan sosial yang dikemukakan oleh Fukuyama pada tahun1995, kepercayaan merupakan buah dari ekspektasi kolektif bahwa suatu institusi akan bertindak secara konsisten, adil, dan selaras dengan norma-norma yang berlaku. Hal ini menegaskan bahwa integritas jurnalisme bukan hanya tentang menyampaikan fakta, melainkan juga tentang membangun dan menjaga hubungan kepercayaan dengan masyarakat. Jika kepercayaan itu sampai hilang, hilang pula integritas jurnalisme. Berita kebenaran macam apa pun yang disajikan, tak akan digubris oleh khalayak.                                                                      

Kepercayaan publik adalah aset berharga yang harus dipelihara oleh media. Publik cenderung mengandalkan media yang memiliki rekam jejak dalam menyajikan informasi yang tidak hanya akurat tetapi juga imperatif dan etis. Oleh karena itu, integritas jurnalisme harus diperkuat melalui penerapan standar etika yang tinggi dan transparansi dalam proses peliputan serta penyajian berita.                                                                         

Untuk membangun jurnalisme yang bertanggung jawab, diperlukan juga pilar utama kedua, yakni keamanan. Pilar keamanan bukan hanya sekadar isu, melainkan sebuah prasyarat mutlak dalam menjaga kebebasan pers dan demokrasi. Di Indonesia, bayang-bayang ancaman terhadap jurnalis terus menjadi sorotan yang memprihatinkan. Berdasarkan data yang dirilis oleh Committee to Protect Journalists (CPJ), tercatat bahwa Indonesia masih terbelenggu dalam catatan kelam perlindungan jurnalis, dengan sejumlah kasus kekerasan dan pembunuhan yang menggantung tanpa penyelesaian.                                                                                   

Salah satu kasus yang paling miris adalah pembunuhan terhadap jurnalis Radar Bali, A.A. Gde Bagus Narendra Prabangsa, pada tahun 2009. Kasus ini menjadi simbol dari risiko besar yang harus dihadapi jurnalis dalam mencari dan menyampaikan kebenaran. Ironisnya, tragedi ini juga menjadi pengingat bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan banyak pihak demi menciptakan lingkungan yang aman bagi para jurnalis.                                                                                                                                                  

Menghadapi realitas yang keras, tuntutan akan kebijakan yang lebih tegas dan perlindungan hukum yang lebih kuat untuk jurnalis merupakan suara yang tidak bisa diabaikan, apalagi dibungkam. Kita harus mengakui bahwa tanpa keamanan yang memadai, jurnalis akan terus berada dalam bayang-bayang ketakutan yang menghambat mereka untuk bekerja secara bebas dan profesional.                                                                          

Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan semua pihak yang terlibat harus bersinergi dalam merumuskan dan menerapkan langkah-langkah konkret. Ini termasuk peningkatan standar keamanan di lapangan, pelatihan keselamatan bagi jurnalis, serta mekanisme perlindungan hukum yang dapat diandalkan. Kita harus bergerak dari retorika ke aksi nyata, dari janji ke implementasi yang efektif.                                                               

Pilar keamanan harus dapat memastikan jurnalis dapat bekerja dalam kondisi yang aman untuk dapat mengungkap kebenaran tanpa dibayangi rasa takut akan ancaman atau intimidasi. Keamanan ini mencakup perlindungan fisik, psikologis, dan digital. Negara dan lembaga media harus berkomitmen untuk melindungi jurnalis dari segala bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.                                                       

Kini kita tiba pada pembahasan pilar utama ketiga, yakni faktualitas, yang merupakan fondasi dari setiap laporan jurnalisme yang berkualitas. Tanpa adanya fakta yang akurat dan terverifikasi, jurnalisme kehilangan esensinya sebagai penyedia informasi yang dapat diandalkan. Untuk mencapai faktualitas, jurnalis harus melakukan penelitian yang mendalam, menggali berbagai sumber, dan tidak terburu-buru dalam penerbitan berita demi mengejar sensasi. Faktualitas juga berarti jurnalis harus siap untuk mengoreksi kesalahan dan memberikan klarifikasi ketika diperlukan, sehingga integritas dan kredibilitas mereka dapat dipertahankan di mata publik.                                                                                                                                                    

Dalam mengarungi lautan informasi di era digital, faktualitas adalah mercusuar yang menuntun kita menuju kebenaran. Kita, sebagai konsumen informasi, harus proaktif dalam mencari sumber berita yang dapat dipercaya dan mendukung jurnalisme yang bertanggung jawab. Di sisi lain, para profesional media harus terus mengasah integritas dan keterampilan mereka dalam menghadapi banjir informasi yang sering kali menyesatkan. Hanya dengan sinergi antara masyarakat dan media, kita dapat memastikan bahwa kebenaran tidak tenggelam dalam arus informasi yang tak terbendung.

