Menyoal Integritas
Jurnalisme: MenaklukkanTantangan Disinformasi di Era Digital
Oleh Budianto Sutrisno
Sumber Foto: Kementerian Komunikasi dan Informatika
Jurnalis
mengatakan sesuatu yang mereka tahu tidak benar, dengan harapan bahwa jika
terus mengatakannya cukup lama, itu akan menjadi kenyataan. (Arnold
Bennett).
Apa yang dikatakan oleh Arnold
Bennett—seorang novelis, penulis naskah drama, kritikus berkebangsaan Inggris
(1867-1931)—tampaknya masih berlaku sampai abad ke-21 ini, dan mungkin juga seterusnya.
Tiga pilar
utama Ternyata berita dusta/hoaks atau
disinformasi telah terjadi sejak bertahun lalu. Celakanya, jika berita yang
tidak benar ini disebarkan terus-menerus dalam jangka panjang, khalayak dapat
menganggapnya sebagai kebenaran. Ini merupakan petaka besar di era digital, di mana
penyebaran informasi berlangsung begitu cepat dan masif.
Untuk mencegah berkembangnya masalah
disinformasi, kegiatan jurnalisme memerlukan apa yang disebut sebagai
kepercayaan, pilar utama dan pertama yang merupakan keniscayaan mutlak. Kepercayaan
itu menciptakan hubungan yang solid dan tahan lama antara media dan
khalayaknya.
Menurut
studi yang dilakukan oleh Pew Research Center di Amerika Serikat, kepercayaan
publik terhadap media sangat dipengaruhi oleh persepsi transparansi dan
independensi media tersebut.
Dalam konteks Indonesia, kasus surat
kaleng yang melibatkan Metro TV pada tahun 2017 dapat dijadikan pelajaran
berharga. Isi surat kaleng yang mengandung tuduhan serius pada salah satu kandidat
dalam Pilkada DKI dimuat sebagai berita. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana
kurangnya verifikasi fakta dapat mengikis kepercayaan publik. Di sinilah
pentingnya penerapan standar etika yang ketat dan mekanisme verifikasi yang
kuat dalam jurnalisme untuk memastikan bahwa informasi yang disajikan adalah benar,
akurat, dan dapat dipercaya.
Sementara
itu, menurut teori kepercayaan sosial yang dikemukakan oleh Fukuyama pada
tahun1995, kepercayaan merupakan buah dari ekspektasi kolektif bahwa suatu
institusi akan bertindak secara konsisten, adil, dan selaras dengan norma-norma
yang berlaku. Hal ini menegaskan bahwa integritas jurnalisme bukan hanya tentang
menyampaikan fakta, melainkan juga tentang membangun dan menjaga hubungan
kepercayaan dengan masyarakat. Jika kepercayaan itu sampai hilang, hilang pula
integritas jurnalisme. Berita kebenaran macam apa pun yang disajikan, tak akan
digubris oleh khalayak.
Kepercayaan publik adalah aset berharga
yang harus dipelihara oleh media. Publik cenderung mengandalkan media yang
memiliki rekam jejak dalam menyajikan informasi yang tidak hanya akurat tetapi
juga imperatif dan etis. Oleh karena itu, integritas jurnalisme harus diperkuat
melalui penerapan standar etika yang tinggi dan transparansi dalam proses
peliputan serta penyajian berita.
Untuk membangun jurnalisme yang
bertanggung jawab, diperlukan juga pilar utama kedua, yakni keamanan. Pilar
keamanan bukan hanya sekadar isu, melainkan sebuah prasyarat mutlak dalam
menjaga kebebasan pers dan demokrasi. Di Indonesia, bayang-bayang ancaman
terhadap jurnalis terus menjadi sorotan yang memprihatinkan. Berdasarkan data
yang dirilis oleh Committee to Protect Journalists (CPJ), tercatat bahwa
Indonesia masih terbelenggu dalam catatan kelam perlindungan jurnalis, dengan
sejumlah kasus kekerasan dan pembunuhan yang menggantung tanpa penyelesaian.
Salah satu
kasus yang paling miris adalah pembunuhan terhadap jurnalis Radar Bali, A.A. Gde Bagus Narendra
Prabangsa, pada tahun 2009. Kasus ini menjadi simbol dari risiko besar yang
harus dihadapi jurnalis dalam mencari dan menyampaikan kebenaran. Ironisnya,
tragedi ini juga menjadi pengingat bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang
harus diselesaikan banyak pihak demi menciptakan lingkungan yang aman bagi para
jurnalis.
Menghadapi
realitas yang keras, tuntutan akan kebijakan yang lebih tegas dan perlindungan
hukum yang lebih kuat untuk jurnalis merupakan suara yang tidak bisa diabaikan,
apalagi dibungkam. Kita harus mengakui bahwa tanpa keamanan yang memadai,
jurnalis akan terus berada dalam bayang-bayang ketakutan yang menghambat mereka
untuk bekerja secara bebas dan profesional.
Pemerintah,
lembaga swadaya masyarakat, dan semua pihak yang terlibat harus bersinergi
dalam merumuskan dan menerapkan langkah-langkah konkret. Ini termasuk
peningkatan standar keamanan di lapangan, pelatihan keselamatan bagi jurnalis,
serta mekanisme perlindungan hukum yang dapat diandalkan. Kita harus bergerak
dari retorika ke aksi nyata, dari janji ke implementasi yang efektif.
Pilar
keamanan harus dapat memastikan jurnalis dapat bekerja dalam kondisi yang aman
untuk dapat mengungkap kebenaran tanpa dibayangi rasa takut akan ancaman atau
intimidasi. Keamanan ini mencakup perlindungan fisik, psikologis, dan digital.
Negara dan lembaga media harus berkomitmen untuk melindungi jurnalis dari
segala bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Kini kita tiba
pada pembahasan pilar utama ketiga, yakni faktualitas, yang merupakan fondasi
dari setiap laporan jurnalisme yang berkualitas. Tanpa adanya fakta yang akurat
dan terverifikasi, jurnalisme kehilangan esensinya sebagai penyedia informasi
yang dapat diandalkan. Untuk mencapai faktualitas, jurnalis harus melakukan
penelitian yang mendalam, menggali berbagai sumber, dan tidak terburu-buru
dalam penerbitan berita demi mengejar sensasi. Faktualitas juga berarti
jurnalis harus siap untuk mengoreksi kesalahan dan memberikan klarifikasi
ketika diperlukan, sehingga integritas dan kredibilitas mereka dapat
dipertahankan di mata publik.
Dalam
mengarungi lautan informasi di era digital, faktualitas adalah mercusuar yang
menuntun kita menuju kebenaran. Kita, sebagai konsumen informasi, harus
proaktif dalam mencari sumber berita yang dapat dipercaya dan mendukung
jurnalisme yang bertanggung jawab. Di sisi lain, para profesional media harus
terus mengasah integritas dan keterampilan mereka dalam menghadapi banjir
informasi yang sering kali menyesatkan. Hanya dengan sinergi antara masyarakat
dan media, kita dapat memastikan bahwa kebenaran tidak tenggelam dalam arus
informasi yang tak terbendung.
Kebebasan pers Pers tanpa
kebebasan bersuara tak ubahnya seperti orang berada dalam pasungan dan dibungkam.
Tak dapat menyatakan suara hati, apalagi menuntut keadilan.
Menurut hemat penulis, kebebasan pers itu
terkait erat dengan pilar keamanan; dua hal yang tak dapat dipisahkan. Kebebasan
pers adalah salah satu pilar demokrasi yang harus terus dipupuk dan dilindungi.
Jurnalis memiliki peran penting dalam menginformasikan berita kepada publik,
mengkritisi kebijakan, dan mengungkap kebenaran. Oleh karena itu, membangun
ekosistem yang mendukung kebebasan pers dengan menjamin keamanan jurnalis
adalah tanggung jawab kita bersama.
Kita
perlu bergandengan tangan melakukan upaya advokasi untuk perubahan yang
signifikan dalam kebijakan dan praktik yang menjamin keamanan jurnalis. Setiap
ancaman, intimidasi, atau tindak kekerasan terhadap jurnalis, harus ditanggapi
dengan serius dan ditindaklanjuti dengan proses hukum yang adil dan transparan.
Hanya dengan demikian, jurnalis dapat menjalankan tugas mereka tanpa rasa takut
dan dengan integritas yang tak tergoyahkan.
Untuk
menjaga nyala api demokrasi yang sehat,
keamanan jurnalis bukanlah opsi, melainkan keharusan. Seluruh pihak yang
terkait perlu memperjuangkan keamanan jurnalis sebagai bagian dari upaya kita
untuk memperkuat demokrasi. Karena pada akhirnya, kebebasan pers dan keamanan
jurnalis adalah cermin dari nilai-nilai demokrasi yang kita junjung tinggi.