Kebebasan pers                                                                                                                                        Pers tanpa kebebasan bersuara tak ubahnya seperti orang berada dalam pasungan dan dibungkam. Tak dapat menyatakan suara hati, apalagi menuntut keadilan.                                                                                         

Menurut hemat penulis, kebebasan pers itu terkait erat dengan pilar keamanan; dua hal yang tak dapat dipisahkan. Kebebasan pers adalah salah satu pilar demokrasi yang harus terus dipupuk dan dilindungi. Jurnalis memiliki peran penting dalam menginformasikan berita kepada publik, mengkritisi kebijakan, dan mengungkap kebenaran. Oleh karena itu, membangun ekosistem yang mendukung kebebasan pers dengan menjamin keamanan jurnalis adalah tanggung jawab kita bersama.                                                                                   

Kita perlu bergandengan tangan melakukan upaya advokasi untuk perubahan yang signifikan dalam kebijakan dan praktik yang menjamin keamanan jurnalis. Setiap ancaman, intimidasi, atau tindak kekerasan terhadap jurnalis, harus ditanggapi dengan serius dan ditindaklanjuti dengan proses hukum yang adil dan transparan. Hanya dengan demikian, jurnalis dapat menjalankan tugas mereka tanpa rasa takut dan dengan integritas yang tak tergoyahkan.                                                                                                                                       

Untuk  menjaga nyala api demokrasi yang sehat, keamanan jurnalis bukanlah opsi, melainkan keharusan. Seluruh pihak yang terkait perlu memperjuangkan keamanan jurnalis sebagai bagian dari upaya kita untuk memperkuat demokrasi. Karena pada akhirnya, kebebasan pers dan keamanan jurnalis adalah cermin dari nilai-nilai demokrasi yang kita junjung tinggi. Cermin bening atau buram, itulah kondisi demokrasi kita.

Peran media sosial                                                                                                                               Di tengah gempuran era digital, di mana informasi mengalir tanpa henti dan tanpa filter, integritas faktual menjadi semakin krusial. Media sosial, dengan kecepatan dan jangkauannya yang luas, acapkali menjadi kanvas bagi penyebaran berita yang tidak akurat atau bahkan sengaja dipalsukan.                                                             

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nielsen dan Graves pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa media sosial sering menjadi katalis utama dalam penyebaran berita palsu. Fenomena ini tidak hanya terjadi di kancah global, tetapi juga sangat nyata di Indonesia. Misalnya, sepanjang pandemi COVID-19, kita menyaksikan bagaimana berita palsu tentang virus dan metode pengobatannya menyebar dengan cepat, menciptakan kebingungan serta erosi kepercayaan di kalangan masyarakat.                                                                 

Kendati dapat memperkaya diskusi publik, media sosial sering menciptakan ruang gema (echo chambers) di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang memperkuat keyakinan mereka sendiri. Hal ini dapat mengarah pada polarisasi yang tajam dan mengurangi kemungkinan dialog yang konstruktif. Contoh nyata adalah penyebaran narasi-narasi politik yang memecah belah selama pemilihan umum di Indonesia. Penggunaan istilah ’cebong’, ’kampret’, dan ’kadrun’ merupakan bukti nyata adanya polarisasi yang tajam.                        

Di samping itu, media sosial juga dapat menjadi alat untuk mengintimidasi dan menyerang jurnalis yang melaporkan isu-isu kontroversial. Hal ini mengancam kebebasan pers dan menghalangi jurnalis dalam melaksanakan tugas mereka secara efektif. Kasus-kasus seperti pelecehan daring terhadap jurnalis di Indonesia adalah contoh nyata dari dampak negatif ini.                                                                                     

Dampak negatif lain adalah adanya persekusi digital. Di balik kemudahan akses dan pertukaran pikiran yang cepat melalui media sosial, tersembunyi potensi kelam yang disebut persekusi digital.                                                                                                                                                            

Persekusi ini merupakan serangan sistematis dan terkoordinasi terhadap individu atau kelompok tertentu melalui platform digital, terutama media sosial. Tindakan ini, antara lain dapat mencakup pelecehan, penyebaran informasi palsu, dan pembunuhan karakter yang bertujuan untuk mengintimidasi atau merusak reputasi individu atau kelompok yang bersangkutan.                                                                                                                  

Sungguh tidak adil rasanya jika penulis hanya mengemukakan dampak negatif media sosial, karena faktanya, media ini juga memiliki dampak positif dalam kaitan dengan integritas jurnalisme.                                       Media sosial mampu menyajikan hal-hal penting secara real-time. Hal ini sangat krusial dalam situasi darurat, di mana kecepatan informasi bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati. Sebagai contoh, ketika gempa bumi mengguncang Lombok pada tahun 2018, media sosial berperan penting dalam penyebaran informasi dan peringatan dini secara cepat, sehingga dapat menyelamatkan banyak jiwa.                                                                                                                                                                    Selain itu, media sosial memberikan platform bagi kelompok-kelompok yang kurang terwakili untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal ini membantu menciptakan jurnalisme yang lebih inklusif dan beragam. Sebagai contoh, gerakan #KamiTidakTakut yang muncul sebagai respons terhadap serangan terorisme di Jakarta pada tahun 2016. Gerakan ini memperlihatkan timbulnya solidaritas dan ketahanan warga yang signifikan melalui media sosial.               

Dalam menghadapi era digital yang terus berkembang, penting bagi jurnalisme untuk beradaptasi dan memanfaatkan media sosial dengan bijak, memastikan bahwa mereka tetap setia pada prinsip-prinsip akurasi, keadilan, dan tanggung jawab. Dengan demikian, media sosial dapat menjadi kekuatan untuk kebaikan, memperkuat integritas jurnalisme dan melayani masyarakat dengan informasi yang dapat dipercaya dan adil.

Kesimpulan                                                                                                                                          Untuk menjaga integritas jurnalisme, setiap pilar—kepercayaan, keamanan, dan faktualitas—harus diperkuat melalui komitmen yang tak tergoyahkan dari para profesional media. Hal ini tidak hanya penting bagi keberlangsungan industri media itu sendiri, tetapi juga bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Jurnalisme yang integritasnya terjaga adalah jurnalisme yang mampu menjadi pilar kekuatan masyarakat dalam mencari kebenaran dan keadilan.                                                                                                                                  

Dalam konteks yang lebih luas, integritas jurnalisme adalah tentang menjaga keseimbangan yang harmonis antara kepercayaan, keamanan, dan faktualitas. Setiap pilar saling mendukung dan tidak dapat berdiri sendiri. Media massa yang berintegritas adalah media yang mampu menjaga keseimbangan ini dengan baik, sehingga dapat terus menjadi sumber informasi yang dapat diandalkan dan bertanggung jawab bagi masyarakat.              

Tak syak lagi! Integritas jurnalisme merupakan fondasi yang tidak tergoyahkan dalam menopang demokrasi yang sehat dan dinamis. Kepercayaan publik, keamanan jurnalistik, dan ketepatan faktual adalah tritunggal yang saling menguatkan dalam arsitektur jurnalisme yang berintegritas tinggi. Di Indonesia, integritas jurnalisme masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang bersifat kompleks, mulai dari tekanan politik yang berat, ancaman fisik yang nyata, hingga gelombang berita palsu yang mengancam fondasi kebenaran.                                                                                                                                                 

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan sinergi yang kuat antara berbagai pihak. Pemerintah harus berperan aktif dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi kebebasan pers dengan menyediakan perlindungan hukum yang kuat bagi para jurnalis. Hal ini tidak hanya melindungi mereka dari ancaman fisik, tetapi juga memberikan keberanian untuk melaporkan fakta secara objektif dan tanpa rasa takut.                                           

Kolaborasi antara pemerintah, organisasi media, dan masyarakat adalah kunci untuk menciptakan ekosistem jurnalisme yang tidak hanya informatif dan akurat, tetapi juga aman dan tepercaya. Mari kita bersama-sama membangun jurnalisme yang berkualitas demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih cerah.

Daftar Pustaka

Committee to Protect Journalists. (2020). Getting away with murder. https://cpj.org/reports/2020/10/getting-away-with-murder/

Fukuyama, F. (1995). Trust: The social virtues and the creation of prosperity. Free Press               

Hudson, B.J. (2017). Arnold Bennett and the Pursuit of Knowledge. Journal of English Studies. 10.1080/0013838X.2016.1230315     

 

Ihsanuddin, Sabrina Asril. (Januari 24, 2019). Mengingat Lagi Kasus Pembunuhan Wartawan Radar Bali AA Narendra Prabangsa. https://nasional.kompas.com/read/2019/01/24/07570831/mengingat-lagi-kasus-pembunuhan-wartawan-radar-bali-aa-narendra-prabangsa?page=all

 

Keele University. (n.d.). Arnold Bennett. Keele University Library. https://www.keele.ac.uk/library/specialcollections/arnoldbennett/

Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2007). The elements of journalism: What newspeople should know and the public should expect. Three Rivers Press

Lewandowsky, S., Ecker, U. K. H., & Seifert, C. M. (2012). Misinformation and its correction: Continued influence and successful debiasing. Psychological Science in the Public Interest, 13(3), 106-131. https://doi.org/10.1177/1529100612451018

Nielsen, R. K., & Graves, L. (2017). News you don't believe: Audience perspectives on fake news. Reuters Institute for the Study of Journalism. https://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/our-research/news-you-dont-believe-audience-perspectives-fake-news

Pew Research Center. (2021). Public trust in government: 1958-2021. https://www.pewresearch.org/politics/2021/05/17/public-trust-in-government-1958-2021/

Sebastian, Leonard C. (April 14, 2017). Commentary: Why it doesn’t matter who wins Jakarta come April 19. https://www.channelnewsasia.com/commentary/ahok-anies-jakarta-governor-election-2050711

Ward, S. J. A. (2011). Ethics and the media: An introduction. Cambridge University Press

Yulianto, Hanif Sri. (November 23, 2023). 28 Kata-kata Bijak Jurnalis dan Kebebasan Pers. https://www.bola.com/ragam/read/5459891/28-kata-kata-bijak-jurnalis-dan-kebebasan-pers