Cermin bening atau buram, itulah kondisi demokrasi kita.
Peran media
sosial Di tengah gempuran era digital, di mana informasi mengalir tanpa henti dan tanpa filter,
integritas faktual menjadi semakin krusial. Media sosial, dengan kecepatan dan
jangkauannya yang luas, acapkali menjadi kanvas bagi penyebaran berita yang
tidak akurat atau bahkan sengaja dipalsukan.
Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Nielsen dan Graves pada tahun 2017 mengungkapkan
bahwa media sosial sering menjadi katalis utama dalam penyebaran berita palsu.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kancah global, tetapi juga sangat nyata di
Indonesia. Misalnya, sepanjang pandemi COVID-19, kita menyaksikan bagaimana
berita palsu tentang virus dan metode pengobatannya menyebar dengan cepat,
menciptakan kebingungan serta erosi kepercayaan di kalangan masyarakat.
Kendati dapat memperkaya diskusi
publik, media sosial sering menciptakan ruang gema (echo chambers) di mana individu hanya terpapar pada pandangan yang
memperkuat keyakinan mereka sendiri. Hal ini dapat mengarah pada polarisasi
yang tajam dan mengurangi kemungkinan dialog yang konstruktif. Contoh nyata
adalah penyebaran narasi-narasi politik yang memecah belah selama pemilihan
umum di Indonesia. Penggunaan istilah ’cebong’, ’kampret’, dan ’kadrun’
merupakan bukti nyata adanya polarisasi yang tajam.
Di
samping itu, media sosial juga dapat menjadi alat untuk mengintimidasi dan
menyerang jurnalis yang melaporkan isu-isu kontroversial. Hal ini mengancam
kebebasan pers dan menghalangi jurnalis dalam melaksanakan tugas mereka secara
efektif. Kasus-kasus seperti pelecehan daring terhadap jurnalis di Indonesia
adalah contoh nyata dari dampak negatif ini.
Dampak
negatif lain adalah adanya persekusi digital. Di balik kemudahan akses dan
pertukaran pikiran yang cepat melalui media sosial, tersembunyi potensi kelam
yang disebut persekusi digital.
Persekusi
ini merupakan serangan sistematis dan terkoordinasi terhadap individu atau
kelompok tertentu melalui platform digital, terutama media sosial. Tindakan ini,
antara lain dapat mencakup pelecehan, penyebaran informasi palsu, dan
pembunuhan karakter yang bertujuan untuk mengintimidasi atau merusak reputasi
individu atau kelompok yang bersangkutan.
Sungguh tidak adil rasanya jika penulis
hanya mengemukakan dampak negatif media sosial, karena faktanya, media ini juga
memiliki dampak positif dalam kaitan dengan integritas jurnalisme. Media sosial
mampu menyajikan hal-hal penting secara real-time.
Hal ini sangat krusial dalam situasi darurat, di mana kecepatan informasi bisa
berarti perbedaan antara hidup dan mati. Sebagai contoh, ketika gempa bumi
mengguncang Lombok pada tahun 2018, media sosial berperan penting dalam
penyebaran informasi dan peringatan dini secara cepat, sehingga dapat menyelamatkan
banyak jiwa. Selain itu, media sosial memberikan
platform bagi kelompok-kelompok yang kurang terwakili untuk menyuarakan
pendapat mereka. Hal ini membantu menciptakan jurnalisme yang lebih inklusif
dan beragam. Sebagai contoh, gerakan #KamiTidakTakut yang muncul sebagai
respons terhadap serangan terorisme di Jakarta pada tahun 2016. Gerakan ini
memperlihatkan timbulnya solidaritas dan ketahanan warga yang signifikan
melalui media sosial.
Dalam menghadapi era digital yang
terus berkembang, penting bagi jurnalisme untuk beradaptasi dan memanfaatkan
media sosial dengan bijak, memastikan bahwa mereka tetap setia pada
prinsip-prinsip akurasi, keadilan, dan tanggung jawab. Dengan demikian, media
sosial dapat menjadi kekuatan untuk kebaikan, memperkuat integritas jurnalisme
dan melayani masyarakat dengan informasi yang dapat dipercaya dan adil.
Kesimpulan Untuk menjaga
integritas jurnalisme, setiap pilar—kepercayaan, keamanan, dan
faktualitas—harus diperkuat melalui komitmen yang tak tergoyahkan dari para
profesional media. Hal ini tidak hanya penting bagi keberlangsungan industri
media itu sendiri, tetapi juga bagi demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Jurnalisme yang integritasnya terjaga adalah jurnalisme yang mampu menjadi
pilar kekuatan masyarakat dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Dalam
konteks yang lebih luas, integritas jurnalisme adalah tentang menjaga
keseimbangan yang harmonis antara kepercayaan, keamanan, dan faktualitas.
Setiap pilar saling mendukung dan tidak dapat berdiri sendiri. Media massa yang
berintegritas adalah media yang mampu menjaga keseimbangan ini dengan baik,
sehingga dapat terus menjadi sumber informasi yang dapat diandalkan dan
bertanggung jawab bagi masyarakat.
Tak
syak lagi! Integritas jurnalisme merupakan fondasi yang tidak tergoyahkan dalam
menopang demokrasi yang sehat dan dinamis. Kepercayaan publik, keamanan
jurnalistik, dan ketepatan faktual adalah tritunggal yang saling menguatkan
dalam arsitektur jurnalisme yang berintegritas tinggi. Di Indonesia, integritas
jurnalisme masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang bersifat kompleks,
mulai dari tekanan politik yang berat, ancaman fisik yang nyata, hingga
gelombang berita palsu yang mengancam fondasi kebenaran.
Untuk
mengatasi tantangan ini, diperlukan sinergi yang kuat antara berbagai pihak.
Pemerintah harus berperan aktif dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi
kebebasan pers dengan menyediakan perlindungan hukum yang kuat bagi para
jurnalis. Hal ini tidak hanya melindungi mereka dari ancaman fisik, tetapi juga
memberikan keberanian untuk melaporkan fakta secara objektif dan tanpa rasa
takut.
Kolaborasi
antara pemerintah, organisasi media, dan masyarakat adalah kunci untuk
menciptakan ekosistem jurnalisme yang tidak hanya informatif dan akurat, tetapi
juga aman dan tepercaya. Mari kita bersama-sama membangun jurnalisme yang
berkualitas demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih cerah.
Daftar Pustaka
Committee to
Protect Journalists. (2020). Getting away with murder.
https://cpj.org/reports/2020/10/getting-away-with-murder/
Fukuyama, F. (1995). Trust: The
social virtues and the creation of prosperity. Free Press
Hudson, B.J.
(2017). Arnold Bennett and the Pursuit of Knowledge. Journal of English Studies. 10.1080/0013838X.2016.1230315
Ihsanuddin, Sabrina Asril. (Januari 24, 2019). Mengingat Lagi Kasus Pembunuhan Wartawan
Radar Bali AA Narendra Prabangsa.
https://nasional.kompas.com/read/2019/01/24/07570831/mengingat-lagi-kasus-pembunuhan-wartawan-radar-bali-aa-narendra-prabangsa?page=all
Keele University. (n.d.). Arnold Bennett. Keele University Library.
https://www.keele.ac.uk/library/specialcollections/arnoldbennett/
Kovach, B., & Rosenstiel, T.
(2007). The elements of journalism: What newspeople should know and the
public should expect. Three Rivers Press
Lewandowsky, S., Ecker, U. K. H., &
Seifert, C. M. (2012). Misinformation and its correction: Continued influence
and successful debiasing. Psychological Science in the Public Interest, 13(3), 106-131.
https://doi.org/10.1177/1529100612451018
Nielsen, R. K., & Graves, L.
(2017). News you don't believe: Audience perspectives on fake news.
Reuters Institute for the Study of Journalism.
https://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/our-research/news-you-dont-believe-audience-perspectives-fake-news
Pew Research Center. (2021). Public
trust in government: 1958-2021. https://www.pewresearch.org/politics/2021/05/17/public-trust-in-government-1958-2021/
Sebastian,
Leonard C. (April 14, 2017). Commentary:
Why it doesn’t matter who wins Jakarta come April 19. https://www.channelnewsasia.com/commentary/ahok-anies-jakarta-governor-election-2050711
Ward, S. J. A. (2011). Ethics and
the media: An introduction. Cambridge University Press
Yulianto, Hanif Sri. (November 23,
2023). 28 Kata-kata Bijak Jurnalis dan
Kebebasan Pers. https://www.bola.com/ragam/read/5459891/28-kata-kata-bijak-jurnalis-dan-kebebasan-pers